Mohon tunggu...
Zera Zetira Putrimawika
Zera Zetira Putrimawika Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist

Detoxing for Discernment | Student of Education, Linguistics, Ushuluddin | I'm playing piano and badminton

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Analisis Amarah Jokowi dan Menteri yang Kena Sentil

3 Juli 2020   18:43 Diperbarui: 3 Juli 2020   18:34 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa jengkel Presiden Joko Widodo tidak terbendung lagi. Di hadapan jajaran menteri dan stafnya, Presiden Jokowi mengeluarkan unek-unek yang mungkin sudah berbulan-bulan ditahannya.  Tidak ada senyum pembuka dan basa-basi rutin yang disampaikannya saat membuka sidang kabinet paripurna, 18 Juni 2020 silam. 

Bila seandainya pihak Sekretariat Presiden tidak mengunggah video tersebut pada tanggal 28 Juni kemarin, mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu betapa Presiden Jokowi benar-benar kesal dengan kinerja menteri bawahannya. Lantas, apakah kemarahan itu adalah bentuk emosi yang terpendam atau sekadar reaksi satu arah Presiden karena turunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah saat ini?

Redudansi Kalimat Kemarahan Jokowi

Sejak awal membuka kalimat di hadapan para jajarannya, Jokowi sudah memberikan tekanan kepada setiap kata yang diucapkannya. Pertama kali tekanan begitu terlihat, ketika ia menyebut kata "bertanggung jawab", diiringi oleh raut serius dan tatapan mata tajam. Jokowi mengingatkan agar semua jajarannya berada di satu rel yang sama, dalam hal ini adalah rel manajemen krisis, di mana setiap pihak bertanggung jawab dan tidak ada yang boleh bersikap santai atau biasa saja. 

Situasi sekarang, menurutnya, bukanlah situasi yang normal lagi, tetapi sudah masuk ke tahap kritis bahkan berbahaya. Jokowi menegaskan kinerja para menteri masih biasa-biasa saja, diucapkannya secara gamblang dan eksplisit, yang artinya, dirinya mengakui belum ada yang bisa dibanggakan dari pencapaian para menteri saat ini.

Ada beberapa kalimat yang juga diulang Jokowi berkali-kali dalam arahannya, "kita harus sama perasaannya", "berbahaya", dan "suasana krisis". Dari kalimat tersebut dapat dianalisis, Jokowi ingin semua pihak menyamakan persepsi bahwa kondisi saat ini sangatlah genting untuk Indonesia. 

Dunia hampir memasuki masa resesi, dan Indonesia bukan tidak mungkin akan mengalami minus ekonomi dalam jumlah tinggi bila negara tidak segera mengantisipasi. Kapal akan segera karam, apabila nakhoda dan anak buah kapal terlambat memutar kemudi. Keadaan bahaya adalah nyata dan bukan lagi sekadar gertak sambal.

Instruksi Percepat Belanja Kementerian

Setelah hampir di sepuluh menit awal fokus menatar para jajarannya untuk menyamakan rasa dan emosi, selanjutnya Jokowi mulai menyoroti permasalahan stimulus ekonomi. Tanpa tedeng aling-aling, Jokowi menginstruksikan kementerian untuk segera mempercepat belanja kebutuhan selama penanganan COVID-19. Sebagai contoh, Jokowi langsung menunjuk Kementerian Kesehatan, yang memiliki anggaran 75 Triliun tetapi baru keluar sebesar 1,53 persen saja. 

Kekecewaan terlihat begitu terlihat dari raut wajah Jokowi, melalui kerutan di keningnya dan emblematic movements yang langsung mengarah ke tempat duduk Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

Di level tertinggi rasa kecewanya saat menyampaikan arahan, Jokowi mengatakan rela menggadaikan harga diri politiknya untuk meneken perpu atau perpres, semata-mata agar stimulus ekonomi cepat digelontorkan untuk kemaslahatan bersama. Suatu bentuk kepasrahan sekaligus perintah tak terbantahkan, yang harusnya dimaknai sebagai sinyal tanda kerja keras oleh para menteri yang ada dalam kabinet.

Ancaman Pembubaran Lembaga dan Bongkar Pasang Menteri

Waktunya kerja keras. Seperti itulah mungkin inti utama dari kemarahan dan arahan Jokowi dalam sidang kabinet paripurna minggu lalu. Kerja keras dan kerja nyata yang selama ini digaungkannya sebagai tagline kabinet, terbukti mandek selama dalam proses pengerjaan. Seolah menutupi rasa malu karena tagline kerjanya selama ini dianggap biasa saja oleh para bawahan, kritik paling pedas pun akhirnya keluar dari mulut Jokowi di pengujung arahannya, tidak ada progress signifikan!  

Apakah artinya Jokowi secara implisit mengakui kegagalan kabinetnya mengelola negara di masa krisis?

Usai kenyataan pahit itu disampaikannya, Jokowi mengingatkan ia bisa saja mengambil langkah paling extraordinary, yaitu membubarkan lembaga atau membongkar pasang kedudukan menteri alias reshuffle. Bukan tidak mungkin, langkah kedua benar-benar akan diambil bila tidak ada kemajuan yang ditunjukan oleh menteri maupun kementerian dalam beberapa waktu ke depan.

Menteri yang Kena Sentil dan di Bawah Bayang-Bayang Reshuffe

Walaupun secara langsung Jokowi menyentil Kementerian Kesehatan dan secara otomatis menyenggol pula Menkes Terawan, bukan berarti menteri-menteri lain bisa bernapas lega. Tercatat selama kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia, hampir sebagian besar menteri kabinet menjadi sorotan publik karena dianggap "nganggur" atau bahkan "hilang" dari peredaran. 

Menteri yang dianggap "mengganggur" seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Menkominfo Johnny G. Plate, Menteri BUMN Erick Thohir,  dan Menteri Kooperasi dan UKM Teten Masduki, yang dipertanyakan kiprahnya selama pandemi berlangsung.

(sumber: infografis pintarpolitik)

Belum lagi deretan nama menteri yang dianggap salah membuat kebijakan, dimulai dari Menkumham Yasonna Laoly yang membebaskan ribuan napi untuk mencegah corona, namun pada akhirnya justru membuat angka kriminalitas tinggi dan meningkat. Lalu Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang dianggap tidak mampu berbuat apa-apa ketika pembagian bansos kepada masyarakat chaos di lapangan. 

Dan, yang teranyar adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, yang ramai didemo masyakarat karena memberikan kelonggaran Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok masuk ke tanah air.

Rasanya, tidak berlebihan bila Jokowi benar-benar melakukan pencopotan dan penggantian terhadap beberapa posisi menteri yang dirasa kurang menunjukan performa baik selama tiga bulan belakangan ini. Sebab, di tengah kondisi memasuki ancaman kemunduran ekonomi ini yang dibutuhkan adalah menteri yang siap kerja keras dan berpeluh, bukan menteri yang hanya pandai menyusun teori dan kebijakan semata. (z)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun