Masa kecilku diisi dengan perasaan kosong, perasaan yang selalu mengingatkan bahwa ada bagian dari hidupku yang hilang. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa sosok yang seharusnya melindungiku, justru menjadi bayang-bayang gelap yang menyesakkan. Tak pernah ada pelukan ayah yang hangat, tak pernah ada kata-kata lembut yang ia ucapkan. Yang ada hanyalah kisah-kisah buruk tentang bagaimana ia meninggalkan luka, tidak hanya pada ibu dan kakakku, tapi juga padaku—meski aku belum lahir saat itu.
Saat aku tumbuh remaja, nasib seakan mempermainkan hidupku. Konon ujarnya 'anak perempuan terakhir selalu membawa kutukan dari dosa-dosa bapaknya', dan dalam setiap langkahku, aku merasakannya. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan, baik itu pertemanan atau cinta, hasilnya selalu sama: pengkhianatan. Seolah-olah setiap orang yang masuk dalam hidupku hanya datang untuk meninggalkanku, untuk mengulangi kesalahan yang sama, kesalahan yang tak pernah kulakukan. Aku diselingkuhi, ditinggalkan, dan pada akhirnya, aku mulai membangun dinding tinggi di sekeliling hatiku. Dinding yang tak seorang pun bisa tembus.
Anehnya, aku justru menemukan diriku tertarik pada pria yang menyerupai ayahku. Bukan secara fisik, namun kebiasaan dan sikap. Pria-pria yang sulit dicintai, acuh tak acuh, dan tak jarang pula terlibat dalam kebiasaan buruk. Aku tahu, ini bukanlah hal yang sehat. Cuma.. inilah bagian dari diriku yang berusaha menyelesaikan sesuatu yang tak pernah bisa diselesaikan dengan ayah. Namun, semakin dalam aku terlibat, semakin aku menyadari bahwa aku hanya mengulangi luka yang sama—luka yang diwariskan oleh pria yang tak pernah benar-benar kuingat.Â
Aku seringkali terdiam di tengah-tengah percakapan, teringat oleh sosoknya. Kendatipun bukan dalam nostalgia yang manis, tapi condong kepada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Terkadang aku marah, terkadang aku merasa kosong, tapi aku tak pernah menangisinya lagi. Tidak. Bukan karena aku tidak perduli, tapi karena aku memang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengenalnya, untuk benar-benar merasakan kasih sayang seorang ayah untuk anak perempuannya. Sekali ada nama ayah, keluar dari sungut ibuku di tengah-tengah pertengkaran, amarah yang ku simpan selama bertahun-tahun lamanya meledak. Dan saat itulah aku mulai menangis, bukan karena merindu, tapi karena aku terhimpit luka-luka yang ditinggalkan olehnya.Â
Ia sudah lama pergi, tapi bayangnya tetap tinggal. Seperti hantu yang terus menggentayangi langkah-langkahku sekalipun aku sudah sangat letih, lengah, dan berkelukur, memikul dosa-dosanya padahal bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Aku ingin bebas, ya Tuhan. Bebas dari bayangan ini, untuk menjalani hidupku tanpa harus membawa beban yang bukan milikku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H