Mohon tunggu...
Zeto Bachri
Zeto Bachri Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat

Zeto -Lawyers 021-2300229

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dissenting Opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

15 Juli 2019   16:52 Diperbarui: 15 Juli 2019   17:02 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dissenting Opinion dalam prakteknya kerap kali terjadi, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Berdasarkan pengalaman penulis, Para Advokat sering merasa bahwa Putusan yang mengandung dissenting opinion walaupun ia dalam posisi kalah memberikan harapan adanya perdebatan baru ditingkat yang lebih tinggi. Setidaknya berdasarkan pengalaman penulis Dissenting Opinion menunjukkan kemampuan Advokat dalam mengolah data dan atau dalil sehingga Para Hakimpun berbeda pendapat dalam membuat Putusan.

Secara umum Dissenting Opinion dapat diartikan sebagai suatu pendapat yang berbeda secara substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda, misalnya mayoritas Hakim menolak Permohonan namun Hakim minoritas mengabulkan Permohonan yang bersangkutan atau sebaliknya ( Imam Mahdi, 2011, hlm.294).

Landasan Dissenting Opinion pertama kali dimiliki oleh Undang Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 yaitu dalam pengambilan Putusan di Pengadilan Niaga, lalu kemudian Dissenting Opinionpun dikenal dalam Pengambilan Putusan di MK (Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing hlm.32).

Untuk Mahkamah Konstitusi Dissenting Opinion diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa dalam sidang permuswaratan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Kemudian, dalam ayat (3) disebutkan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Selanjutnya, dalam pasal 19 ayat (4) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetapkan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap  perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Berikutnya, dalam ayat (5) disebutkan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang berbeda wajib dimuat dalam Putusan.

Dissenting Opinion dalam Sengketa Pilpres

Hakim, termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat suatu Putusan setidaknya dapat menganut dua paradigma pengambilan Putusan yaitu paradigma positivistic yang secara sederhana diartikan Hakim dibatasi dalam ketentuan ketentuan sebagaimana tertuang dalam MK sedangkan paradigma kritis Hakim cenderung membuat terobosan-terobosan dalam membuat putusan.

Sebagai perbandingan MK dalam Putusan Nomor 190/PHPU.D-VII/2010 antara lain berpendapat:

Pertama, Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat dapat ditaksir pengaruhnya terhadap suatu hasil suara Pemilu atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tidak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Untuk jenis jenis pelanggaran seperti ini Mahkamah tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan /atau PTUN.

Kedua, Pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilu dan Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil pemilu atau Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai Putusan Mahkamah.

Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan mempengaruhi hasil pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh Mahkamah untuk dibatalkan hasil perhitungan suara oleh KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.

Berbeda dengan Putusan perkara perdata dan pidana yang dapat saja dimintakan banding dan kasasi, Putusan MK bersifat final dan mengikat serta lebih banyak berdampak politis. maka Opinion tesebut.  Bahwa harapan penulis akan bijaksana jika Hakim MK dapat mengambil Putusan bulat (unanimous) dan tidak menghadirkan pendapat berbeda (liyan) dari mayoritas Hakim MK yang lain, yang sekali lagi penulis tekankan, Dissenting Opinion akan membawa pergunjingan panjang terhadap Presiden terpilih.

Walaupun tentu saja di Negara Hukum, tidak ada satu lembagapun yang dapat mempengaruhi Putusan MK. Baik yang menang dan kalah tetaplah harus tunduk terhadap apapun Putusan MK tersebut.

Zeto Bachri

Advokat-Kurator-IP Consultant

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun