3. Konflik Nilai Sosial: Disonansi kognitif juga dapat muncul ketika nilai-nilai sosial seseorang bertentangan dengan tindakannya. Sebagai contoh, seseorang yang menyadari pentingnya menjaga lingkungan namun menggunakan kendaraan bermotor yang boros bahan bakar akan merasakan disonansi antara nilai-nilai ekologisnya dan tindakannya.\n\nDengan memahami kondisi-kondisi di mana disonansi kognitif dapat terjadi, kita dapat lebih memahami bagaimana pemikiran dan tindakan manusia bisa tidak konsisten dalam situasi-situasi tertentu.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disonansi Kognitif.
Tidak semua ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku menghasilkan tingkat disonansi yang sama. Beberapa faktor memengaruhi seberapa kuatnya disonansi kognitif yang dialami maupun dirasakan seseorang, termasuk:
1. Signifikansi Keyakinan atau Sikap: Disonansi akan lebih intens dirasakan jika keyakinan atau sikap yang bertentangan merupakan hal yang sangat penting bagi individu tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang sangat memperhatikan kesejahteraan hewan namun masih mengonsumsi daging, maka disonansi yang mereka rasakan akan lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang kurang peduli.
2. Kedekatan dengan Pilihan: Semakin besar dampak dari suatu keputusan atau tindakan, semakin besar kemungkinan disonansi yang dirasakan. Misalnya, setelah membuat keputusan penting seperti pernikahan atau pembelian rumah, seseorang mungkin merasakan disonansi saat berusaha membenarkan keputusan mereka.
3. Kuantitas dan Kualitas Informasi yang Bertentangan: Jika seseorang sering kali menghadapi informasi yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka, tingkat disonansi bisa meningkat. Sebaliknya, apabila informasi yang bertentangan tersebut tidak terlalu banyak atau dianggap tidak valid, maka tingkat disonansi yang dirasakan cenderung lebih rendah.
Dampak Disonansi Kognitif dalam Kehidupan Sehari-hari.
Disonansi kognitif memiliki dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan, perilaku konsumen, hubungan interpersonal, dan keyakinan politik. Sebagai contoh, dalam konteks konsumsi, disonansi kognitif seringkali memengaruhi pilihan pembelian. Konsumen yang membeli produk dengan harga tinggi mungkin berusaha meyakinkan diri bahwa nilainya sepadan dengan harganya guna mengurangi disonansi yang dirasakan.Â
Dalam hubungan interpersonal, disonansi kognitif dapat timbul ketika seseorang memiliki perasaan atau keyakinan yang saling bertentangan dengan pasangan atau teman. Untuk menjaga keselarasan hubungan, individu sering berupaya merasionalkan atau mengubah sikap mereka agar sejalan dengan harapan orang lain. Di ranah politik, disonansi kognitif sering kali mengakibatkan polarisasi. Ketika seseorang memiliki pendirian politik yang teguh, informasi yang tidak sejalan dengan pandangannya dapat menimbulkan disonansi, sehingga cenderung menolak atau mengabaikan informasi tersebut.
 Cara Mengatasi Disonansi Kognitif.
Seorang pribadi condong mencari cara untuk mengurangi disonansi kognitif karena ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. Beberapa strategi umum yang digunakan untuk mengatasi disonansi kognitif antara lain:
1. Menghindari Informasi yang Bertentangan: Salah satu taktik yang sering digunakan adalah menghindari informasi yang tidak sejalan dengan keyakinan yang dimiliki. Bias konfirmasi membuat orang cenderung mencari konfirmasi terhadap keyakinan mereka dan mengabaikan informasi yang bertentangan.
2. Mencari Dukungan Sosial: Merasa nyaman dengan pandangan yang didukung oleh orang lain bisa membantu mengurangi disonansi. Mendapatkan dukungan dari lingkungan sosial yang sependapat dapat membantu mengurangi ketegangan.
3. Merasionalisasi: Mencari justifikasi untuk perilaku yang tidak konsisten dengan keyakinan adalah cara lain untuk mengatasi disonansi. Misalnya, seorang perokok bisa merasionalisasi kebiasaannya dengan alasan bahwa itu adalah cara mengurangi stres.