Perjalanan pulang aksi RUU PILKADA waktu itu,saya mendengar sedikit cerita  penjual buku di lokasi depan kantor pos OKM yang Masih berputar putar di pikiran saya. "Mas koyoe Indonesia Iki bakalan menuju demokrasi terpimpin mene era jaman e Soekarno ora salah", Ujarnya dengan bahasa jawa lembut itu.
Saya bukan orang yang merasakan betul terkait demokrasi terpimpin di era Soekarno itu. Tapi saya telah membaca sedikit banyaknya sejarah yang terjadi di era demokrasi terpimpin pada jaman Soekarno. Dalam buku yang saya baca, sebelum demokrasi terpimpin lahir, Indonesia memakai sistem demokrsi liberal sekitar tahun 1950-1959. Â Saat memakai sistem demokrasi liberal waktu itu, partai partai politik dengan ideologi yang beragam menunjukkan aksi brutalnya dalam berkompetisi secara terbuka untuk mendapatkan kekuasaan.
Sekitar tahun 1957 Sukarno menunjukkan ketidaksukaannya pada konsep barat tentang demokrasi parlementer di Indonesia. Menurutnya sistem tersebut menyebabkan terjadinya berbagai krisis di Indonesia. Sistem itu baginya telah membuat kekuasaan pemerintah melemah dan oposisi politik semakin menguat. Disitulah keinginan sukarno hadir untuk memakai sistem yang lebih mirip konsep kekeluargaan yang kepala keluarganya langsung dari pemimpinnya.
Setelah keinginan konsep kekeluargaan itu hadir. Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 juli 1959, yang menetapkan pembubaran konstituante, pemberlakuan Kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementaran (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Ketika dekrit tersebut dikeluarkan, menurut sukarno sistem demokrasi terpimpin yang paling tepat untuk menata ulang politik dan pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Setelah sistem demokrasi terpimpin berlangsung sekitar 5 juli 1959, Ketika dekrit presiden dikeluarkan, dalam praktikanya demokrasi terpimpin memperkuat posisi sukarno di panggung politik nasional. Karena kekuasaan kini terpusat di tangan sukarno sepenuhnya dan mengabaikan hasil pemilihan umum tahun 1955 dengan membubarkan DPR dari hasil pemilu tersebut dan menggantikannya dengan DPR GR yang dipilih dan ditetapkan langsung oleh presiden sukarno. Konsekuensi waktu itu, fungsi legislatif yang dipunyai DPR melemah karena Lembaga ini dikontrol langsung oleh sukarno.Â
Di sisi lain, suasana kehidupan kepartain juga mengalami kemunduran, sebagaimana tampak pada waktu itu usaha presiden untuk menyingkirkan kalangan oposisi (salah satunya pembubaran partai masyumi 1960). Selain itu, kebebasan berpendapat juga dikekang di bawah demokrasi terpimpin, termasuk dengan pelarangan terbit harian abadi milik masyumi dan harian pedoman yang berifiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Maka dari itu, melihat sejarah demokrasi terpimpin sukarno tersebut, menimbulkan kekhawatiran yang menghadirkan kemiripan pada pemerintahan Jokowi yang mengarah pada demokrasi terpimpin. Lantas, kemiripan apa yang terjadi di pemerintahan Jokowi ?
KEMIRIPAN POLA DEMOKRASI SOEKARNO VS JOKOWI
Dua periode pemerintahan Jokowi selalu di cap buruk oleh masyarakat Indonesia. Dua periode pemerintahan Jokowi banyak penilaian bahwa Indonesia tak jelas arahnya mau di bawa kemana, dari ketidakjelasan itu kalangan akademisi,peniliti dan mahasiswa pemerintahan rezim Jokowi polanya menuju ke arah demokrasi terpimpin seperti era presiden soekarno.
Pola itu dimulai dari menekan kebebasan dan mematikan kritik. Kita tidak pernah bisa menggandeng demokrasi, tanpa mengikut sertakan kebebasan bersamanya. Kebebasan merupakan salah satu prinsip fundamen dan subtantif dalam demokrasi. Dengan adanya demokrasi, publik dapat dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam penyeleggaraan pemerintah, termasuk dalam perumusan kebijakan publik dan pengawasan terhadap kekuasaan lewat kritikan. Kritik adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi yang bertujuan untuk mengurangi pemerintahan yang ugal ugal an. Demokrasi tanpa kebebasan, kritikan itu salah satu keniscayaan kebohongan dan jalan menuju bencana. Sebagaimana yang terjadi pada masa presiden soekarno yang ditandai dengan kontrol ketat terhadap kebebasan berpendapat yang sangat di batasi, seperti sensor media, pembatasan kegiatan politik oposisi, dan penindakan terhadap individua atau kelompok yang di anggap mengganggu stabilitas politik. Kebebasan individu serta hak hak sipil seringkali ditekan demi menjaga keamanan dan stabilitas politik.
Dengan begitu, kemiripan itu hadir kembali di era reformasi yang di anggap sebagai babak baru untuk Indonesia namun perlahan dilakukan dengan pengikisan ruang kebebasan tersebut dengan berbagai bentuk. Kejamnnya, pengikisan ruang kebebasan dan pelemahan terhadap demokrasi tersebut di dibidani oleh seorang pemimpin yang lahir dari rahim reformasi, Joko Widodo. Rezim Jokowi justru berusaha mereproduksi dan berusaha menyamakan pola di era demokrasi terpimpin dengan cara mencekik ruang kebebasan dan membasmi kritik publik terhadap jalannya roda kekuasaan.
Kemiripan pola pemberangusan ala Jokowi ini melalui instrumenn hukum dan non hukum yang menyempitkan ruang kebebasan dan mematikan kritik publik dengan salah satu produk hukum yaitu UU ITE. Undang Undang ini yang pada awalnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan siber malah berbalik arah dengan menangkapi dan memenjarakan jurnalis,aktivis, dan warga negara yang biasa mengkritik pemerintah.
Di samping memakai perangkat hukum itu, Jokowi juga mengadopsi cara cara non hukum untuk mengamputasi kebebasan dan kritik publik lewat pemberangusan oposisi politik. Rezim Jokowi, terutama di periode kedua nyaris tak ada satupun oposisi. Jokowi yang dikenal jago melobi para elite politik menghadirkan koalisi gemuk membuat prinsip check and balance hampir tidak berjalan sama sekali.
Matinya oposisi politik era Jokowi ini terekam jelas lewat mulusnya pembahasan dan pengesahan sejumlah produk produk hukum yang penuh kntroversial dan mendapat kecaman dari publik, seperti UU CIPTAKER, Revisi UU KPK dan pembahasan RUU PILKADA yang dibahas sekian jam di BALEG DPR RI. Sementara itu, depolitisasi Gerakan atau suara kritis ditempuh Jokowi dengan mengakomodasi akademisi ke dalam pemerintahan. Konsekuensinya, suara kritis mereka menjadi padam. Para akademisi tersebut menjelma menjadi operator kekuasaan yang sibuk membela dan membenarkan setiap Langkah dan Gerakan kekuasaan atau dalam Bahasa Gramsci disebut intelektual tradisional. Bertugas sebagai kepanjangan tangan kekuasaan yang mengarahkan publik agara menyepakati segala bentuk ide dari seorang penguasa.
Seiring dengan pembungkaman yang terus terjadi dengan pola demokrasi yang mangarah kepada demokrasi terpimpin era soekarno, dapat kita lihat juga fenomena yang terbaca pada beberapa kebijakan yang kian tersentralisasi, utamannya dalam kepemimpinan di daerah. Bagaimana kita melihat seluruh kewenangan dari level pusat, daerah, mekanisme demokrasi dan segala macamnya dibajak dengan kewenangan yang tunggal yang bersifat absolut dari Jokowi.
Terlihat dari Presiden Jokowi dan Menteri dalam negeri Tito Karnavian tidak kunjung mengeluarkan menerbitkan peraturan pelaksana dalam hal pengagkatan penjabat (pj) kepala daerah. Padahal, penerbitan aturan itu langsung amanat dari Mahkamah Konstitusi (MK) dan Rekomendasi Ombudsman RI yang mempunyai wewenang untuk itu. Oleh karenanya, kesewenangan inilah yang terlihat jelas bahwa pola demokrasi era rezim Jokowi menuju demokrasi terpimpin yang menunjuk langsung pj kepala daerah tersebut.
MENGAMANKAN DEMOKRASIÂ
Melihat dari Indonesia sejak di proklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 yang sedikit lagi memasuki usia seratus tahun di 2045. Pada usia tersebut, kita sangat berharap Indonesia mencapai situasi ideal dalam berbagai kehidupan termasuk dalam tatanan demokrasi. Oleh karena itu, memikirkan capaian dan idealitas demokrasi tersebut menjelang 100 tahun Indonesia menjadi kewajiban.
Berangkat dari sejarah bahwa demokrasi di Indonesia tidak bergerak secara linier sehingga sangat dibutuhkan kebijakan untuk memperkokoh demokrasi tersebut. Pertama, walaupun menghadapi periode-periode pasang surut, ide tentang demokrasi tidak pernah punah dalam praktik bernegara di Indonesia. Kedua, Indonesia tidak hanya konsisten menempatkan demokrasi sebagai bagian integral dalam peran internasionalnya, namun juga aktif mempromosikan demokrasi di luar negeri, pada tingkat kawasan dan global, sehingga memiliki kebutuhan untuk memperkuat demokrasi di tingkat domestik. Ketiga, saat ini Indonesia sudah berada pada jalur demokrasi yang kuat pada aspek tertentu, namun membutuhkan perbaikan pada aspek demokrasi lainnya.
Serta demokrasi juga sangat bergantung pada aktor aktor demokrasinya yang dimulai dari pemerintahan hingga masyarakat sipil.
Dengan begitu, demokrasi di Indonesia tetap aman dengan control politik yang terbuka agar kecenderungan tirani mayoritas dapat ditekan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI