Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dihindari semua orang karena efek samping negatif yang ditimbulkan dan biaya pengobatannya yang mahal. Banyak kasus kanker yang tidak mengenal umur dan jenis kelamin, tingkat keganasan dan seberapa cepat proses penyebarannya pun juga tidak menentu. Dari sisi medis, kanker ternyata sebenarnya bergantung pada aktivitas hormon pada tubuh. Jika umumnya kita mengetahui bahwa faktor kanker adalah genetik dan onkogen, radiasi, dan kelainan pada organ tertentu. Kali ini, kita akan mencari tahu lebih dalam mengenai kanker tiroid dan hubungannya dengan jenis kelamin yang bersangkutan dengan hormon yang spesifik.
Tiroid merupakan kelenjar yang memiliki peranan penting bagi tubuh karena berfungsi mensekresikan hormon tiroksin (T4), triioditironin (T3). Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon kalsitonin. Ketiga hormon ini memiliki peran yang besar dalam menjaga keseimbangan metabolisme dan kesehatan karena mengatur kerja organ-organ lain di dalam tubuh.
Mengenal kanker tiroid lebih dalam
Kanker tiroid merupakan penyakit yang cukup sering ditemukan di Indonesia. Kanker yang disebut karsinoma tiroid ini menyerang sistem endokrin khususnya pada kelenjar yang terletak pada bagian depan leher, tepatnya dibawah laring. Â Pertumbuhan yang ganas dari kelenjar Penyakit ini terbagi menjadi beberapa jenis menurut analisis histopatologinya yaitu tiroid papiler, folikuler, meduler, dan anaplastik. Kanker ini umumnya berupa nodul/benih tumor tunggal, bersifat keras, dan permukaannya tidak rata. Selain itu, fungsi dari jaringan tiroid itu sendiri akan menurun karena terganggu dengan adanya sel kanker (Parura et al. 2016).
Terdapat dua tipe kanker tiroid yaitu ganas dan jinak atau non-kanker. Nodul yang ganas memiliki kecenderungan untuk menyebar ke seluruh jaringan tubuh secara acak dan tidak menentu atau disebut sebagai penyebaran sporadik. Menurut Parura et al. 2016, umumnya kanker tiroid ditemukan pada pasien pada kisaran usia 40-65 tahun. Tetapi tentunya tidak menjamin para remaja dan manula dengan usia >65 tahun terhindar dari penyakit ini.
Kalsitonin atau CT merupakan monomer peptida asam amino ke-32 yang disekresikan dari sel parafolikuler atau sel C kelenjar tiroid. Hormon ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi kalsium pada darah. Kadar serum ini dijadikan sebagai penanda bagi seseorang yang mengidap kanker tiroid khususnya karsinoma tiroid papiler dan meduler. Untuk kasus tiroid meduler, hal ini disebabkan oleh sel kanker yang dapat mensintesis, menyimpan, serta mensekresikan serum kalsitonin ke dalam aliran darah (Machens et al. 2009). Selain digunakan untuk diagnosis praoperasi, hormon ini menjadi penting untuk menentukan manajemen pascaoperasi kanker tiroid. Kadarnya dapat diuji menggunakan radioimmunoassay (RIA) dan electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA).
RIA dan ECLIA, mana yang lebih baik?
Kedua metode ini digunakan untuk mendeteksi kadar kalsitonin dalam darah tetapi dengan teknik yang sedikit berbeda. Radioimmunoassay menggunakan antibodi poliklonal dalam pengenalan kalsitonin, sedangkan electrochemiluminescence immunoassay menggunakan antibodi monoklonal dalam teknik sandwich immunoassay. Maka, adanya perbedaan hasil tes kedua metode tersebut bisa ditemukan. Hal ini disebabkan oleh keakuratan yang berbeda dari kedua teknik. ECLIA dispekulasi lebih akurat daripada RIA, yang kemudian spekulasi ini didukung oleh sebuah penelitian yang mengatakan bahwa antibodi monoklonal anti-CT yang digunakan menyediakan pengenalan yang spesifisitas lebih tinggi untuk kalsitonin dalam bentuk dewasa. Pada metode RIA, spesifisitas seperti ini tidak ditemukan, sehingga kesalahan seperti mendeteksi hormon atau molekul lain yang serupa dengan kalsitonin bisa saja terjadi.
Dalam pelaksanaannya, metode RIA memakai radiasi yang tentunya memerlukan fasilitas yang lebih banyak, sedangkan metode ECLIA hanya memerlukan sampel yang nantinya akan diuji pada laboratorium sehingga tidak ada resiko yang ditimbulkan untuk kesehatan jangka panjang karena radioaktif. Dengan adanya temuan teknologi tinggi yang digunakan dalam ECLIA, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit dan ujinya tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi juga sehingga konsentrasi yang minim dalam sampel juga bisa terdeteksi. Tentunya metode ECLIA membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan RIA oleh karena teknis pengerjaan dan reagen yang digunakan.
Perbedaan kadar kalsitonin pada pria dan wanita
The Japan Endocrine Society melaporkan bahwa tingkat kalsitonin lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Pada kadar kalsitonin yang rendah, prevalensi wanita untuk mengidap kanker tiroid lebih tinggi dan lebih sering ditemui 4-8 kali dibandingkan pada pria (Machens et al. 2009). Selain kedua jurnal tersebut, masih banyak penelitian lain yang mendukung hal tersebut dengan menyatakan hal yang sama. Hal ini disebabkan oleh kepadatan sel C parafolikuler pada pria lebih banyak dari dua kali lipat daripada wanita (Ito et al. 2020). Dengan perkembangan teknologi yang kian bertambah, tentunya kasus ini masih memerlukan uji dan penelitian lebih lanjut.
Tolak ukur dalam menentukan ada atau tidaknya nodul ganas tidak hanya ada pada kalsitonin, masih banyak uji yang bisa dilakukan secara bersamaan demi akurasi dan ketepatan diagnosis kanker karsinoma tiroid ini. Misalnya uji terhadap hormon T3 dan T4. Keganasan nodul yang berpotensi mengancam kesehatan tidak mungkin diprediksi hanya melalui satu uji saja. National Cancer Institute  menyatakan bahwa faktor yang menjadi penyebab lebih banyak wanita yang didiagnosis mengidap kanker tiroid sangat banyak dan kompleks. Maka, dari pernyataan tersebut langkah diagnosis dan faktor penyebabnya masih sangat luas dan masih belum diketahui secara pasti, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Bisa saja hormon esterogen wanita memainkan peran penting dalam adanya kecenderungan berdasarkan jenis kelamin ini.
Untuk menyimpulkan seluruh penjabaran yang telah diberikan, benar adanya bahwa wanita memiliki kecenderungan dalam mengidap kanker tiroid dibanding laki-laki. Temuan terbarunya adalah kalsitonin memiliki korelasi dengan keberadaan kanker pada jaringan tiroid sehingga menjadi salah satu marker-nya. Ito et al. menduga bahwa perbedaan jumlah kalsitonin ini disebabkan oleh perbedaan jumlah sel C parafolikuler yang lebih banyak pada pria. Metode yang diketahui lebih baik dalam mendeteksi kadar kalsitonin adalah electrochemiluminescence immunoassay/ECLIA tetapi diperlukan uji lain agar diagnosis kanker tiroid lebih akurat dan pasti.
Daftar Pustaka
Ito Y, Kaneko H, Sasaki Y, Ohana N, Ichijo M, Furuya F, Suzuki S, Suzuki S, Shimura H. 2020. Calcitonin levels by ECLIA correlate well with RIA values in higher range but are affacted by sex, TgAb, and renal function in lower range. Endocrine Journal. 67 (7): 759-770.
Machens A, Hoffmann F, Sekulla C, Dralle H. 2009. Importance of gender-spesific calcitonin thresholds in screening for occult sporadic medullary thyroid cancer. Endocrine-Related Cancer. 16 : 1291-1298.
Parura Y, Pontoh V, Merung M. 2016. Pola kanker tiroid periode Juli 2013-Juli 2016 di RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Jurnal e-Clinic. 4 (2): 1-6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H