Mohon tunggu...
Muhammad Tizar Adhiyatma
Muhammad Tizar Adhiyatma Mohon Tunggu... Pengacara - A Young Lawyer

Tizar currently serves as a member of the Indonesian Bar Association (PERADI) and has been admitted to practice in Indonesian courts. Master's areas of practice are Intellectual Property Rights; General Company Law; and Civil & Commercial Litigation.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Waerebo dan Keunikan 7 Rumah Adatnya-Mbaru Niang

13 Januari 2024   15:46 Diperbarui: 16 Januari 2024   10:00 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)

Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)
Tampak jalan menuju Desa Waerebo (dokpri)

Di Desa Denge, kami langsung menuju ke “Departure Trekking for Waerebo Village”. Di pertengahan jalan kami dicegat sama beberapa warga dan memberitahukan bahwa untuk melanjutkan perjalanan harus menggunakan ojek dengan harga 100.000/orang pulang-pergi dan motor yang kami pake dititipkan di rumah warga. 

Untungnya hal semacam itu udah terilustrasi dibeberapa blog yang pernah kami baca jadi udah nggak kepikiran macam-macam saat tiba-tiba diberhentikan ditengah jalan. Willy-nilly, kami menuruti kemauan mereka dan menitipkan motor di rumah warga tersebut. Kami pun memanfaatkan momen itu untuk beristrahat sejenak sambil mengisi perut yang mulai keroncongan dan solat Duhur. Sayangnya makan siang kami nggak gratis (yaelah zaman sekarang masih berharap gratis wkwkw) tapi nggak masalah selama Perut udah terisi, solat sudah dijamak, perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Dari penitipan motor menuju ke pos 1 jaraknya tidak begitu jauh, tapi medannya lumayan terjal dan berbahaya. Udah paling tepat kami diantar ojek warga dan menitipkan motor. Setibanya di pos 1 langsung trekking menuju puncak dimana Waerebo berada. Kami menempuh perjalanan kurang lebih 2 setengah jam dan melewati beberapa pos, dan pos terakhir bernama rumah kasih ibu. Setelah trekking sejauh 9 km atau sekitar 2,5 - 3 jam dari Desa Denge akhirnya kami tiba di pos terakhir, rumah kasih ibu. Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pengunjung Waerebo. 

Pertama, sebelum memasuki desa tersebut para pengunjung diwajibkan untuk membunyikan alat tabuh yang terbuat dari bambu sebagai pemberitahuan akan ada tamu yang datang. Kedua, setibanya di Wae Rebo kami dilarang melakukan kegiatan dalam bentuk apapun termasuk pengambilan foto sebelum melalui upacara penyambutan tamu (waelu’u). Waelu’u merupakan upacara penghormatan kepada leluhur untuk meminta perlindungan agar tamu yang berkunjung diberi keselamatan selama tinggal di Wae Rebo. 

Diakhir upacara kami diwajibkan memberi sumbangan dengan nominal seiklasnya. Bagi pengunjung yang telah melalui prosesi upacaranya sudah dapat melakukan aktivitasnya dan diterima sebagai warga Waerebo. Sebagaimana aturannya, kami pun membunyikan alat tabuh kemudian bersegera menuju ke desa Waerebo. 

What a view, lelah kami pun terbayarkan, kami dikelilingi hijaunya pemandangan alam dan dihadapkan dengan kekhasan rumah adat manggarai yang berbentuk kerucut. Seorang perwakilan warga desa menyambut dan mengantarkan kami menuju ke rumah adat utama yang ukurannya paling besar dan berada di tengah yang bernama Niang Gendang.  Di Niang Gendang kami diwajibkan mengikuti prosesi penyambutan tamu dan disana telah menunggu kepala adat yang menyambut kami dengan senyum hangatnya.
     

Bersama Kepala Adat (dokpri)
Bersama Kepala Adat (dokpri)
Dalam prosesi waelu’u, kepala adat terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa daerah mungkin bahasa daerah manggarai namun terdengar seperti sedang merapalkan mantra. Kalau melihat situasinya kayaknya si Kepala Adat sedang meminta izin kepada roh leluhur agar kami diizinkan tinggal dan beraktivitas sebagai warga Waerebo. Waelu’u berlangsung cepat, selesai acara Kepala adat berkenan untuk berfoto bersama kami dan dimulailah hari pertama di Waerebo.

Karena kami sampenya kesorean jadi agak nothing special tapi tdk mengurangi keunikan dan keindahan desa itu. Mirip desa-desa di dataran tinggi lainnya, semakin sore suhu udara disana juga semakin dingin, perlahan tapi pasti desa mulai ditutupi kabut. Warga desa tetap sibuk dengan aktivitas mereka, anak-anak yang duduk bermain di depan rumah-rumah mereka, terlihat anjing yang udah mulai melingkarkan tubuh untuk tidur dan anjing lain yang sedang mengamati seolah-olah akan menerkam buruannya. Malam pun tiba dan desa diselimuti kegelapan hingga genset dinyalakan. 

Kebetulan pada saat kunjungan kami, banyak pula wisatawan yang berkunjung di Waerebo dan rata-rata memilih untuk menginap. Pengunjung yang menginap harus membayar 325.000/orang. Fasilitas yang didapatkan berupa matras tidur, selimut hangat dan makan malam di Niang Gena Maro. Disediakan pula 4 kamar mandi layak dengan air yang mengalir lancar namun agak sedikit keruh. Untuk listrik mengandalkan genset yang beroperasi dari jam 18.00 - 22.00 Wita.

Makan malam disajikan sekitar pukul 8 malam. Menunya nasi putih, telur sambel ijo (saya nggak begitu yakin dengan ini pokoknya telur rebus dan ada rempah-rempahnya), dan sayur cukup buat perut kelaparan menjadi full, selepas makan kami langsung kembali keposisi tidur masing-masing karena memang udah sangat lelah sambil ditemani siulan nyamuk yg menari-nari di telinga. Jadi ketika genset mati, nyamuknya mulai nyerang dan itu besar-besar, sialnya autan yang kami beli sebelum nanjak lupa ditaruh dimana, mau nggak mau kami tidur dengan menutupi seluruh badan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun