Pendidikan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 adalah “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Menurut Pasal 31 ayat 1 UUD 1945, “Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan”. Lalu bagaimana dengan banyaknya kasus disparitas pendidikan yang terjadi di perkotaan dan pedesaan?
Hingga saat ini Indonesia masih memiliki kesenjangan di bidang pendidikan, khususnya di daerah-daerah 3T. Daerah 3T adalah daerah yang tergolong dalam daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Tertinggal berarti memiliki kualitas pembangunan yang rendah, dimana masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Lalu dari sisi geografis berada di daerah terdepan dan terluar wilayah Indonesia. (Syafii, 2018).
Berdasarkan Perpres No. 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 2020-2024, terdapat 62 kabupaten yang masuk dalam kategori daerah 3T. Daerah-daerah tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia kecuali Pulau Jawa dengan rincian wilayah Papua 30 kabupaten, Maluku 8 kabupaten, Nusa Tenggara 14 kabupaten, Sulawesi 3 kabupaten dan Sumatera 7 kabupaten. Daerah-daerah tersebut menghadapi berbagai keterbatasan seperti pendidikan, perekonomian, dan infrastruktur. Ketimpangan sangat terlihat jelas khususnya di bidang pendidikan, antara daerah tertinggal dan daerah maju.
Ada tiga permasalahan utama di bidang pendidikan yang sering dihadapi oleh daerah 3T, yaitu:
- Permasalahan dari pihak guru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan guru atau tenaga pengajar merupakan permasalahan utama pendidikan di daerah 3T. Mulai dari jumlahnya yang hanya sedikit, penyebaran yang tidak merata, kualifikasi di bawah standar, kurang keterampilan, serta tidak sesuainya kualifikasi dengan bidang pengajarannya. (Shaina, 2022).
- Permasalahan aksesibilitas dan fasilitas.
Sekolah yang berada di daerah 3T umumnya memiliki akses yang sulit. Rata-rata lokasinya berjarak 149 km atau 5 jam perjalanan dari kota. Selain itu, hanya 29% yang terdapat jaringan listrik, dan hanya 17% yang mempunyai akses internet. Berdasarkan hasil survei, dari segi fasilitas di sekolah, 91% sekolah memiliki toilet dengan rasio laki-laki dan perempuan yang seimbang. Perpustakaan hanya dimiliki oleh 54% sekolah. Sementara jumlah buku ajar yang lengkap hanya 39%. (Shaina, 2022).
- Permasalahan kualitas siswa dan kepuasan orang tua.
Salah satu contohnya adalah masih banyak siswa SMA di daerah 3T yang tidak bisa membaca, berhitung, dan menulis dengan lancar. Padahal, masalah membaca, berhitung, dan menulis seharusnya sudah diatasi pada saat Sekolah Dasar. Meskipun hasil belajar anaknya demikian, banyak orang tua sudah merasa puas dengan hasil tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya harapan orang tua terhadap pendidikan anak atau kurangnya pemahaman orang tua tentang standar layanan pendidikan yang seharusnya diberikan oleh guru. (Shaina, 2022).
Pemerintah dan beberapa organisasi swasta pernah mencoba beberapa solusi untuk mengurangi kesenjangan di daerah 3T, antara lain: (1) SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal); (2) peningkatan produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk; dan (3) Indonesia Mengajar yang diprakarsai oleh Anies Baswedan. Ketiga program tersebut merupakan beberapa mekanisme yang memungkinkan pemerintah dan organisasi masyarakat untuk mengurangi kesenjangan di daerah 3T, khususnya dalam pemerataan pendidikan. (Sholihah Rosmana dkk., 2022). Namun, ketiga solusi ini masih kurang efektif, karena para relawan guru kebanyakan adalah sarjana yang belum berpengalaman dan para guru yang ditetapkan di daerah 3T bersifat sementara.
Untuk mengatasi permasalahan tidak meratanya pendidikan di Indonesia maka perlu adanya perhatian khusus dan perbaikan pendidikan di daerah terbelakang, terdepan dan tertinggal, yaitu:
Pemerintah dapat memberikan kebijakan berupa Dana Bos, dengan memberikan dukungan operasional yang akan langsung disalurkan ke sekolah-sekolah di daerah 3T. Siswa yang kurang mampu pada daerah 3T seharusnya menerima beasiswa karena sulitnya untuk mendapatkan akses dan fasilitas yang memadai.
Pendidikan di daerah 3T juga memerlukan adanya digitalisasi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan bahwa beliau akan membagikan laptop, dan juga akan memastikan bahwa daerah 3T memiliki akses internet. Dengan terpenuhinya kedua hal tersebut, maka daerah 3T dapat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan teknologi, sehingga tidak terjadi kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan daerah 3T.
Kemudian yang terpenting adalah Guru. Pendidikan di daerah 3T memerlukan guru-guru yang berkualitas. Masalah yang sering dihadapi di daerah 3T adalah kurangnya guru-guru yang berkualitas sehingga dapat menurunkan kualitas pendidikan di daerah 3T. Pemerintah perlu memberikan reward agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengajar di daerah-daerah terpencil karena mereka berperan penting dalam pemerataan pendidikan dan mengurangi angka putus sekolah.
Daftar Pustaka
Shaina, P. (2022, Desember 8). Lika-Liku Masalah Pendidikan di Daerah 3T. Sahabat Pedalaman. https://blog.sahabatpedalaman.org/pendidikan-daerah-3t/
Sholihah Rosmana, P., dkk. (2022). Upaya Pemerataan Pendidikan Berkelanjutan Di Daerah 3T. Attadib: Journal of Elementary Education, 6(2), 408. https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/attadib/article/view/1212/764
Syafii, A. (2018). Perluasan dan Pemerataan Akses Kependidikan Daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Jurnal Manajemen Dan Pendidikan Islam, 4(2), 156. https://journal.unipdu.ac.id/index.php/dirasat/index
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H