Pada jaman dahulu kala... (Kang Tur tidak menyebutkan tahun karena lupa), tersebutlah seorang Panglima Tartar yang mencintai Putri Ponden (atau Punden?). Pada suatu hari, Sang Putri minta agar Panglima membawakan dia Jarik Klenting Kuning.
Jarik dalam bahasa Jawa berartinsehelai kain lebar dan panjang yang biasanya bermotif batik. Jarik digunakan oleh para bangsawan Jawa. Model dan motif dari sebuah jarik, menentukan dan memberikan makna tingkat dan oeringkat kebangsawanan penggunanya.
Klenting adalah tempayan kecil yang biasanya digunakan untuk mentimpan atau memasak air. Klenting biasanya terbuat dari tanah, tetapi kuning menunjukkan pada warna emas.Â
Dengan demikian, maka Sang Putri sesungguhnya meminta Panglima membawakan dia jarik terbuat dari emas yang bermodel seperti Klenting.
Namun, Panglima yang memahami bahasa Jawa sederhana salah memahaminya, sehingga Panglima membawakan Keling. Keling di wilayah tersebut berarti buah siqalan yang sudah tua dan kering, berwarna kuning.
Karena salah paham itu, maka Sang Putri marah dan tersinggung dengan bawaan Panglima. Amarah yang tak terkendali, mwngakibatkan Sang Putri ngorat-ngarit dan menendang dengan sangat keras. Akibatnya, Keling pun berhamburan dan berserakan di hampir qilayah pegunungan dan pantai wilayah itu.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun, masa pun berlalu. Keling kemudian tumbung dwngan suburnya di hampir semua ailayah pegunungan dan, terutama, sekitar pantai di wilayah yang kemudian dikenal dengan Paciran tersebut.
Pohon-pohon, Â kemudian dikenal masyarakat daerah dengan nama, cekatan ini berbunga kemudian berbuah. Tak ada yang memahami manfaat dari pohon yang banyak berteburan dan tepian pantai tersebut.
Pemanfaatan terhadap hasil produksi tersebut baru dilakukan pada masa Raden Rahmat Sendang dan Raden Qosim. Menurut keyakinan masyarakat, Raden Rahmat Sendang senang makan sehingga bekerja keras, sedangkan Raden Qosim lebih sering berpuasa sehingga lebih banyak bertapa.
Perbedaan perilaku tersebut juga berbeda dalam perlakuan terhadap pohon Ntal (buah dari cekatan) tersebut. Raden Qosim memanfaatkan Ntal dengan cara digoyang pohonnya, sehingga semua buah runtuh san berguguran, yang muda dan yang tua, sedangkan Raden Rahmat dielus-elus pohonnya lalu menjadi doyong dan dipilihlah buah Ntal yang hanya bisa dimakan.
"Kang Kang, ngambil buah Ntal kok digoyang begitu, buahnya jadi jatuh semua. Nanti generasi berikutnya kalau mau makan Ntal susah mencarinya karena sudah dihabisi." Kata Raden Rahmat.