Mohon tunggu...
PenaZevanya.
PenaZevanya. Mohon Tunggu... Penulis - Siswa/Penulis 'Karet, dan Getah'

Sejak usia tujuh tahun, saya gemar menulis. Saya mudah jatuh cinta dengan buku-buku jadul, meski halamannya lecek dan keriting bagai rambut yang habis dicatok. I'm extremely flexible, so artikel-artikel yang saya tulis di sini beragam, agar kalian tidak mempunyai ruang untuk kebosanan, hehe! sekaligus agar saya mendapatkan cuan-cuan wangyԅ(¯﹃¯ԅ).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berdiri di Ambang Dosa

7 Oktober 2024   15:25 Diperbarui: 7 Oktober 2024   15:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/bebaphotography/

Direkomendasikan untuk membaca cerpen ini sambil mendengarkan: 'Cermin'-Nadin Amizah.

Hidup, sejak pertama kali aku mengenal dunia, sepertinya telah diatur oleh takdir yang ingin bermain-main dengan kepedihan. Seperti bayangan yang terus mengikuti langkahku, ada jejak yang tak bisa kuhapus, tak bisa kulepaskan, meski aku mencoba menjauh. Jejak itu bernama ayah.

Aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Ia lebih sering absen daripada hadir dalam hidupku, seolah dirinya hanyalah fragmen yang mengapung di udara, tak pernah benar-benar menjejak. Namun, jejak yang ditinggalkannya, entah kenapa, terus mengikuti. Ayah adalah lelaki yang hidupnya bergantung pada alkohol, dan judi. Dosanya lebih hitam dari malam tanpa bintang. Semua itu terjadi bahkan sebelum aku lahir, dan sebelum kisah kelamnya terukir di dinding kenangan keluarga kami.

Ibu selalu bercerita, dengan nada suaranya yang nyaris tak terdengar, tentang bagaimana pria yang ia cintai berubah menjadi sosok yang asing. Kata-katanya lemah, mungkin lelah, dari bertahun-tahun memikul beban yang terlalu berat untuk dibagi. Ayah dulu pernah mencintai ibu, atau setidaknya itu yang dikatakan cinta. Tapi sebelum aku sempat merasakan hangatnya kehadiran ayah, ia telah terperosok dalam kegelapan. Tak hanya alkohol dan judi yang menjadi luka, tapi juga pengkhianatan. Satu kali ibu menemukan ayah sedang berselingkuh, dengan sahabatnya sendiri.

Cinta yang pernah ada di antara mereka seakan membeku. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi arena pertarungan. Kata-kata kasar menjadi senjata, dan kemarahan menjadi peluru yang tak kenal belas kasihan. Kakakku yang saat itu masih bocah berusia enam tahun hanya mengunyah api neraka di rumah itu, yang tak pernah kunjung berakhir. Ia berdiri di antara ibu dan ayah, mencoba melerai perpecahan yang semakin memanas, sampai suatu hari ayah menghunus pisau, mengancam ibu. Kakakku, dalam kepolosan dan keberanian masa kecilnya, menjadi korban pukulan ayah, luka fisik yang ia bawa sampai sekarang, mungkin lebih berat luka batin yang tak tampak.

Saat itu, aku bahkan belum lahir.

Aku datang ke dunia saat sisa-sisa perang sudah mulai mereda. Saat aku lahir, mungkin ayah merasakan bahwa ia perlu berubah. Kata orang, 'anak perempuan terakhir sering kali menjadi pemicu pertobatan bagi seorang pria yang terjebak dalam kebiasaan buruknya.'. Dan mungkin aku adalah percikan harapan terakhir itu. Ayah mulai meninggalkan kebiasaannya sedikit demi sedikit, meskipun bayangan kelam dari masa lalunya masih menghantui. Tapi perubahan itu datang terlambat. Kecelakaan datang sebelum ayah bisa sepenuhnya membersihkan dirinya dari dosa-dosa masa lalu.

Malam itu, dalam keadaan mabuk, ayah memaksa pulang naik motor. Malam yang kelam, jalanan yang licin, dan tubuh yang tak lagi bisa menyeimbangkan, semuanya mengarah pada tragedi yang tak terelakkan. Truk besar melintas tanpa ampun, menghantam tubuh ayah hingga terjatuh. Dalam sisa-sisa nyawanya yang masih menggeliat, ia dibawa ke rumah sakit. Dokter dan perawat berusaha keras, tapi Tuhan tidak tergerak. Ia pergi dalam keheningan, membawa segala dosa dan penyesalannya.

Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Ketika orang-orang berbicara tentang kematian ayah, aku hanya bisa bertanya polos kepada ibu, “Papi kenapa, Mi?” Tapi tak ada jawaban. Hanya keheningan, karena mungkin, jawaban itu terlalu berat untuk diungkapkan dalam kata-kata.

Dan di sanalah aku, anak kecil yang tumbuh dalam diam, berusaha mengerti apa yang tak pernah dijelaskan.

Masa kecilku diisi dengan perasaan kosong, perasaan yang selalu mengingatkan bahwa ada bagian dari hidupku yang hilang. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa sosok yang seharusnya melindungiku, justru menjadi bayang-bayang gelap yang menyesakkan. Tak pernah ada pelukan ayah yang hangat, tak pernah ada kata-kata lembut yang ia ucapkan. Yang ada hanyalah kisah-kisah buruk tentang bagaimana ia meninggalkan luka, tidak hanya pada ibu dan kakakku, tapi juga padaku—meski aku belum lahir saat itu.

Saat aku tumbuh remaja, nasib seakan mempermainkan hidupku. Konon ujarnya 'anak perempuan terakhir selalu membawa kutukan dari dosa-dosa bapaknya', dan dalam setiap langkahku, aku merasakannya. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan, baik itu pertemanan atau cinta, hasilnya selalu sama: pengkhianatan. Seolah-olah setiap orang yang masuk dalam hidupku hanya datang untuk meninggalkanku, untuk mengulangi kesalahan yang sama, kesalahan yang tak pernah kulakukan. Aku diselingkuhi, ditinggalkan, dan pada akhirnya, aku mulai membangun dinding tinggi di sekeliling hatiku. Dinding yang tak seorang pun bisa tembus.

Anehnya, aku justru menemukan diriku tertarik pada pria yang menyerupai ayahku. Bukan secara fisik, namun kebiasaan dan sikap. Pria-pria yang sulit dicintai, acuh tak acuh, dan tak jarang pula terlibat dalam kebiasaan buruk. Aku tahu, ini bukanlah hal yang sehat. Cuma.. inilah bagian dari diriku yang berusaha menyelesaikan sesuatu yang tak pernah bisa diselesaikan dengan ayah. Namun, semakin dalam aku terlibat, semakin aku menyadari bahwa aku hanya mengulangi luka yang sama—luka yang diwariskan oleh pria yang tak pernah benar-benar kuingat. 

Aku seringkali terdiam di tengah-tengah percakapan, teringat oleh sosoknya. Kendatipun bukan dalam nostalgia yang manis, tapi condong kepada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Terkadang aku marah, terkadang aku merasa kosong, tapi aku tak pernah menangisinya lagi. Tidak. Bukan karena aku tidak perduli, tapi karena aku memang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengenalnya, untuk benar-benar merasakan kasih sayang seorang ayah untuk anak perempuannya. Sekali ada nama ayah, keluar dari sungut ibuku di tengah-tengah pertengkaran, amarah yang ku simpan selama bertahun-tahun lamanya meledak. Dan saat itulah aku mulai menangis, bukan karena merindu, tapi karena aku terhimpit luka-luka yang ditinggalkan olehnya. 

Ia sudah lama pergi, tapi bayangnya tetap tinggal. Seperti hantu yang terus menggentayangi langkah-langkahku sekalipun aku sudah sangat letih, lengah, dan berkelukur, memikul dosa-dosanya padahal bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Aku ingin bebas, ya Tuhan. Bebas dari bayangan ini, untuk menjalani hidupku tanpa harus membawa beban yang bukan milikku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun