Mohon tunggu...
Muhammad Tizar Adhiyatma
Muhammad Tizar Adhiyatma Mohon Tunggu... Pengacara - A Young Lawyer

Tizar currently serves as a member of the Indonesian Bar Association (PERADI) and has been admitted to practice in Indonesian courts. Master's areas of practice are Intellectual Property Rights; General Company Law; and Civil & Commercial Litigation.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Waerebo dan Keunikan 7 Rumah Adatnya-Mbaru Niang

13 Januari 2024   15:46 Diperbarui: 16 Januari 2024   10:00 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)

Disclaimer: 

Penulis melakukan perjalanan ke Wae Rebo pada Bulan Juni 2022. Semua fakta dan informasi terjadi di tahun 2022.

Keunikan Mbaru Niang yang masih terawat dengan baik disertai kehidupan tradisional masyarakatnya yang terharmoni indah dengan alam menjadikannya sebagai salah satu aset utama desa Wae Rebo dalam menarik wisatawan. Sebagai salah satu diantara ribuan wisatawan yang telah berkunjung di desa ini, saya bangga pernah beraktivitas di dalam Mbaru Niang.  Informasi yang diperoleh dari beberapa akun di youtube, di instagram dan tulisan-tulisan di blog, dan tentunya tabungan dari beberapa bulan, akhirnya saya pun bisa sampai di desa ini.Jujurly, dulunya sempat khawatir soal budget dan juga soal waktu. Sempat punya pikiran “nggak mungkin lah sy bisa ke Wae Rebo kalaupun nanti ada duit belum tentu punya waktunya.” Akhirnya liburan ke Wae Rebo terlupakan hingga pertemuan dengan seorang kawan. Seorang kawan yang sekarang malah menjadi partner in crime and holiday gue. Hobinya manjat gunung, traveling, dan makan tapi itu dulu, sekarang hobinya tinggal makan. Untungnya hobi travelingnya masih ada walau sedikit. Wait, tulisan ini bukan menceritakan kawan itu jadi diskip aja, next!


Di tahun 2022 Wae Rebo kembali masuk ke bucket list. Searching referensi di beberapa blog merupakan bekal utama memulai petualangan menuju Wae Rebo. Beberapa blog sangat informatif. Biaya hotel, biaya penyewaan motor, biaya sewa ojek, biaya sewa pemandu, biaya nginap di Waerebo, biaya ritual penyambutan tamu, semuanya tersajikan dalam blog tersebut hingga menginspirasi buat nulis pengalaman berkunjung ke Wae Rebo. Beberapa informasi penting dan receh akan disajikan juga dalam blog ini berdasarkan pengalaman pribadi Penulis mengunjungi Wae Rebo, updated  2 Juni 2022.
 

Petualangan saya dan teman mengunjungi Desa Wae Rebo dimulai. Perjalanan kami menuju Wae Rebo menggunakan motor NMax dengan harga sewa 150.000 rupiah/24 Jam. Ada juga motor jenis biasa harganya 75.000 rupiah/24 jam. Hampir sama dengan di Bali, tempat penyewaan motor juga banyak ditemukan di Labuang Bajo. Bahkan ojol yang kami order melalui aplikasi menawarkan motornya untuk disewa. Mengenai pengeluaran bensin, kurang lebih sekitar 70.000 rupiah dan bisa dipakai buat pergi hingga pulang, harga bensin pada saat itu Rp. 7.650,- perliter.

 (dokpri)
 (dokpri)

Dari Labuan Bajo kami mengarah ke desa pemberhentian terakhir sebelum mendaki ke Waerebo, Desa Denge. Perjalanan ditempuh kurang lebih 4 jam lamanya. Beberapa daerah tidak memiliki sinyal internet. Bahkan sinyal telpon pun hilang. Padahal petualangan kali ini sangat mengandalkan GPS yang menggunakan internet. Untungnya sehari sebelumnya, kami telah mendownload map offline di google map. Map offline tersebut harus didownload di google mapnya agar map bisa digunakan sebagaimana saat dia online. Dan benar juga, tidak berselang lama setelah meninggalkan Labuang Bajo sinyal internet kami mulai tidak stabil. 

Tiba di Nangalili sinyal telpon hilang. Tapi di Nangalili mata akan dimanjakan dengan hamparan lautan biru dan sesekali diselingi tebing ,salah satu view indah milik NTT. Bersyukur banget sih punya kesempatan berkendara melewati jalur-jalur indah nan rock, masa muda saya sangat menyenangkan.

Ngomong-ngomong soal Nangalili, dia memiliki view paling indah tapi sayangnya jalanan sangat rusak (2021 keadaannya seperri itu, entah gimana update 2024). Bahkan terdapat satu jalan yang dipalang oleh warga sehingga buat melintasinya kita perlu bayar 5.000 rupiah bagi pengendara motor, sementara untuk mobil 20.000 rupiah. Perjanannya sangat melelahkan, mengendalikan motor biar tetap stabil di jalan bebatuan itu sangat sulit. Belum lagi tanjakan bebatuannya yang membuat telapak tangan pegal dan kesemutan. Memang benar view perjalanan membuat kami terpesona tapi ada fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa badan kami sudah kelelahan, pantat dan tangan sudah sangat pegal dan sakit.

Melewati jalan yang berkelok, jalur pantai dengan suguhan viewnya, jalan yang hanya berisi bebatuan, jalan yang dialiri aliran sungai, berpapasan dengan anak sekolah yang memanggil kami mister, dan sempat salah jalan juga untungnya ada warga yang mengarahkan dan menuntun kami kembali ke jalan yang benar. Pastinya banyak hal yang ditemui diperjalanan dan banyak kejadian yang terjadi tapi kami menikmatinya “my trip my adventure” lah.

Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)
Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)

Di Desa Denge, kami langsung menuju ke “Departure Trekking for Waerebo Village”. Di pertengahan jalan kami dicegat sama beberapa warga dan memberitahukan bahwa untuk melanjutkan perjalanan harus menggunakan ojek dengan harga 100.000/orang pulang-pergi dan motor yang kami pake dititipkan di rumah warga. 

Untungnya hal semacam itu udah terilustrasi dibeberapa blog yang pernah kami baca jadi udah nggak kepikiran macam-macam saat tiba-tiba diberhentikan ditengah jalan. Willy-nilly, kami menuruti kemauan mereka dan menitipkan motor di rumah warga tersebut. Kami pun memanfaatkan momen itu untuk beristrahat sejenak sambil mengisi perut yang mulai keroncongan dan solat Duhur. Sayangnya makan siang kami nggak gratis (yaelah zaman sekarang masih berharap gratis wkwkw) tapi nggak masalah selama Perut udah terisi, solat sudah dijamak, perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Dari penitipan motor menuju ke pos 1 jaraknya tidak begitu jauh, tapi medannya lumayan terjal dan berbahaya. Udah paling tepat kami diantar ojek warga dan menitipkan motor. Setibanya di pos 1 langsung trekking menuju puncak dimana Waerebo berada. Kami menempuh perjalanan kurang lebih 2 setengah jam dan melewati beberapa pos, dan pos terakhir bernama rumah kasih ibu. Setelah trekking sejauh 9 km atau sekitar 2,5 - 3 jam dari Desa Denge akhirnya kami tiba di pos terakhir, rumah kasih ibu. Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pengunjung Waerebo. 

Pertama, sebelum memasuki desa tersebut para pengunjung diwajibkan untuk membunyikan alat tabuh yang terbuat dari bambu sebagai pemberitahuan akan ada tamu yang datang. Kedua, setibanya di Wae Rebo kami dilarang melakukan kegiatan dalam bentuk apapun termasuk pengambilan foto sebelum melalui upacara penyambutan tamu (waelu’u). Waelu’u merupakan upacara penghormatan kepada leluhur untuk meminta perlindungan agar tamu yang berkunjung diberi keselamatan selama tinggal di Wae Rebo. 

Diakhir upacara kami diwajibkan memberi sumbangan dengan nominal seiklasnya. Bagi pengunjung yang telah melalui prosesi upacaranya sudah dapat melakukan aktivitasnya dan diterima sebagai warga Waerebo. Sebagaimana aturannya, kami pun membunyikan alat tabuh kemudian bersegera menuju ke desa Waerebo. 

What a view, lelah kami pun terbayarkan, kami dikelilingi hijaunya pemandangan alam dan dihadapkan dengan kekhasan rumah adat manggarai yang berbentuk kerucut. Seorang perwakilan warga desa menyambut dan mengantarkan kami menuju ke rumah adat utama yang ukurannya paling besar dan berada di tengah yang bernama Niang Gendang.  Di Niang Gendang kami diwajibkan mengikuti prosesi penyambutan tamu dan disana telah menunggu kepala adat yang menyambut kami dengan senyum hangatnya.
     

Bersama Kepala Adat (dokpri)
Bersama Kepala Adat (dokpri)
Dalam prosesi waelu’u, kepala adat terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa daerah mungkin bahasa daerah manggarai namun terdengar seperti sedang merapalkan mantra. Kalau melihat situasinya kayaknya si Kepala Adat sedang meminta izin kepada roh leluhur agar kami diizinkan tinggal dan beraktivitas sebagai warga Waerebo. Waelu’u berlangsung cepat, selesai acara Kepala adat berkenan untuk berfoto bersama kami dan dimulailah hari pertama di Waerebo.

Karena kami sampenya kesorean jadi agak nothing special tapi tdk mengurangi keunikan dan keindahan desa itu. Mirip desa-desa di dataran tinggi lainnya, semakin sore suhu udara disana juga semakin dingin, perlahan tapi pasti desa mulai ditutupi kabut. Warga desa tetap sibuk dengan aktivitas mereka, anak-anak yang duduk bermain di depan rumah-rumah mereka, terlihat anjing yang udah mulai melingkarkan tubuh untuk tidur dan anjing lain yang sedang mengamati seolah-olah akan menerkam buruannya. Malam pun tiba dan desa diselimuti kegelapan hingga genset dinyalakan. 

Kebetulan pada saat kunjungan kami, banyak pula wisatawan yang berkunjung di Waerebo dan rata-rata memilih untuk menginap. Pengunjung yang menginap harus membayar 325.000/orang. Fasilitas yang didapatkan berupa matras tidur, selimut hangat dan makan malam di Niang Gena Maro. Disediakan pula 4 kamar mandi layak dengan air yang mengalir lancar namun agak sedikit keruh. Untuk listrik mengandalkan genset yang beroperasi dari jam 18.00 - 22.00 Wita.

Makan malam disajikan sekitar pukul 8 malam. Menunya nasi putih, telur sambel ijo (saya nggak begitu yakin dengan ini pokoknya telur rebus dan ada rempah-rempahnya), dan sayur cukup buat perut kelaparan menjadi full, selepas makan kami langsung kembali keposisi tidur masing-masing karena memang udah sangat lelah sambil ditemani siulan nyamuk yg menari-nari di telinga. Jadi ketika genset mati, nyamuknya mulai nyerang dan itu besar-besar, sialnya autan yang kami beli sebelum nanjak lupa ditaruh dimana, mau nggak mau kami tidur dengan menutupi seluruh badan.

Penyajian Makan Malam di Niang Gena Maro (dokpri)
Penyajian Makan Malam di Niang Gena Maro (dokpri)

Jadi ada beberapa fakta terkait Desa Wae Rebo:

1. berada di ketinggian 1.100an Mdpl;

2. Pendakian ke Wae Rebo dimulai dari Pos 1 yang berlokasi di Desa Denge;

3. terdapat 5 (lima) pos yang harus dilewati wisatawan menuju Wae Rebo, di pos terakhir wisatawan harus memukul bambu untuk menginformasikan kedatangan;

4. Upacara penyambutan tamu (waelu'u) yang harus diikuti semua wisastawan;

5. Terdapat 7 (tujuh) rumah adat yang disebut Mbaru Niang.


Informasi yang perlu diperhatikan untuk ke Desa Wae Rebo yaitu 

1. biaya-biaya yang diperlukan

Biaya di Wae Rebo
Di Waerebo ada beberapa biaya yang harus kami keluarkan.
- biaya sewa ojek warga lokal 100.000/orang PP (dari rumah warga ke post 1).
- biaya nginap Rp. 325.000/orang untuk 1 malam di Niang Gena Maro; dan
- biaya upacara penjemputan tamu (Waelu'u) seiklasnya.

2. tidak ada sinyal internet. 

3. suhu sangat sejuk, di malam hari suhunya menjadi lebih dingin. Tuan rumah sudah menyediakan selimut tebal untuk para wisatawan. tetap disarankan untuk bawa jaket atau kain penghangat lainnya. Bisa dipake sebagai penghangat dan juga sebagai aksesori foto.

4. ada genset yang menyala dari jam 18.00 sampai jam 22.00. 

5. ada 4 kamar mandi/toilet layak untuk wisatawan. 

6. makan malam disajikan sekitar pukul 8 malam, jadi sebelum nanjak usahakan makan terlebih dahulu karena butuh perjuangan juga buat nanjaknya. Dari pos 1 sampe ke Wae Rebo kami memerlukan kurang lebih 2,5 jam pendakian, sementara beberapa orang bisa sampe 4 jam lamanya.

5. motoran pake NMax start dari jam 9 pagi dari Labuang Bajo, kami tiba di Desa Denge sekitar jam 1 siang. Butuh kurang lebih 4 jam perjalanan. Desa Denge merupakan perberhentian pertama sebelum mendaki ke Wae Rebo.

6. banyak nyamuk dan nyamuknya gede.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun