Pada awal tahun ini, Senin, 4 Januari 2015, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menghentakkan dunia para abdi negara dengan pernyataan di hadapan pers. Yang pertama adalah pengumuman rapor akuntabilitas 77 lembaga, dan yang kedua adalah wacana pemangkasan jumlah PNS 37,1 persen (detik.com). Sebenarnya terdapat juga berita bombastis dari media yang berpusat di daerah yakni Jawapos.com terkait institusi ini, yakni adanya usulan Gubernur Kalimantan Barat kepada Presiden Jokowi terkait pembubaran Kemen PAN dan RB. Dari berita-berita di atas, maka dunia birokrasi jelas menjadi sorotan serius. Dalam penilaian doing business World Bank tahun 2015, Indonesia juga masih belum menunjukkan nilai yang memuaskan dan hanya menempati rangking 114, masih di bawah Papua Nugini.
Kembali menyoal pernyataan Men PAN dan RB terkait rapor akuntablitas dan wacana pemangkasan PNS. Dari pemangkasan, MenPAN dan RB beralasan bahwa jumlah persentase belanja pegawai yang relatif sangat gemuk apabila dibandingkan belanja pembangunan merupakan salah satu indikator kurang sehatnya suatu instansi. MenPAN dan RB menyebut bahwa angka 42 persen sebagai batas nilai persentase belanja pegawai yang mengalami overweight. Meskipun penyebutan belanja pembangunan sudah kurang pas lagi di era reformasi Keuangan negara sejak tahun 2004, tetapi bisa kita tebak bahwa belanja pembangunan yang dimaksud MenPAN dan RB adalah belanja non pegawai. Tentu pasti pertanyaan lanjutan adalah apakah semua belanja non pegawai adalah produktif?
Mungkin kita akan lebih mudah melakukan analisa sederhana apabila tersaji data sampel dari K/L terkait persentase belanja pegawai. Saya mengambil data dari 6 institusi yang memiliki kinerja terbaik.
[caption caption="persentase belanja pegawai"][/caption]Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa angka rata-rata persentase belanja pegawai penerima laporan kinerja terbaik 2015 tergolong cukup tinggi. Â Terdapat dua instansi yang memiliki angka belanja pegawai di atas 42,0 persen yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan nilai 45,8 persen dan 54,7 persen. Berdasarkan angka ini maka sudah dipastikan institusi ini tergolong overweight jika melihat asumsi yang disampaikan oleh Men PAN dan RB. Â Artinya dua institusi tersebut sangat layak untuk dipangkas pegawainya.
Hasil persentase belanja pegawai tersebut apabila dibandingkan dengan laporan akuntabilitas kinerja maka disini agak membingungkan. Terdapat dua instansi yang memiliki kinerja yang cukup baik tetapi juga terlalu boros (overweight) dalam biaya operasional. Â Dalam teori manajemen perusahaan, tentu suatu departemen yang terbaik adalah yang memiliki marjin produksi paling banyak dibandingkan biaya. Nah tentu Men PAN dan RB memiliki penilaian tersendiri sehingga dua instansi tersebut tetap dinilai memiliki nilai kinerja 5 terbaik meskipun memiliki angka belanja pegawai yang overweight.
Yang perlu dipastikan oleh Yuddy adalah bagaimana kebijakan pemangkasan PNS pusat tersebut dapat diimplementasikan secara pasti dan konsisten. Berkaca pada tuntutan Gubernur Kalimantan Barat yang memberikan usulan pembubaran Kemen PAN dan RB dikarenakan adanya ketidakkonsistenan kebijakan diantaranya pembatasan penggunaan hotel di awal Pemerintahan tetapi direvisi di pertengahan, rekomendasi perampingan struktur tetapi struktur organisasi pusat malah bertambah, dan pendirian UPT yang bergejolak dengan dinas-dinas. Sudah tentu kebijakan pemangkasan ini harus dilakukan dengan cermat. Setidaknya ada dua yang perlu dilihat dari pemangkasan tersebut diantaranya
1. Janji Pengangkatan pegawai honorer
Pengangkatan pegawai honorer sebesar 400 ribu orang yang dilakukan oleh Menteri Yuddy telah menjadi berita panas di kalangan abdi negara non PNS. Semakin panas ketika dalam kenyataannya anggaran tersebut pada akhir pembahasan APBN justru tidak tersedia. Dari sisi kebijakan pemangkasan PNS, tentu menjadi pernyataan besar, angka 400 ribu justru menambah bukan mengurangi.
2. Sistem pensiun dini dan moratorium PNS
Untuk melakukan pemangkasan PNS secara alami tentu dengan pensiun. Di samping itu program pensiun dini bagi pegawai yang berminat dengan masa kerja di atas 20 tahun dengan minimal umur 50 tahun. Program pensiun dini yang pernah digagas oleh Kementerian Keuangan pada jaman Pemerintahan SBY tidak begitu diminati oleh PNS. Hal ini karena uang kompensasi yang dibayarkan bagi PNS masih jauh di bawah apabila PNS melakukan pensiun secara alami. Â Â Â Â
Moratorium PNS dilakukan mulai tahun 2015 dan akan diperpanjang sampai dengan struktur PNS sesuai kondisi. Namun moratorium ini tidak berlaku bagi pekerja yang melakukan ikatan kedinasan. Â Pada kenyataannya, sistem ini kurang adil bagi instansi yang menginginkan pegawai dengan tingkat kompetensi yang berbeda dengan sekolah ikatan kedinasan yang menjadi anak kandungnya. Sebagai contoh Kementerian Pertahanan sangat membutuhkan tenaga keuangan, sedangkan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari ikatan dinas Akademi Militer.
Dari permasalahan di atas, maka terdapat beberapa alternatif yang dapat diimplementasikan oleh MenPAN dan RB dalam melakukan kebijakan khususnya pemangkasan PNS:
- Penyelesaian Peraturan Pelaksana ASN
Dalam pasal 134 UU nomor 5 tahun 2014 disebutkan bahwa peraturan dalam ASN harus dilaksanakan paling lama dua tahun setelah diundangkan. Artinya hanya kurang 9 hari jatuh tempo pelaksanaan UU tersebut. Namun dalam faktanya, peraturan-peraturan yang menjadi tools untuk melaksanakan UU ASN tersebut masih belum terselesaikan. Hanya program pendataan ulang PNS yang dikoordinasi oleh Badan Kepegawaian Negara menjadi implementasi paling berhasil saat ini, di samping lelang jabatan pada jabatan pimpinan tinggi. Perubahan fundamental seperti penyusunan jabatan fungsional, sistem manajemen ASN, serta penyusunan single salary masih belum terlaksana.
Penyusunan single salary jelas sangat berkaitan dengan belanja pegawai sebagai dasar pemangkasan PNS sebagaimana disampaikan oleh Men PAN dan RB. Perlu diketahui di samping belanja pegawai, masih banyak  penghasilan-penghasilan khususnya di belanja barang  yang belum dikategorikan sebagai belanja pegawai. Salah satu contoh adalah honor output kegiatan. Angka honor output kegiatan ini sendiri sangatlah signifikan, untuk tahun 2015 tercatat sebesar Rp12,1 triliun.
Selain itu perlu juga diperjelas bagi PNS yang merangkap komisaris BUMN apakah perlu distandarisasi penghasilan di luar belanja pegawai, untuk menjaga independensi dalam pengambilan kebijakan.
Peraturan-peraturan pelaksana ini adalah kunci bagi instansi-instansi untuk melakukan penertiban di lingkungan masing-masing.  Tanpa adanya peraturan ini, langkah himbauan MenPAN dan RB hanya dianggap angin lalu, karena pembenahan birokasi harus melalui tahapan birokratif bukan psikologi semata.
- Melakukan pemetaan kebutuhan ASN untuk Manajemen ASN
Pemetaan kebutuhan ASN per instansi dapat memberikan peta jalan untuk kebijakan ASN khususnya dalam hal mutasi ASN. Salah satu contoh, dari lima instansi yang memiliki 5 dengan laporan kinerja terbaik banyak dihuni oleh lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sekolah kedinasan yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan tersebut dapat membagi lulusan-lulusannya untuk bekerja di instansi lainnya. Hal ini tentu diperlukan koordinasi yang cukup bagus diantara instansi-instansi tersebut.
Kemen PAN dan RB dapat menjadi koordinator bagi manajemen ASN pada semua instansi-instansi sehingga pembagian SDM ASN dapat terpenuhi. Ego-ego sektoral di instansi-instansi Pemerintahan justru sangat menghambat pembenahan SDM ASN secara nasional. Tidak perlu kaget bahwa rekomendasi ICW 3 tahun yang lalu terkait sebaran guru-guru PNS agar ketimpangan SDM pendidikan dapat ditanggulangi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Â
- Penugasan ASN di BUMN/BUMD, Perguruan Tinggi, dan Koperasi
Program pensiun dini yang sudah gagal semestinya harus dievaluasi. Pada perkembangannya, banyak pegawai negeri yang memiliki pengalaman dan pendidikan cukup tinggi di bidangnya justru memiliih keluar dari pekerjaannya untuk bekerja di sektor BUMN maupun swasta.  Artinya Kemen PAN dan RB dapat memfasilitasi aparatur tersebut untuk bergelut di sektor-sektor BUMN/BUMD, perguruan tinggi, bahkan koperasi. Bukan dengan mempersulit dengan peraturan yang cukup ribet yang justru kontraproduktif. Terdapat dua keuntungan disini:
- dapat menghemat belanja pegawai yang membebani APBN;
- pegawai ASN dapat berbakti di lapangan sesuai dengan minat dan kemampuan tanpa mengganggu organisasi.