Mohon tunggu...
Zetty Azizatun Nimah
Zetty Azizatun Nimah Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah_Guru ngaji_Dosen_Instruktur

Hobi membaca dan menulis, travelling, mengajar, bercerita, melakukan sesuatu yang baru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelisik Kebijakan Non Sectarian Gus Dur pada Perayaan Imlek Upaya Mewujudkan Harmoni Nusantara

29 Januari 2025   06:12 Diperbarui: 29 Januari 2025   06:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Kelam Pegumulan interaksi Etnis Cina dan Jawa

Interaksi antara etnis Jawa dan Cina selama masa penjajahan di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup kompleks. Pada masa penjajahan Belanda, etnis Cina sering kali ditempatkan dalam posisi yang lebih menguntungkan, baik secara ekonomi maupun sosial, sementara etnis Jawa lebih banyak berada dalam lapisan bawah. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kedua kelompok, karena etnis Cina dianggap memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan kolonial dan kekayaan. Etnis Jawa yang mayoritas justru merasa tertindas oleh dominasi ini. Penindasan yang dirasakan oleh etnis Jawa semakin dalam karena adanya perbedaan dalam status sosial dan kekuatan politik yang memisahkan keduanya.

Ketegangan ini semakin memperburuk hubungan antara etnis Cina dan Jawa, khususnya ketika munculnya kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah kebijakan pembatasan bagi etnis Jawa untuk bergerak bebas atau memperoleh keuntungan ekonomi yang sebanding dengan etnis Cina. Sebaliknya, etnis Cina didorong untuk menguasai sektor-sektor perdagangan dan ekonomi, yang membuat ketimpangan semakin besar. Meskipun demikian, ada beberapa interaksi positif di antara keduanya, seperti hubungan perdagangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ketegangan ini sering kali membuat perasaan saling curiga dan tidak percaya semakin kuat di kalangan masyarakat.

Ketidakpuasan pedagang pribumi terhadap dominasi Tionghoa dan kebijakan kolonial melahirkan kebutuhan untuk bersatu dalam organisasi yang dapat melindungi kepentingan ekonomi mereka.  Pada tahun 1911, Haji Samanhudi, seorang pedagang batik dari Solo, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan awalnya adalah melindungi kepentingan pedagang Muslim dari persaingan tidak sehat dengan pedagang Tionghoa.1911. Organisasi ini merupakan reaksi terhadap kebijakan kolonial yang cenderung berpihak pada pedagang Tionghoa. Ketidakadilan dalam sistem ekonomi, sosial, dan politik memotivasi pedagang pribumi untuk bersatu guna melindungi kepentingan mereka. SDI kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan nasional di Indonesia.

Usaha etnis Jawa untuk memenangkan dominasi atas etnis Tionghoa pada masa kolonial dilakukan melalui pembentukan organisas, penguatan jaringan ekonomi lokal, pendidikan, boikot terhadap bisnis Tionghoa, serta perlawanan sosial-politik. Meski demikian, usaha ini sering dipengaruhi oleh dinamika kolonial yang memperumit hubungan antara kedua kelompok.

Pergumulan Menuju Akulturasi budaya etnis Cina dan Jawa

Akulturasi budaya antara etnis Jawa dan Cina terjadi seiring berjalannya waktu, meskipun tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa dan Cina sering berinteraksi dalam pasar-pasar atau tempat-tempat kerja, dan hal ini membuka peluang untuk saling mempengaruhi budaya satu sama lain. Bahasa, makanan, dan ritual-ritual tertentu mulai saling bercampur dan menyatu. Contohnya, perayaan Imlek yang dilaksanakan oleh etnis Cina juga mulai dirayakan oleh beberapa komunitas Jawa, meskipun dengan adaptasi khas Jawa. Begitu pula dalam hal kuliner, banyak makanan yang awalnya berasal dari Cina yang kini menjadi bagian dari masakan tradisional Jawa, seperti mie pangsit atau lumpia.

Proses akulturasi ini memunculkan bentuk-bentuk tradisi yang lebih harmonis antara kedua kelompok, meskipun melalui tantangan yang berat. Di desa-desa dan kota-kota besar, pernikahan antara etnis Jawa dan Cina juga semakin sering terjadi, yang mengarah pada terciptanya identitas budaya yang lebih inklusif. Contoh nyata dari akulturasi ini adalah dalam seni dan hiburan, seperti wayang kulit yang diadaptasi dengan tema-tema Cina. Begitu juga dengan musik tradisional yang menggabungkan instrumen Jawa dan Cina. Perpaduan budaya ini menciptakan kesenian yang lebih kaya dan dapat diterima oleh masyarakat luas, tanpa mengesampingkan identitas masing-masing.

Pada akhirnya, akulturasi budaya antara etnis Jawa dan Cina di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun ada sejarah ketegangan, keduanya dapat membangun tradisi yang harmonis melalui pemahaman dan toleransi. Dalam masyarakat Indonesia modern, kolaborasi antara kedua kelompok semakin terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Pembauran budaya ini menghasilkan keragaman yang memperkaya identitas nasional Indonesia. Harmoni ini tercipta karena saling pengertian dan penerimaan terhadap perbedaan, yang mengarah pada kehidupan yang lebih damai dan saling mendukung. Ini membuktikan bahwa meskipun ada perbedaan yang mendalam, budaya Jawa dan Cina dapat bersatu dalam tradisi yang menghargai nilai-nilai keberagaman.

Kebijakan Gusdur Pada Penetapan Imlek  Sebagai Hari Libur Nasional Upaya Mewujudkan Harmonisasi Nusantara

Perayaan Imlek di Indonesia sempat dilarang pada masa Orde Baru, namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Imlek resmi diakui sebagai salah satu perayaan nasional yang diatur dalam Undang-Undang. Kebijakan ini diberlakukan melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2001, yang mengatur bahwa Imlek menjadi salah satu hari libur nasional yang sah. Keputusan ini mencerminkan kebijakan Gus Dur yang inklusif, yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan memberikan kebebasan untuk merayakan budaya mereka tanpa hambatan.

Undang-Undang ini juga sejalan dengan semangat demokrasi dan toleransi yang ingin ditegakkan oleh Gus Dur selama masa pemerintahannya. Sebelumnya, masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak bisa merayakan Tahun Baru Imlek dengan bebas karena adanya pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintahan Soeharto. Dengan mengeluarkan Keputusan Presiden tersebut, Gus Dur membuka jalan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka dan tanpa rasa takut. Selain itu, Gus Dur juga menghapuskan larangan penggunaan bahasa Mandarin dan simbol-simbol Tionghoa yang sebelumnya dilarang.

Dengan diterimanya Imlek sebagai hari libur nasional, masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa lebih dihargai dan diakui sebagai bagian penting dari keragaman budaya Indonesia. Ini juga menjadi simbol penting bagi keberagaman di Indonesia, yang mengajarkan bahwa setiap kelompok etnis, agama, dan budaya harus dihargai dan dihormati. Selain itu, Gus Dur juga berupaya menghilangkan kesan negatif terhadap komunitas Tionghoa yang seringkali dianggap sebagai kelompok yang terpisah dan tidak sepenuhnya diterima dalam masyarakat Indonesia.

Keputusan Gus Dur tersebut membuka kesempatan untuk interaksi budaya yang lebih luas antara masyarakat Tionghoa dengan kelompok etnis lainnya di Indonesia. Perayaan Imlek tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga dihadiri dan dipahami oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, yang semakin memperkaya rasa kebersamaan di Indonesia. Hal ini juga mendukung semangat harmoni dan toleransi yang ingin ditegakkan Gus Dur dalam membangun bangsa yang lebih bersatu dan beradab.

UU tentang perayaan Imlek ini menjadi salah satu tonggak sejarah penting bagi kemajuan masyarakat Indonesia dalam mengelola keberagaman. Gus Dur melalui kebijakannya ini berhasil menghapuskan stigma dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, serta menciptakan ruang bagi masyarakat Indonesia untuk saling memahami dan merayakan perbedaan budaya. Ini adalah bagian dari upaya Gus Dur untuk membangun Indonesia yang lebih adil, toleran, dan menghargai perbedaan.

Secara keseluruhan, kebijakan non-sektarian Gus Dur dalam memperbolehkan perayaan Imlek adalah langkah penting dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif dan harmonis. Keberanian Gus Dur untuk menghapuskan kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan sosial dan politik Indonesia. Perayaan Imlek yang kini dirayakan secara bebas mengajarkan kepada masyarakat bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup berdampingan dengan damai. Gus Dur berhasil membuktikan bahwa harmoni dalam keragaman dapat tercapai melalui kebijakan yang penuh empati dan penghargaan terhadap sesama. Kebijakan ini terus dikenang sebagai salah satu warisan penting dalam perjalanan Indonesia menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. Mari tetap Jaga harmonisasi nusantara sebagai warisan kekayaan nusantara yang berharga.

Sumber:

  • Bush, R. (2009). The Presidential Politics of Abdurrahman Wahid: Islam, Democracy, and the Politics of the Indonesian State. University of Arizona Press.
  • Chandra, A. (2015). Indonesia's Chinese Minority: National Integration and Ethnic Identity. Harvard University Press.
  • Hidayat, D. (2017). "Gus Dur dan Kebijakan Toleransi Beragama di Indonesia." Jurnal Politik dan Budaya. Vol. 12, No. 1.
  • Suryadinata, L. (2003). Indonesia's Chinese Minority and China. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
  • Soedjatmoko, P. (1995). Tradisi dan Perubahan di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • Bush, R. (2009). The Presidential Politics of Abdurrahman Wahid: Islam, Democracy, and the Politics of the Indonesian State. University of Arizona Press.
  • Chandra, A. (2015). Indonesia's Chinese Minority: National Integration and Ethnic Identity. Harvard University Press.
  • Hidayat, D. (2017). "Gus Dur dan Kebijakan Toleransi Beragama di Indonesia." Jurnal Politik dan Budaya. Vol. 12, No. 1.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun