Kasus Pedofilia
Kekerasan khususnya kekerasan seksual terhadap anak tidak henti-hentinya terjadi, Babe alias Bahekuni (48 tahun) mengaku telah membunuh 8 anak jalanan, hampir semua dimutilasi setelah sebelumnya semua menjadi korban pedofilia. Kasus yang sangat biadab ini semakin membuka mata masyarakat, bahwa kekerasan terhadap anak tampaknya semakin mengancam dan lebih kompleks. Lebih miris lagi kasus ini adalah pengulangan kasus serupa, yaitu kekejaman Robot Gedeg. Kasus Babe itu hampir menyamai “keganasan” si Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Yang paling mengenaskan semua korbannya anak jalanan, yang selama ini terpinggirkan secara ekonomi, sosial atau tidak terpenuhi hak dan kelangsungan hidupnya seperti anak Indonesia lainnya.
Pedofilia
Kekerasan dan kejahatan seksual sering dilakukan oleh penderita dewasa yang mengalami kelainan seksual. Kelainan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan jalan tidak sewajarnya. Cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah dengan menggunakan objek seks yang tidak wajar, seperti Pedofilia. Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun baik pria maupun wanita, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut mengganggu si anak. Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
Kebanyakan penderita pedofilia menjadi korban pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Anak-anak yang terlibat dalam pedofilia, 2 – 3 diantaranya dalam aktivitas seksual tersebut bersifat koperatif terhadap orang dewasa yang sama maupun bukan. Meskipun demikian sikap koperatif anak-anak ini lebih dikarenakan perasaan takut dibanding ketertarikan terhadap seks itu sendiri.
Aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Orang dengan pedofilia seringkali merasionalisasikan dan beralasan bahwa perilakunya merupakan hal sifatnya mendidik, dan anak-anak tersebut juga mendapat kepuasan seksual, atau anak-anak itu sendiri yang menggoda.
Aktivitas seksual melibatkan anak dari anggota keluarga sendiri ataupun anak-anak lain. Korban dari penganiayaan seks ini biasanya diancam untuk tidak membeberkan rahasia. Seringkali orang dengan pedofilia sebelumnya melakukan pendekatan terhadap anak, seperti melibatkan diri dengan wanita yang memiliki anak-anak, menyediakan rumah yang terbuka pada anak-anak, sesama orang pedofilia bertukar anak ataupun penculikan anak dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan, kesetiaan, maupun kasih sayang anak tersebut, sehingga anak tersebut dapat menjamin rahasia.
Ancam Anak Jalanan
Melihat kenyataan hidup sehari-hari ternyata banyak anak Indonesia yang sering diabaikan haknya demi kepentingan nista dari orang dewasa. Pedofilia adalah salah satu contoh memilukan terabaikannya hak anak Indonesia. Anak adalah nyawa tak berdaya yang tak mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa. Padahal anak adalah modal terbesar dan harapan masa depan bangsa ini. Lebih mengenaskan kasus Babe seperti halnya kasus Robot Gedeg yang menjadi korban adalah anak jalanan. Anak jalan dalam hal ini mempunyai nasib yang sangat tragis.
Anak normal dengan lingkungan keluarga yang lengkap dan kecukupan harta akan tercukupi kebutuhan dan haknya sebagai anak. Anak Indonesia yang normal ini dapat sekolah, mendapatkan sandang, papan dan pangan dengan baik oleh orangtuanya. Kelompok anak ini juga mendapatkan kebutuhan keamanan dan kebutuhan tekreasi yang memadai dari orangtuanya.
Sebaliknya dengan anak jalanan, alam kehidupan sosial mereka ini tidak hanya terpinggirkan karena cengkeraman himpitan ekonomi. Kebutuhan sandang, pangan dan papannya pun mereka kadang harus mencari sendiri. Belum lagi, ancaman terhadap nyawa setiap saat mengintai tubuhnya tanpa ada yang kuasa melindunginya. Anak jalanan ini mengarungi kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima anak seusia.