Mohon tunggu...
Zhafirah Salsabila
Zhafirah Salsabila Mohon Tunggu... Konsultan - Kesehatan Masyarakat

Mahasiswa Program Credit Earning Hukum Kesehatan FHUI 2021

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Izin Praktik Dokter Asing di Indonesia

19 April 2021   14:18 Diperbarui: 19 April 2021   14:18 5136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan dikelompokan ke dalam 13 kelompok, adapun tenaga kesehatan medis berdasarkan pasal 11 ayat (2) UU RI No 36/2014 terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis (UU RI Nomor 36, 2014). Berdasarkan UU RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU RI Nomor 29, 2004). Dokter memiliki peran sentral dalam proses pembangunan kesehatan bangsa. Dokter merupakan intelektual yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala bidangnya. Nilai profesi itu antara lain kemanusiaan (humanism), etika (ethics), dan kompetensi (competence) (Khumaidi, 2014). Tugas tenaga kesehatan khususnya dokter, tidak hanya mengobati, tetapi bertugas sebagai advokat di bidang kesehatan bagi pasien. Dokter menjadi pendamping bagi pasien, memberikan edukasi, menjelaskan dengan detil apa saja yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien sampai pasien paham, memberikan informasi, memberikan support, memberdayakan pasien, mengajari problem solving skills, pendekatan kepada pasien, keluarga pasien, dan komunitasnya. Selain itu, mampu secara holistik melihat pasien secara keseluruhan bio-psiko-sosial-cultural-spiritual. Tidak hanya memeriksa, memberikan resep dan memberi obat, tetapi juga berinteraksi berbagai faktor munculnya penyakit, dampak penyakit bagi pasien dan keluarganya. Dokter juga mampu menangani pasien secara komprehensif yaitu promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif (FK-UGM, 2017).

Pelayanan jasa bidang kesehatan di Indonesia memiliki berbagai tantangan yang dihadapi, dimana perkembangan nakes belum memenuhi kebutuhan untuk mendukung pembangunan kesehatan; regulasi untuk mendukung upaya kesehatan masih terbatas; perencanaan kebutuhan nakes masih belum memadai dan belum didukung dengan sistem informasi nakes yang kuat; pengadaan pendidikan nakes masih belum sesuai dengan jumlah dan jenis yang diperlukan; kualitas pendidikan dan pelatihan nakes belum memadai; pendayagunaan, pemerataan, pemanfaatan dan pengembangan nakes belum memuaskan; pembinaan dan pengawasan mutu nakes belum sesuai dengan yang diharapkan; serta sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan nakes termasuk sistem informasi masih terbatas (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pada era globalisasi saat ini yang tidak terikat oleh negara dan batas wilayah, perpindahan barang, jasa, modal, teknologi, manusia tanpa batas mengembangkan teknologi dan informasi semakin pesat. Globalisasi mempengaruhi perubahan semua sektor termasuk sektor kesehatan. Pada tahun 2015, negara anggota ASEAN dalam kerangka ekonomi yang diberi nama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) telah menyetujui Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025. MEA 2025 merupakan kelanjutan dari MEA 2015, dan bertujuan untuk membuat ekonomi ASEAN semakin terintegrasi dan kohesif; berdaya saing dan dinamis; peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral; tangguh, inklusif, berorientasi serta berpusat pada masyarakat; serta ASEAN yang global. Pergerakan tenaga kerja terampil di ASEAN diatur melalui Mutual Recognition Agreement (MRA) mencakup 8 profesi yakni, profesi insinyur, arsitek, surveyor, dokter umum, dokter gigi, perwawat, jasa pariwisata dan akuntan (Kementerian Luar Negeri RI, 2015). Berlakunya arus bebas tenaga kerja terampil khususnya jasa profesi dokter diatur lebih rinci dalam Mutual Recognition Arrangement on Medical Practicioners yang bertujuan untuk memfasilitasi mobilitas dokter dan/atau dokter gigi dikawasan ASEAN. Di Indonesia sendiri sudah terdapat peraturan yang mengatur tentang kedudukan profesi dokter asing yang masuk ke Indonesia untuk berbagai macam kegiatan tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing.

Sumber daya manusia di Indonesia dalam bidang perekonomian sudah cukup bersaing sebelum adanya MEA, akan tetapi setelah adanya MEA, masyarakat dari negara anggota ASEAN dapat masuk ke Indonesia membantu perekonomian Indonesia dan tidak dapat dipungkiri hal tersebut mengancam keberadaan ataupun kedudukan subjek ekonomi yang ada di Indonesia. Salah satu kasus keberadaan dokter asing ilegal pada tahun 2016 yang membuka praktik di Jakarta hanya dengan memakai izin tinggal sementara untuk bisnis atau wisata. Hal ini merupakan pelanggaran aturan dalam menyelenggarakan praktik kesehatan tanpa mengindahkan kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya untuk syarat kompetensi yang harus dipenuhi tenaga kesehatan asing untuk melakukan praktik di Indonesia.

Adanya wacana Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengenai perlunya pemerintah mengkaji kemudahan izin praktik bagi dokter asing menjadi pertentangan bagi kalangan dokter Indonesia terutama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Melalui Wakil Ketua Umum PB IDI dr. Adib Khumaidi menjelaskan SDM di bidang kedokteran di Indonesia yang sudah ada yang sebaiknya dioptimalkan. Fokus yang harus dikerjakan menurutnya adalah memperbaiki konsep pelayanan kesehatan dalam negeri ketimbang mempermudah impor dokter asing. Menurutnya dari sisi jumlah dokter di dalam negeri tak ada masalah, namun masalahnya ada pada sisi distribusi. Dia menjelaskan dari sisi distribusi dokter di seluruh Indonesia memang terdapat kelemahan. Jadi ada daerah yang surplus dokter, tapi ada pula daerah yang kekurangan, menurutnya yang sebaiknya dilakukan adalah memperbaiki persoalan di distribusi dokter ke daerah, agar tak ada wilayah yang kekurangan dokter sementara wilayah lain kelebihan dokter (Detik News, 2020).

Keterberatan akan wacana mempermudah masuknya dokter asing juga dinyatakan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Kedokteran Luar Negeri Indonesia di China. Ketua Umum Perluni China Adi Putra Korompis menyayangkan wacana tersebut, dimana hal ini bertentangan dengan proses izin praktik dokter WNI lulusan luar negeri yang harus melalui proses adaptasi di perguruan tinggi Indonesia. Sesuai Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 41 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Adaptasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri, Dokter WNI lulusan luar negeri harus memulai proses dari penyetaraan ijazah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. melakukan proses administrasi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Setelah melewati serangkaian proses administrasi tersebut, para lulusan luar negeri wajib mengikuti tes penempatan dengan terlebih dulu harus mendapatkan surat pengantar ke perguruan tinggi di Indonesia untuk mengikuti proses adaptasi. Adapun lama proses adaptasi memakan waktu maksimal setahun untuk dokter umum lulusan luar negeri, sedangkan untuk dokter spesialis maksimal dua tahun (CNN Indonesia, 2020). Hal ini menjadi permasalahan jika pemerintah memberikan kemudahan bagi dokter asing untuk berpraktik di Indonesia, sementara dokter WNI lulusan luar negeri harus melalui rangkaian proses administrasi untuk dapat berpraktik di Indonesia.

DASAR HUKUM

Skema ekonomi MEA yang mengatur kemajuan teknologi dan informasi di bidang jasa dalam Mutual Recognition Arrangement (MRA) merupakan perjanjian para negara anggota ASEAN dibawah AFAS (ASEAN Framework Agreement on Service) yang dipergunakan untuk memfasilitasi pergerakan bebas profesional/ tenaga kerja terampil di ASEAN. Adapun objek pengaturan tenaga professional bidang kesehatan diatur dalam ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Practitioners yang tercantum dalam Article I yaitu, untuk memfasilitasi mobilitas praktisi medis di lingkungan ASEAN, bertukar informasi dan meningkatkan kerja sama, mempromosikan penerapan praktik terbaik sesuai standard an kualifikasi, serta memberikan kesempatan untuk pengembangan dan pelatihan praktisi medis sesuai dengan kebutuhan negara anggota ASEAN (ASEAN MRA on Medical Practitioners, 2012). Pada ketentuan MRA on Medical Practitioners Article III tentang profesi dokter asing yang hendak bekerja di wilayah negara ASEAN harus tunduk pada peraturan yang ditetapkan di masing-masing negara, maka dari itu para dokter asing yang hendak berpraktik di Indonesia haruslah tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun dasar hukum yang mengatur tentang praktik dokter Indonesia mengacu pada UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, PMK RI Nomor 317/MENKES/PER/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia, PMK RI Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, PMK RI Nomor 67 Tahun 2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi, serta Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 41 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Adaptasi Dokter dan Dokter Gigi WNI Lulusan Luar Negeri.

PERIZINAN PRAKTIK KEDOKTERAN ASING INDONESIA

Berdasarkan Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 3 adanya pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk: (a) memberikan perlindungan kepada pasien; (b) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan (c) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Dibentuknya Konsil Kedokteran Indonesia yang selanjutnya disingkat KKI berdasarkan pasal 6 memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. KKI mempunyai fungsi dan tugas yang diamanatkan dalam pasal 7 salah satunya melakukan registrasi dokter dan dokter gigi. Adapun pengeluaran Surat Tanda Registrasi (STR) bagi dokter dan dokter gigi warga negara asing juga diberikan oleh KKI sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam pasal 30 ayat (3), dimana dokter dan dokter gigi warga negara asing harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia (UU RI Nomor 29, 2004). Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, untuk memperoleh Surat Izin Praktik (SIP) yang tercantum dalam pasal 17 ayat (2) huruf a dan b (PMK Nomor 2052, 2011). Surat Tanda Registrasi yang diterbitkan oleh KKI bagi dokter dan dokter gigi warga negara asing bersifat sementara yang berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya. STR sementara ini diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia. Sementara pada pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa STR bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Adapun dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu, tidak memerlukan STR bersyarat namun harus mendapatkan persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia sesuai pasal 32 ayat (2) dan (3) (UU RI Nomor 29, 2004).

Pada PMK RI Nomor 317/MENKES/PER/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia pasal 2 menyebutkan bahwa pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat hubungan bilateral antara Negara Republik Indonesia dengan Negara asal TK-WNA yang bersangkutan, yang dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia (PMK Nomor 317, 2010). Adapun TK-WNA yang masuk ke Indonesia berdasarkan Perkonsil Nomor 6/2011 pasal 13 ayat (1) hanya boleh melakukan kegiatan meliputi pendidikan, pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, dan/atau pelayanan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Perkonsil Nomor 6, 2011). Dalam melakukan pelatihan alih IPTEKDOK serta pemberian pelayanan bidang kedokteran/ kedokteran gigi TK-WNA didampingi oleh tenaga pendamping, dalam hal ini ialah tenaga kesehatan Indonesia dengan keahlian yang sesuai yang ditunjuk sebagai pendamping TK-WNA dan dipersiapkan sebagai calon pengganti TK-WNA (PMK Nomor 317, 2010). Pendayagunaan TK-WNA dalam kegiatan pelayanan kesehatan berdasarkan pasal 5 PMK Nomor 67/2013 hanya dapat dilakukan apabila kompetensi yang dimiliki oleh TK-WNA belum dimiliki oleh tenaga kesehatan Indonesia dan/atau telah dimiliki oleh tenaga kesehatan Indonesia dalam jumlah yang sedikit (PMK Nomor 67, 2013), dengan syarat sesuai PMK 317/2010 pasal 7 ayat (1) TK-WNA pemberi pelayanan berkualifikasi minimal dokter/dokter gigi spesialis, sementara TK-WNA pemberi pelatihan sesuai pasal 7 ayat (2) berkualifikasi minimal dokter/dokter gigi subspesialis (PMK Nomor 317, 2010).

Pendayagunaan TK-WNA di Indonesia sesuai pasal 3 ayat (1), (2), (3) PMK 317/2010 dan pasal 18 ayat (1), (2), (3) PMK Nomor 2052/2011 hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial kecuali melakukan pemberian pertolongan pada bencana atas izin pihak yang berwenang (PMK Nomor 2052, 2011; PMK Nomor 317, 2010). Sesuai pasal 11 (1) TK-WNA pemberi pelayanan hanya dapat bekerja di RS Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, serta dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan pasal 4 ayat (1) (PMK Nomor 317, 2010). Segala kegiatan TK-WNA berdasarkan pasal 13 ayat (1) Perkonsil Nomor 6/2011 harus memiliki izin tinggal terbatas serta pengetahuan dan/atau keterampilan di bidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia. Selanjutnya TK-WNA harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Surat Izin Praktik (SIP). Perizinan untuk memperoleh SIP dapat diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan berkas sesuai pasal 8 ayat (1) PMK Nomor 2052/2011, dengan diberikannya SIP pada dokter/dokter gigi WNA sepanjang memenuhi persyaratan, maka dokter/dokter gigi WNA juga harus telah dilakukan evaluasi dan memiliki izin kerja dan izin tinggal serta lulus Bahasa Indonesia sesuai pasal 17 ayat (2) (PMK Nomor 2052, 2011). STR sementara yang dikeluarkan oleh KKI diperuntukan kepada dokter atau dokter gigi WNA yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara. Di sisi lain pemberian STR bersyarat diperuntukan kepada peserta didik untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran/ kedokteran gigi bagi dokter/dokter gigi WNA (Perkonsil Nomor 6, 2011). Apabila TK-WNA tidak memiliki STR sementara dalam melakukan kegiatan praktik kedokterannya di wilayah Indonesia, maka dapat dikenai pidana sesuai UU RI Nomor 29/2004 pasal 75 ayat (2), pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (UU RI Nomor 29, 2004).

ADAPTASI DOKTER WNI LULUSAN LUAR NEGERI

Program adaptasi berdasarkan pasal 1 Perkonsil Nomor 41/2016 merupakan penyetaraan kompetensi dan penyesuaian kemampuan terhadap kondisi di Indonesia bagi dokter atau dokter gigi WNI lulusan luar negeri untuk melakukan praktik kedokteran berdasarkan standar pendidikan dan standar kompetensi Indonesia. Penyetaraan kompetensi berupa serangkaian kegiatan untuk memperoleh kesetaraan kompetensi sesuai standar di Indonesia dengan tujuan mengevaluasi standar dokter atau dokter gigi WNI lulusan luar negeri, menyesuaikan kemampuan berdasarkan kompetensi disiplin ilmu yang telah disahkan KKI, menyesuaikan sikap perilaku dan etika sesuai kondisi sosio kultural serta fasilitas dan penyakit di Indonesia, dan juga memahami sistem pelayanan dan pembiayaa kesehatan nasional yang berlaku di Indonesia (Perkonsil Nomor 41, 2016). Adapun jangka waktu pelaksanaan program adaptasi berdasarkan pasal 22 ayat (1) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun bagi dokter atau dokter gigi, sementara program spesialis dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun untuk dokter atau dokter gigi spesialis. Penyetaraan kompetensi dan penyesuaian kemampuan lulusan luar negeri jika tidak memenuhi kompetensi dapat dilakukan perpanjangan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, namun bila telah dilakukan masa perpanjangan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pasal 22 ayat (2) huruf a, maka dinyatakan tidak kompeten.

Dokter atau dokter gigi lulusan luar negeri mengajukan permohonan mengikuti program adaptasi kepada KKI dengan memenuhi kelengkapan berkas persyaratan administratif sesuai pasal 4 Perkonsil Nomor 41/2016, bagi lulusan luar negeri yang tahun kelulusannya lebih dari 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pembuatan surat permohonan, juga harus melampirkan dokumen tanda bukti mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran/kedokteran gigi berkelanjutan. Selanjutnya Konsil kedokteran Indonesia akan menetapkan materi muatan penyesuaian kemampuan berdasarkan usulan bersama dari AIPKI/AFDOKGI (pasal 17), jangka waktu, dan Institusi Pendidikan terakreditasi A atau B sesuai pasal 8 ayat (1), kemudian calon peserta program adaptasi melakukan tes penempatan yang diselenggarakan oleh Kolegium Dokter Indonesia (KDI)/ Kolegium Dokter Gigi Indonesia (KDGI) bila persyaratan administratif telah dipenuhi. KDI/KDGI akan mengeluarkan sertifikat kompetensi jika hasil tes penempatan memenuhi ambang batas kelulusan, namun jika calon peserta didik tidak memenuhi ambang batas kelulusan maka dilakukan tes penempatan ulang sebagaimana dimaksud pada pasal 15 ayat (5). Permohonan mengikuti program adaptasi, tes penempatan, hingga uji kompetensi bagi dokter/dokter gigi WNI lulusan luar negeri ini dikenakan biaya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dinilai menyulitkan bagi dokter/dokter gigi WNI lulusan luar negeri yang hendak berpraktik di Indonesia, dibandingkan dengan dokter/dokter gigi asing yang diwacanakan akan dipermudah melakukan pendidikan/pelatihan, pemberian pelayanan kesehatan di Indonesia, mengingat selain banyaknya persyaratan, tes penempatan, lulusan luar negeri juga harus ikut dalam uji kompetensi sesuai pasal 26 Perkonsil Nomor 41/2016, dan juga mengikuti program internship bagi lulusan yang belum pernah melaksanakan internship di profesi dokternya.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun