Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (II)

3 Mei 2023   16:49 Diperbarui: 3 Mei 2023   17:06 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Posisi Indonesia terhadap BRICS.

Disaat negara anggota BRICS justru tidak memiliki kesamaan latar belakang sejarah yang signifikan, Indonesia justru terbalik. Negara ini justru memiliki posisi istimewa dengan latar belakang sejarah dan kemampuan Indonesia pada kontestasi geopolitik internasional hari ini. Sebagai salah satu pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) pada masa PD II, Indonesia justru punya sejarah hubungan baik dengan negara anggota BRICS. 

Seperti yang tercantum pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia menjadi salah satu negara yang berperan penting serta bermitra dengan India dan Afrika Selatan. Pun kemudian ada masa dimana Cina juga memiliki hubungan baik dengan organisasi Gerakan Non-Blok yang berdiri pada 1961 silam.

Terlepas dari peran Indonesia dalam GNB, pun Indonesia pernah dan masih bermitra dengan Rusia hingga saat ini. Pun pasca kemerdekaan Indonesia, Soekarno sebagai presiden pertama RI pernah memiliki kedekatan khusus dengan pemimpin Rusia saat itu Nikita Khrushchev. Pada 1961, Soekarno bahkan sempat melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia yang saat itu masih disebut dengan Uni Soviet, setelah Rusia menemukan makam salah satu tokoh besar umat Islam, Imam Bukhori.

Hari ini Indonesia juga punya berbagai kerjasama dengan Brazil. Hubungan baik ini sudah terjalin secara diplomatik sejak tahun 1954. Ditambah lagi, sejak tahun 2009 Indonesia dan Brazil sudah menjalin Kerjasama Kemitraan Strategis.

Peluang dan tantangan Indonesia terhadap BRICS

Jika mempertimbangkan kedekatan Indonesia dengan negara anggota BRICS, Indonesia sejatinya berada pada posisi bebas pilih. Kedekatan-kedekatan dengan latar belakang sejarah tersebut sesungguhnya menjadi kesempatan tersendiri bagi Indonesia jika memang ingin bergabung. Pertumbuhan perekonomian Indonesia sebesar 5.31% pada tahun 2022 sesungguhnya bisa menjadi magnet tersendiri, atau bisa juga menjadi nilai tawar tersendiri di mata anggota BRICS lainnya.

Kemudian, daya saing ekonomi Indonesia hari ini juga menunjukkan posisi Indonesia yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan PDB di atas 1 Triliun USD, Indonesia kemudian muncul pada peringkat 10 dalam daftar Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity) di antara negara anggota G20 lainnya.

Namun kondisi itu juga tidak sepenuhnya memberikan kemudahan bagi Indonesia untuk menyatakan bergabung atau tidak dengan BRICS. Meskipun memiliki kedekatan tersendiri dengan negara anggota organisasi tersebut, juga memiliki nilai tawar dari kacamata pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga harus memahami kondisi dan kemungkinan lain jika ingin ikut bergabung ataupun tidak.

Secara ekonomi Singapura masih menjadi negara dengan investasi tertinggi di Indonesia sampai hari ini. Pada kuartal IV 2022, memang Cina menjadi sukses menjadi penanam modal terbesar di Indonesia, tapi Singapura tetap tertinggi secara akumulatif. Posisi ini juga tidak menampik bagaimana Singapura mampu menjadi negara maju dengan berada di bawah pengaruh bayang-bayang negara Barat seperti Amerika dan Inggris.

Hal yang sama juga terjadi antara Indonesia dan Rusia. Meski dalam unfriend list (daftar negara yang tidak dianggap teman bagi Rusia sebagai imbas kasus Ukraina) yang dikeluarkan pemerintah Rusia tidak ada nama Indonesia, nilai investasi Rusia di Indonesia justru tergolong rendah. Jika investasi Cina di Indonesia mencapai 3 Milyar USD, investasi Rusia bisa dibilang sangat kecil.

Dalam satu dekade terakhir investasi Rusia di Indonesia hanya berkisar “jutaan” USD. Pada tahun 2021 investasi itu mencapai angka tertinggi pada nominal 23.2 Juta USD. Dimana angka itu sangat jauh bila dibandingkan dengan investasi negara maju lain seperti Hongkong, Amerika, dan Jepang. Sebaliknya, negara penyumbang investasi besar di Indonesia adalah negara-negara yang termasuk dalam unfriend list pemerintah Rusia.

Sebagai negara yang dikenal tidak memihak pada blok manapun, sesungguhnya Indonesia bisa disebut sebagai salah satu negara terkuat sebagai kandidat calon anggota BRICS. Masyarakat Indonesia yang beragam juga bisa menjadi sebuah representatif pendekatan multikultural yang senantiasa digaungkan oleh BRICS. Meski demikian, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang juga memiliki nilai tawar lain yang juga menjadi magnet bagi organisasi internasional lainnya.

Di antara semua negara anggota G20, potensi sumber daya Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu negara dengan potensi alam yang paling komplit jika dibandingkan dengan kebutuhan produksi maupun produk jadi sebagai komoditas pada perdagangan internasional saat ini. Namun belum maksimalnya kemampuan kita dalam mengolah bahan mentah sampai pada produk jadi siap pakai, senantiasa menjadi kendala utama dalam membuat Indonesia semakin terlihat jadi primadona di antara negara-negara berbagai belahan dunia.

Menjadi pelopor Gerakan Non-Blok juga sejatinya membuat Indonesia berada pada posisi yang sulit jika ingin bergabung dengan BRICS. Kesulitan itu terjadi karena sejak awal Indonesia memberikan sikap bahwa Indonesia tidak memihak pada haluan sosial dan politik manapun secara internasional. Atas kondisi itu Indonesia kemudian memilih untuk menjadi pihak yang bebas dari kepentingan Haluan internasional manapun.

Buruknya, situasi itu membuat Indonesia tidak bisa berbuat banyak kecuali pemerintah Indonesia berani mengambil langkah-langkah “tidak biasa” dalam menghadapi stigma internasional tentang Indonesia. Jika Indonesia menyatakan sikap tegas dengan memilih “bergabung dengan BRICS” tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara “Barat” akan berasumsi bahwa Indonesia sudah menyatakan sikap soal haluan politiknya secara internasional akan condong ke Rusia dan Cina. Sehingga mau tidak mau, akan ada perubahan pada iklim investasi di Indonesia khususnya negara investor yang berhaluan Barat.

Demikian halnya jika Indonesia menyatakan untuk tidak bergabung dengan BRICS. Maka akan muncul stigma internasional yang sama bahwa Indonesia secara tidak langsung memilih bergabung pada haluan politik internasional Barat. Lagi-lagi akan muncul peruhahan vibes pada negara-negara yang menjadi mitra investasi Indonesia, khususnya Cina yang menjadi investor kedua terbesar di Indonesia.

 Baca juga: BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (I)

Posisi terbaik bagi Indonesia

Kalau kita sepakat untuk memilih salah satu antara bergabung dan tidak bergabung, Indonesia sebenarnya tidak serta-merta menjadi sasaran asumsi internasional. Saat Indonesia kemudian memilih sikap di antara keduanya, posisi Indonesia sebenarnya berada pada nilai tawar yang cukup kuat. Indonesia punya modal potensi alam dan keberagaman masyarakat yang belum tentu dimiliki oleh negara lainnya baik pada haluan Barat ataupun Timur.

Keberadaan Indonesia yang menjadi anggota ASEAN, G20 (bahkan menjadi tuan rumah pada 2022), APEC, OPEC, PBB, ADB, dan masih ada lagi, sebenarnya menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang bebas pilih tanpa terlalu ambil pusing soal asumsi internasional. Keberadaan Indonesia pada berbagai aliansi internasional sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa negara ini juga punya kemampuan “bargaining” yang tinggi pada berbagai organisasi internasional, yang dibarengi dengan potensi alam yang saat ini menjadi komoditas utama berbagai negara di dunia.

Kondisi ini pula bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk menunjukkan sikap netralnya dengan tidak memihak pada haluan manapun, meskipun nantinya akan memilih ikut BRICS atau tidak. Sebagai pertimbangan, jika Indonesia ikut BRICS, negara haluan Barat yang berasumsi bahwa Indonesia sudah memilih haluan internasional bersama dengan Cina dan Rusia dapat terbantahkan dengan hubungan diplomatis Indonesia yang tetap baik dan harmonis dengan berbagai negara Barat lainnya pada kerjasama-kerjasama di organisasi internasional lainnya selain BRICS.

Selain karena hubungan diplomatis yang tetap berjalan baik dan lancar, kemampuan kita dalam memproduksi dan mengolah potensi sumber daya alam juga harus ditingkatkan secara signifikan dalam tempo yang relatif cepat. Kemampuan tersebut nantinya dapat menjadi bahan bargaining utama pemerintah dalam menghadapi tantangan dari berbagai asumsi internasional terkait posisi haluan politik Indonesia.

Terakhir, jika pemerintah kita ingin mengambil sikap tegas yang diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan rinci serta menyeluruh, berbagai macam pendekatan bisa dilakukan demi tercapainya keputusan yang ideal dan selaras dengan kebutuhan domestik saat ini. Pendekatan sejarah, pendekatan budaya, pendekatan kebutuhan dan iklim investasi, pendekatan daya beli dan daya jual masyarakat terhadap produk luar negeri, pendekatan pada kebijakan bea impor dan ekspor, serta pendekatan pada sektor sosial, budaya, dan pendidikan, bisa menjadi pertimbangan-pertimbangan tersendiri bagi pemerintah.

Hal ini sangatlah penting mengingat menyatakan bergabung atau tidak bergabung dengan BRICS nantinya akan memberikan dampak yang cukup besar bagi sektor ekonomi dan sosial Indonesia. Sebaliknya, jika pemerintah sudah melakukan kajian mendalam secara terperinci dan menyeluruh perihal kondisi Indonesia hari ini, dan juga memiliki pertimbangan fundamental akan kenyataan pro dan kontra setelahnya, maka apapun keputusan yang diambil tidak akan mengganggu stabilitas politik, sosial, dan ekonomi nasional yang sudah ada hari ini.

Oleh karena itu, akhir kata, sudah saatnya pemerintah perlu melakukan lagi pemetaan mendasar dan rinci saat ini soal kondisi Indonesia di semua sektor. Sudah saatnya juga pemerintah Indonesia untuk menentukan sikap perihal haluan politik dan ekonomi internasional, atau menegaskan kembali bahwa posisi Indonesia masih tetap pada prinsip “tidak memihak” baik Barat ataupun Timur.

Nantinya, eksistensi BRICS ke depannya bukan hanya sebagai ajang pembuktian Indonesia pada berbagai aspek internasional dunia saja, melainkan juga sebagai ajak pembuktian kemampuan dan nilai tawar Indonesia pada dunia internasional, serta pembuktian bahwa Indonesia bukan lagi sebatas peserta saja pada berbagai permainan besar internasional, tapi juga menjadi “play maker” yang memang memiliki pengaruh dan penentu besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun