Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (I)

2 Mei 2023   18:35 Diperbarui: 2 Mei 2023   18:49 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: BRICS (Koleksi Pribadi)

Pada beberapa waktu lalu istilah BRICS cukup sering kita dengar atau kita baca baik secara tulisan ataupun verbal. Mungkin juga saya, anda, dan banyak lagi di antara kita yang belum familiar dengan BRICS. Apa sebenarnya BRICS, mengapa penting untuk dibahas, dan apa pengaruhnya bagi kita di Indonesia?

Apa itu BRICS?

Bagi kita yang belum paham betul tentang hal ini, BRICS adalah singkatan untuk 5 negara yang dianggap akan memiliki poros kekuatan ekonomi baru pada tatanan global di masa depan. Kelima negara itu adalah Brazil, Russia, India, Cina, dan South Africa. Empat negara pendahulu gerakan ini sesungguhnya sudah pernah menggaungkan isu penggabungan kekuatan ekonomi mereka secara global pada 2006 atau 17 tahun silam, sebelum kemudian Afrika Selatan bergabung pada September 2010.

Kelima negara ini kemudian bersepakat dengan mendirikan sebuah Bank Pembangunan yang dikenal dengan istilah New Development Bank pada tahun 2014 lalu di kota Fortaleza Brazil. Berdirinya Bank Pembangunan ini dilaksanakan bersamaan dengan momen Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara anggota BRICS yang keenam meskipun pada saat itu belum mengikut sertakan Africa Selatan.

Menariknya lagi, ternyata selain menjadi forum bisnis, BRICS kemudian menjadi sebuah organisasi antar pemerintahan yang menaungi beberapa poin krusial dari sebuah negara. Adapun bidang tersebut adalah kerjasama peningkatan ekonomi, peningkatan kualitas kesehatan, teknologi, budaya, dan sosial. Tentu saja beberapa hal tersebut menjadi beberapa nilai yang sangat krusial bagi sebuah negara, secara khusus bagi negara berkembang.

Nilai tawar BRICS pada tatanan ekonomi global. 

Selain menjalin kerjasama antar pemerintahan dan forum bisnis, negara anggota BRICS juga memiliki pengaruh lain dalam tatanan era global hari ini. Menurut data Bank Dunia pada tahun 2019, dari segi populasi penduduk negara anggota BRICS mewakili 41% data penduduk dunia. Sementara dari sisi ekonomi, melalui data forum internasional BRICS pada 2018 PDB negara anggota BRICS mencapai 23,2% PDB Global, dimana capaian tersebut mengalami peningkatan 3,2% sejak tahun 2014.

Dari segi perolehan cadangan devisa, pada tahun 2014 silam cadangan devisa kelima negara anggota BRICS mencapai angka 4 Triliun USD. Perolehan ini juga diikuti dengan angka sebesar 16% saham perdagangan dunia setelah berselang 5 tahun (menurut data World Bank). Pada KTT BRICS ke 14 pada 22 Juni 2022 di Beijing Cina, Wakil Ketua Dewan Cina untuk Perdagangan Internasional bahkan beropini bahwa BRICS bahkan memberikan kontribusi sebesar 23% perdagangan global, 18% perdagangan barang, dan 25% investasi asing.

Dengan pertimbangan tersebut, tentu saja BRICS memberikan rangsangan baru bagi banyak negara berkembang yang selama ini merasa sangat sulit bersaing dengan negara Barat dalam kompetisi ekonomi global. Hal ini terbukti dengan mendaftarnya Argentina dan Iran untuk ikut bergabung dalam organisasi inter-governmental tersebut. Meskipun kedua negara tersebut bukanlah termasuk negara yang memberikan pengaruh yang sangat besar dalam tatanan ekonomi global, hanya saja hal ini menjadi bukti bahwa BRICS cukup mampu memberikan rangsangan baru bagi negara berkembang.

Berdirinya New Development Bank juga dianggap sebagai sebuah poros baru bagi berbagai negara khususnya negara berkembang yang selama ini merasa kesulitan untuk mengikuti penyesuaian struktural Bank Dunia maupun International Monetery Founding (IMF). Kehadiran NDB sebagai sebuah alternatif baru bagi negara berkembang di dunia kemudian menjadikan BRICS yang notabene adalah “Forum Bisnis” secara pasti menjadi sebuah organisasi “Antar Pemerintahan”.

BRICS sebagai poros baru geopolitik internasional. 

Terlepas dari kekuatan poros ekonomi baru di tatanan global, BRICS kemudian mulai dipertimbangkan sebagai sebuah poros kekuatan baru pada politik internasional. Kehadiran negara anggota BRICS yang juga menjadi negara anggota G20 dianggap menjadi poros kekuatan politik baru dari perspektif geopolitik.  

Sebagai poros politik baru BRICS menggunakan konsep tiga pilar dalam proses kerjasama sesama anggota. Tiga pilar tersebut mencakup pilar politik dan keamanan, pilar ekonomi dan keuangan, serta pilar budaya dan pertukaran antar manusia (people exchange). Sebagai pelengkap pilar tersebut, negara anggotra BRICS senantiasa membawa isu penting internasional layaknya isu yang dimiliki organisasi internasional lainnya, seperti menegakkan keadilan global, reformasi system pemerintahan, dan membawa isu-isu penting di masing-masing negara anggota agar juga tersampaikan pada berbagai forum internasional lainnya.

Jika kita melihat dengan kacamata sederhana, tanpa perlu memberikan usaha ekstra dalam eksistensinya, BRICS sejatinya sudah menjadi sebuah organisasi internasional yang patut diperhitungkan pada konstelasi geopolitik internasional. Mengapa? Karena saat ini masing-masing negara anggota organisasi antar pemerintah tersebut sudah menjelma menjadi pemain raksasa dalam dunia internasional.

Baik secara latar belakang budaya dan keragaman populasi, setiap anggota BRICS sesungguhnya tidak memiliki sejarah kebangsaan yang sama secara kontras, dan juga memiliki sistem demokrasi yang berbeda. Begitu juga dengan sejarah kebudayaan, hampir tidak ada hal yang menjadi persamaan secara spesifik antara satu negara anggota dengan anggota lainnya. Lantas apa yang membuat mereka menjadi layak diperhitungkan?

Negara anggota BRICS merupakan negara-negara yang memiliki keunggulan tersendiri baik dari sejarah maupun kondisi terkini. Rusia contohnya, selain menjadi pemain lama dalam politik internasional sejak zaman Uni Soviet (Perang Dunia ke II) juga menjadi salah satu poros politik, militer, dan ekonomi terkuat yang mampu menjadi penyeimbang di antara negara-negara Barat lainnya. Sehingga tak heran, bahkan saat sedang berkonflik dengan Ukraina sekalipun Putin selaku pemimpin negara bahkan seolah tidak ambil pusing dengan segala sanksi yang dikenakan negara belahan Barat pada negara tersebut.

Pun juga dengan Cina dan India yang saat ini menjadi raksasa baru pada bidang industri (barang dan jasa) serta teknologi. Cina hari ini dikenal dengan negara yang mampu memproduksi barang apa saja. Mulai dari bahan kebutuhan pokok manusia hingga keberadaan perangkat teknologi terbaru yang pasarnya mencapai seluruh wilayah internasinal. Tak kalah menarik lainnya, kemajuan ekonomi tersebut juga diikuti dengan kemampuan pertahanan militer yang meningkat secara signifikan khususnya dalam 2 dekade terakhir.

Perkembangan negara Tirai Bambu ini semakin terlihat jelas dengan slogan yang dicetuskan oleh pemerintahnya The State Council of the People of Republic of China 2021 atau yang dikenal dengan istilah “Standar Cina 2035” pada Oktober 2021. Slogan itu kemudian diikuti dengan langkah mengejutkan Cina pada Organisasi Hak Paten Internasional atau World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 2020. Pada tahun tersebut WIPO merilis setidaknya terdapat 68.720 paten dan kekayaan intelektual yang didaftarkan Cina selama setahun, dimana pengajuan ini bahkan lebih banyak dari yang Amerika ajukan ke WIPO. 

Sementara itu, India saat ini menjadi sebuah negara yang kaya akan inovasi teknologi tepat guna yang dibarengi dengan peningkatan pendidikan dan kualitas sumber daya manusia. Tidak sedikit perusahaan raksasa internasional hari ini yang mempekerjakan warga keturunan India, setidaknya lima perusahaan raksasa teknologi internasional seperti Twitter, Google, Nettapp, Adobe, dan Microsoft menjadikan warga India sebagai CEO. Hebatnya lagi, andai saja tidak terkendala pada proses perizinan dan proses perbaikan produk mobil listriknya, bahkan sebuah perusahaan otomotif raksasa seperti Tesla pada Juni 2021 juga ingin berinvestasi di negara yang terkenal dengan produksi film Bollywood tersebut.

Fakta lain adalah pada Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) India berada pada posisi 132 dari 199 negara di dunia pada tahun 2022. Posisi India berada 2 tingkat di bawah Indonesia yang berada pada posisi 130. Hanya saja, peningkatan poin HDI India sedikit lebih tinggi dari Indonesia yaitu pada 0.63 poin dimana Indonesia meraih 0.62 poin. Menariknya, peningkatan perolehan HDI India tersebut disumbangkan sektor pendidikan wilayah Kerala dengan performa pendidikan yang hampir mencapi 100%.

Afrika Selatan sebagai pendatang terakhir di BRICS pada 2010 silam juga menjadi sebuah negara yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Afrika Selatan menjadi salah satu negara sebagai tujuan investasi internasional saat ini mengingat negara ini melimpah dengan potensi sumber daya alam dari sektor tambang, bahkan kekayaan alam tersebut mewakili 50% jumlah keseluruhan produksi barang tambang di Benua Afrika. Kekayaan potensi tambang tersebut tersebar dalam produksi mineral seperti emas, platinum, berlian, batu bara, bijih besi, nikel, bijih mangan, dan bijih kromium.

Selain dari kemampuan masing-masing anggota tersebut BRICS kemudian mulai diperhitungkan sebagai organisasi internasional dengan pendekatan multikultural yang inklusif karena tidak adanya persamaan latar belakang yang signifikan sesama negara anggota. Pun juga karena anggota BRICS juga menjadi anggota G20, hal ini menjadi rangsangan baru bagi negara berkembang lainnya untuk menjadikan BRICS sebagai wadah kerjasama ekonomi alternatif selain G20.

Tantangan eksistensi BRICS

Setelah hadir sebagai pemain baru dalam poros ekonomi dan politik global BRICS juga tidak luput dari beberapa masalah internal yang jika dianalisa mampu menjadi penghambat pertumbuhan BRICS sebagai organisasi internasional. Meskipun memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, ternyata BRICS juga masih berada di bawah bayangan masalah internal anggota. Pun juga masalah itu juga memberi dampak kepada eksistensi BRICS secara keseluruhan.

Kemiskinan menjadi salah satu isu klasik yang menjadi permasalahan di banyak negara di dunia. Dimana hal ini masih terjadi di anggota BRICS seperti India, Afrika, dan Brazil dengan capaian yang sangat tinggi. Per tahun 2020, data yang dirilis PEW Research Center menunjukkan bahwa jumlah masyarakat miskin di India mencapai 75 juta jiwa, secara khusus saat pandemi Covid-19. Angka ini bahkan berkontribusi 60% terhadap angka kemiskinan global pada tahun 2020.

Angka tersebut juga tidak hadir begitu saja, mengingat data menurut CEIC bahwa angka penganguran di India juga meningkat pada tahun yang sama. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2020 angka pengangguran di India mencapai 7.11%. Angka ini lebih tinggi dibanding capaian persentase setahun sebelumnya pada 2019 yaitu 5.27%.

Persoalan yang sama juga terjadi di Afrika Selatan. Negara yang 13 tahun lalu diterima sebagai anggota BRICS ini menjadi negara dengan angka pengangguran tertinggi di dunia. Menurut data IMF pada tahun 2021, angka pengangguran di negara ini mencapai 33.56% dari total populasi Afrika Selatan.

Selain itu, setahun sebelumnya IMF bahkan menyetujui bantuan dana darurat untuk Afrika Selatan untuk membantu penanganan pandemi di negara yang kaya dengan emas tersebut. Nilainya tak tanggung-tanggung, IMF mencairkan dana bantuan sebesar 4.3 Milyar USD atau setara dengan 62.35 triliun rupiah.

Begitu juga dengan negara Brazil yang terkenal dengan negara Samba. Negara yang terletak di Amerika bagian Selatan ini juga hampir sama dengan Afrika Selatan. Data Trading Economics menunjukkan per Maret 2023 saja, angka penganguran disana mencapai 8.88% atau setara dengan 9.43 juta jiwa dari jumlah total populasi.

Namun selain itu, meskipun dua negara besar lainnya Cina dan Rusia tampak seperti raksasa ekonomi, namun juga tidak luput dari angka penganghuran. Per Februari 2023 angka pengangguran di Cina melalui survey wilayah perkotaan menunjukkan angka 5.6%. Sementara Rusia memperoleh angka rendah yaitu di kisaran 3.60% per Januari 2023.

Selain dari angka kemiskinan dan pengangguran, masalah-masalah lain seperti capaian angka harapan hidup, kesetaraan gender, kesenjangan soial, dan angka kematian yang tinggi masih menjadi masalah klasik yang membayangi BRICS sampai hari ini. Soal kesetaraan gender dan kesenjangan sosial, ternyata masih banyak persoalan yang menitik beratkan pada siapa yang kaya atau siapa yang miskin, jadi bukan hanya sekedar kaya dan miskin saja.

Pun demikian pada angka harapan hidup yang pertumbuhannya sangat lambat di negara anggota seperti India dan Afrika Selatan. Pun masalah harapan hidup ini diikuti pula dengan masih tingginya angka kematian. Angka ini tentu saja bersumber dari belum stabilnya kemampuan negara anggota untuk memastikan kemampuan warga negara dalam mendapatkan nutrisi dan kebutuhan pokok lainnya.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun