Mohon tunggu...
M. Fauzan Zenrif
M. Fauzan Zenrif Mohon Tunggu... Dosen - Zenrif

Hidup Itu Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

De Bapak

6 November 2019   16:27 Diperbarui: 6 November 2019   17:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak semua anak punya kesempatan menjadi Bapak, tapi semua Bapak pasti pernah mengalami menjadi anak. Setiap Bapak, dengan semua kelebihan dan kekurangannya, menjadi idola dan idaman peniruan anak-anaknya, kecuali anak kepradah tak mau menjadikan Bapaknya sebagai pola peniruan gaya hidupnya.  

Sekalipun setiap Bapak pasti memiliki kepribadian dan pengalamannya sendiri sehingga membentuk kerpribadiannya sendiri, Bapak yang satu ini beda dengan kebanyakan bapak. Bapak dari lima anak itu mempunyai pengalaman yang ceritanya unik, mungkin tidak dialami oleh kebanyakan bapak lainnya. 

Hidup sebagai ketua lembaga sosial, Bapak ini masih hidup sederhana. Pekerjaan utamanya sebagai penjual barang di kaki lima tetap dia kerjakan dengan sabar. 

"Bagaimana jualannya hari ini, Bapak? " tanyaku.

"Alhamdulillah.. Sudah laku 3 barang hari ini, sudah cukup digunakan membeli beras dan lauk untuk anak-anak." Jawabnya dengan mata berbinar-binar sambil membenahi kantong plastik yang hampir terjatuh terkena angin. 

"Sehari biasanya laku berapa, Bapak? " selidikku ingin tahu lebih banyak. 

"Ya.. Alhamdulillah.. Kadang bisa sampai sepuluh, pernah juga sampai 25 barang terjual. Tergantung rizki yang sudah ditentukan Allah pada setiap harinya." Jawabnya lagi menjelaskan. 

Terhentak aku mendengar jawaban itu. Secara theologis konsep kesadaran begini membuat orang hidup lebih tenang dan nyaman. Pikiranku melayang-layang. 

Nampaknya konsep theologis ini yang membuat Sang Bapak bisa hidup terlihat tenang dan santai. Dia bekerja, tapi tak seperti kebanyakan orang bekerja. 

Satu hari, pernah ada orang yang datang menjual barang rongsokan pabrik padanya. Harganya tergolong sangat murah. Dia membeli barang itu seluruhnya dengan harga yang sudah ditentukan. 

Tak selang berapa lama barang-barangnya diturunkan dari truk yang mengangkut-nya, ada seorang pembeli yang datang dengan membawa mobil mewah. 

"Saya lihat tadi Bapak menurunkan banyak barang yang saya butuhkan. Apakah barang itu akan dijual kembali?" tanya laki-laki berpakaian necis itu. 

"Ya, tentu saya akan menjualnya kembali." Jawab Sang Bapak. 

"Jika Bapak ingin membelinya, monggo diangkut lagi, Bapak." Lanjutnya dengan sopan sambil tetap tersenyum. 

"Berapa Bapak akan menjualnya." tanya laki-laki berkumis tipis dengan warna kulit sawo matang yang bersih itu. 

"Bapak ambil saja sesuai dengan pengeluaran saya." Jelasnya dengan nada datar-datar saja. 

"Lho, Bapak tidak mau mengambil laba sama sekali." Tanya si pembeli dengan nada heran. 

"Kalau ini memang rizki Bapak, ya ndak apa-apa dibeli dengan harga saya membelinya tadi." Sang Bapak menjelaskan sambil mengambil nota pembeliannya. 

Laki-laki itu membaca sebentar, lalu berlari menuju mobil mewahnya yang ada di seberang jalan. Tak berapa lama, si pembeli datang kembali dengan membawa tas. 

"Oke, saya ganti semua ya, Bapak." katanya sambil menghitung uang yang terbendel dengan tali dari sebuah bank negara. 

Setelah transaksi selesai, si pembeli juga sudah pulang dengan membawa semua barang yang baru saja diturunkan tadi, saya mencoba memahami dari kenyataan tak masuk akal sehat saya itu. 

"Bapak tadi tidak diberi laba sama sekali ya,  Bapak." tanya ku dengan nada sedikit tertahan, heran. 

"Tidak.. Dia juga tidak memberi kelebihan dari harga yang saya bayar tadi." Begitu katanya. 

"Mengapa diperbolehkan, Bapak? "tanya ku ingin tahu lebih dalam lagi. 

"Lha begitu Allah memberikan rizki pada orang itu. Saya hanya menjadi perantara saja. Mungkin Allah menginginkan itu menjadi rizki dia." katanya dengan nada tetap datar-datar saja. 

Dia kemudian menjelaskan bahwa hidup dan mati ini milik Allah. Rizki orang sudah ditentukan sejak sebelum masa itu ada. Pemahaman bahwa manusia bisa mengatur kehidupannya sendiri, telah membuat sebagian orang salah menafsiri rizki. 

Tak jarang orang yang menjadi sombong karena rizkinya banyak, seperti juga banyak orang yang merasa sengsara karena memperoleh rizki sedikit. Kesalahpahaman itu yang juga membuat orang bekerja keras sampai bisa melupakan Tuhannya. Tak jarang yang menjadi stress atau bahkan bertengkar karena berebut rizki itu. 

Bisa dilihat dengan baik, bagaimana salah paham terhadap konsep rizki itu telah membuat banyak orang menipu orang lain. Bahkan sejatinya, saat dia menipu, dia telah menipu dirinya sendiri. Betapa tidak indah kehidupan ini karena kesalahpahaman terhadap tafsir kehidupan. 

Untuk menduduki sebuah posisi tertentu, tak jarang orang harus menjadikan teman, bahkan saudaranya, terinjak lebih dulu. Berpidato kemiskinan, tapi dia menjadikan orang miskin sebagai objek untuk menjadikan dirinya kaya. Dia menjual proyek kemiskinan untuk mengkayakan dirinya sendiri. 

Atas nama keadilan, tak sedikit orang harus memilih jalan ketidakadilan. Atas nama kebersamaan dan harmoni, tak sedikit yang kemudian harus mengkambinghitamkan dan mengadu domba yang lainnya. 

"Saya tidak ingin menjadi bagian dari mereka itu, Nak Mas bagus.. " katanya sambil menepu-nepuk punggungku dengan halus. 

Saya kaget mendengarkan ceramahnya itu. Bapak ini lebih profesor dari profesor yang hanya hidup dalam bayang-bayang akademiknya. Hidup berantai dalam tali temali kajian dan seminar sampai lupa bahwa pengetahuannya bahkan tak dilaksanakan dalam kehidupannya. 

"Terima kasih, Bapak. Semoga Allah menjaga usia dan iman jenengan." kata ku dalam hati sambil membantu menutup toko malam itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun