Kang Turhamun: Pelaku Home Industry Mandiri
Saya mengenal Kang Tur, Turhamun melakui Gus Hamdan. Di tengah survey tentang pesantren Muhammadiyah, saya diajak oleh Gus Hamdan untuk beristirahat di runah produksi gula merah siwalan. Menarik perhatian saya bahwa hanya  dengan teknologi sangat sederhana, produksi gula merah siwalan, bisa bertahan hingga kini.Â
"Local Wisdom terbukti mampu menyelesaikan masalah kemiskinan keluarga."
Lokasi Rumah Produksi
Jalan kecil yang cukup dilewati oleh kendaraan beroda dua atau berjalan kaki, terlihat masih alami. Beberapa pohon yang rambat yang menutupi jalan kecil itu, terkesan dibiarkan dan membuat jalan itu terlihat rimbun, di kanan dan kiri jalan kecil itu.
Gus Hamdan nampak sangat lihai melwati jalan berkerikil itu. Tampaknya dia sudah berkali-kali datang ke rumah produkai Kang Tur. Sekitar 150 meter, jalan kecil belok kanan.
Baru saja belok kanan, dua gubuk terlihat berada di antara beberapa pohon tinggi. Mulanya saya tidak tahu kalau itu pohon siwalan, yang saya lihat pohon itu seperti kelapa, hanya beda di beberapa bagiannya saja.
Berkenalan dengan Kang Tur
![Kang Tur: Baru Selesai Bekerja Memproduksi Gula Merah Siwalan/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/17/img-20190717-111459-5d2ea29b0d823012996eba55.jpg?t=o&v=770)
Gus Hamdan kemudian bercakap-cakap dengan lelaki itu. Terlihat sangat akrab, saya biarkan Gus Hamdan memberikan pengantar tentang rencana kehadiran kami.
"Assalamu'alaikum, saya Turhamun... Turhamun..", katanya mengulang-ulang namanya sendiri.
"Wa'alaikum salam, Pak Turhamun.." jawab ku datar, "bukan Turja'un..?" Saya coba menggodanya agar tahu sang lelaki kekar ini senang bergurau atau tidak.
"Bukan.." katanya sambil tersenyum.
Saya senang karena ternyata laki-laki yang dipangil dengan Kang Tur itu ternyaga senang bergurau. "dapat dijadikan hiburan dari perjalanan melelahkan.." begitu batinku.
"Apa pekerjaan, Bapak." tanyaku untuk meyakinkan apa tujuan kedatangan saya ke tempat ini.. Hehehe
"pekerjaan saya .. ya ini, Pak." jelasnya sambil menunjuk pawonan dan beberapa alat yang ada disekitarnya.
Saat saya tercenung memperkirakan pekerjaan apa yang kira-kira dikerjakan Kang Tur, Gus Hamdani menjelaskan bahwa pekerajaan Kang Tur adalah memproduksi gula merah dari siwalan. Melihat beberapa alat yang digunakan, nampak sederhana, tidak rumit dan mudah dikerjakan. Kata batin ku...
"Sudah berapa lama, Kang?" tanyaku dengan hati-hati.
"Ya sejak saya usia 12 tahun," saya tidak sekolah karena saya melanjutkan pekerjaan ini.
"Sekarang usia berapa, Kang?" saya tambah penasaran dengan jawabannya.
"52, lima puluh dua tahun," Jawabnya pendek.
Saya langsung saja menghitung susah beeapa tahun Kang Tur bekerja sebagai petani dan produsen Gula Merah Siwalan ini. 52-12, benakku mulai berhitung, ketemulah angka 40 tahun. Waktu yang tidak sebentar.. Sebuah proses pengalaman panjang yang tak mudah bisa dilalui banyak orang.
"Apa yang membuat Kang Tur bertahan?" tanyaku lagi.
"Ya hanya ini yang bsia saya lakukan," jawabnya merendah.
Saya tahu bahwa Kang Tur merendah, sebab dalam beberapa diskusi saya tahu bahwa Kang Tur memiliki kemampuan menghafal yang luar biasa.
Kang Tur bukan hanya memahami lika-liku bisnis dan produksi Gula Merah Siwalan, tapi Kang Tur juga mampu menghafal beberapa sejarah kota ini. Bahkan, Kang Tur yang tidak bisa membaca san menulis ini mampu menghafal al-Qur'an, kini sudah 15 Juz, dengan hanya menggunakan metode sima'iy (mendengarkan).
Versi Kang Tur: Sejarah Produksi Gula Merah Siwalan
Pada saat Kang Tur sudah istirahat dari pekerjaannya, saya sempatkan untuk minta Kang Tur bercerita tentang mengapa pohon siwalan banyak di pantai Karangasem, Paciran, dan sejarah Produksi Gula Merah Siwalan. Berikut merupakan cerita rakyat yang diveritakan kembali oleh Kang Tur. Tentu saya menceritakannya kembali dengan menggunakan bahasa dan tambahan notasi dari saya, karena Kang Tur bercerita dalam bahasa Jawa.
Pada jaman dahulu kala... (Kang Tur tidak menyebutkan tahun karena lupa), tersebutlah seorang Panglima Tartar yang mencintai Putri Ponden (atau Punden?). Pada suatu hari, Sang Putri minta agar Panglima membawakan dia Jarik Klenting Kuning.
Jarik dalam bahasa Jawa berartinsehelai kain lebar dan panjang yang biasanya bermotif batik. Jarik digunakan oleh para bangsawan Jawa. Model dan motif dari sebuah jarik, menentukan dan memberikan makna tingkat dan oeringkat kebangsawanan penggunanya.
Klenting adalah tempayan kecil yang biasanya digunakan untuk mentimpan atau memasak air. Klenting biasanya terbuat dari tanah, tetapi kuning menunjukkan pada warna emas.Â
Dengan demikian, maka Sang Putri sesungguhnya meminta Panglima membawakan dia jarik terbuat dari emas yang bermodel seperti Klenting.
Namun, Panglima yang memahami bahasa Jawa sederhana salah memahaminya, sehingga Panglima membawakan Keling. Keling di wilayah tersebut berarti buah siqalan yang sudah tua dan kering, berwarna kuning.
Karena salah paham itu, maka Sang Putri marah dan tersinggung dengan bawaan Panglima. Amarah yang tak terkendali, mwngakibatkan Sang Putri ngorat-ngarit dan menendang dengan sangat keras. Akibatnya, Keling pun berhamburan dan berserakan di hampir qilayah pegunungan dan pantai wilayah itu.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun, masa pun berlalu. Keling kemudian tumbung dwngan suburnya di hampir semua ailayah pegunungan dan, terutama, sekitar pantai di wilayah yang kemudian dikenal dengan Paciran tersebut.
Pohon-pohon, Â kemudian dikenal masyarakat daerah dengan nama, cekatan ini berbunga kemudian berbuah. Tak ada yang memahami manfaat dari pohon yang banyak berteburan dan tepian pantai tersebut.
Pemanfaatan terhadap hasil produksi tersebut baru dilakukan pada masa Raden Rahmat Sendang dan Raden Qosim. Menurut keyakinan masyarakat, Raden Rahmat Sendang senang makan sehingga bekerja keras, sedangkan Raden Qosim lebih sering berpuasa sehingga lebih banyak bertapa.
Perbedaan perilaku tersebut juga berbeda dalam perlakuan terhadap pohon Ntal (buah dari cekatan) tersebut. Raden Qosim memanfaatkan Ntal dengan cara digoyang pohonnya, sehingga semua buah runtuh san berguguran, yang muda dan yang tua, sedangkan Raden Rahmat dielus-elus pohonnya lalu menjadi doyong dan dipilihlah buah Ntal yang hanya bisa dimakan.
"Kang Kang, ngambil buah Ntal kok digoyang begitu, buahnya jadi jatuh semua. Nanti generasi berikutnya kalau mau makan Ntal susah mencarinya karena sudah dihabisi." Kata Raden Rahmat.
"Kalau kamu bagaimana caranya?" Tanya Raden Qosim.
"Begini caranya, Kang." Jawab Raden Rahmat.
Raden Rahmat kemudian mengelus-elus pohon cematan itu, lalu pohon-pohon tersebut menjadi condong dan dipilihlah buahnya. Itulah sebabnya, mengapa pohon cematan di daerah Sendang menjadi condong-condong.
Pemanfaatan terhadap semua hasil produksi pohon cematan ini selanjutnya diajarkan dari generasi ke generasi dan jadilah wilayah ini tempat belajar pemanfaatan pohon cematan sejak dulu hingga sekarang.
(Bersambung...)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI