Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Hati yang Beku

13 Agustus 2017   16:00 Diperbarui: 13 Agustus 2017   16:08 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pak Marno dan Bu Marno, sepasang suami istri tinggal hanya berdua dalam sebuah rumah sederhanya di lereng gunung. Mereka memiliki dua orang anak, yang masing-masing kini sudak memiliki keluarga baru. Di lingkungan yang mayoritas masyaraktnya bekerja sebagai petani, Pak Marno menjadi guru di sekolah dekat rumahnya. Pekerjaan PNS disebuah desa adalah pekerjaan yang dihormati, meskipun gaji yang didapatkan tidak seberapa. Orang yang menjadi PNS dianggap memiliki tingkat intelekual yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lain, karena berhasil lolos tes CPNS yang konon katanya suilit itu.

Dalam forum RT, Pak Marno sering dipercaya untuk menjadi moderator, atau kadang juga dimintai wejangan oleh para warga. Dari urusan rumah tangga, hingga penentuan hari yang tepat untuk memulai membangun rumah, Pak Marno sering terlibat untuk pengambilan keputusan. Di mata warga, Pak Marno memang memiliki kharisma seorang pemimpin, selain sifatnya yang bijaksana ketika menyelesaikan masalah, pembawaan Pak Marno ketika menghadapi orang yang lebih tua darinya atau lebih muda selalu tepat. Orang tak sungkan untuk mengajak Pak Marno berbincang.

Akhir-akhir ini Pak Marno mudah merasa jengkel kepada orang lain, perangainya yang dulu santau, kini seolah telah tergantikan oleh sifat orang lain. kepada orang yang tidak begitu dekat dengan Pak Marno, Pak Marno sering merasa jengkel oleh kesalahan kecil yang mestinya tidak perlu untuk diperhaikan. Suatu sore, istrinya memergoki Pak Marno sedang mengomel, karena ayam Bu Atik, tetangganya yang mengeluarkan kotoran di halaman depan rumah Pak Marno.

"sudah tho Pak, lha cuma kotoran ayam aja kok panasnya sampe ubun-ubun." Ujar istri Pak Marno.

"lha ini bukan masalah kotorannya, ini masalah tanggung jawab. Mana tanggung jawab Bu atik kalau ayamnya sampai mengotori rumah orang kaya begini."

Istri Pak Marno hanya bisa mengelus dada melihat tingkah suaminya. Sudah berulang kali istri Pak Marno menasihati Pak Marno agar tidak mudah marah. Awal mula berubahnya sifat Pak Marno, ketika tahun lalu lingkungan tempatnya tinggal mengadakan kegiatan menyambut HUT RI yang ke-71. Para warga sibuk mempersiapkan segala hal guna melaksanakan malam pentas seni yang akan diisi oleh warga sendiri. Pak Marno dipercaya oleh anak-anak karang taruna untuk menjadi penanggung jawab acara.

Rancangan acara yang telah disiapkan oleh panitia berjalan lancar, meskipun ada beberapa masalah teknis ketika drama dari anak-anak karang taruna tampil. Tapi secara keseluruhan, peringatan HUT RI tahun ini bisa dibilang sangat meriah. Seluruh panitia mendapatkan pujian dari waga sekitar, namun masih ada juga orang yang tak suka dengan keberhasilan para panitia. Pak Marno mendengar kasak-kusuk tentang dana yang telah dipakai pada acara tersebut, ada yang mengatakan bahwa pengeluaran mereka terlalu besar, seharusnya mereka bisa menggunakan dana kas saja, tanpa perlu meminta bantuan dana dari seluruh warga.

Pak Marno hanya diam mendengar pertanyaan tersebut. Hatinya merasa runtuh ketika pekerjaannya tidak dihargai oleh orang lain. Pak Marno tidak menceritakan kejadian ini kepada siapa pun, termasuk istrinya.Pak Marno merasa kerja kerasnya selama ini tidak dihargai, meskipun setelah acara, banyak orang yang memuji pekerjaannya.

Pak Marno sebelumnya memiliki sifat yang perfeksionis, segala hal yang dia kerjakan harus sempurna, dia tidak mentolerir segala kesalahan yang ada. Sifat inilah yang membuat Pak Marno tidak mampu menerima kritikan.

Sekalinya mendapatkan krtik, hati Pak Marno langsung hancur, seolah hal yang telah dikerjakannya tidaklah sempurna. Setahun telah berlalu, Pak Marno masih menyimpan dendam kepada orang yang telah melayangkan kritik tersebut. Mengingat namanya saja sudah membuat Pak Marno jengkel, apalagi hingga melihat wajahnya. Hal ini semakin lama semakin merembet ke orang lain. ketika dirasa kelakuan orang lain tidak cocok dengan Pak Marno, Pak Marno langsung menaruh perasaan jengkel, hingga membuat hidup Pak Marno tidak tenang.

"Bapak ini kenapa sih? Sama anak-anak yang main bola kok jengkelnya setengah mati?"

"mereka itu lho Bu, main bola ya di lapangan, bukan di jalan, kalo bolanya kena kaca rumah kita, kita juga kan yang repot. Itu juga Pak RT, katanya mau benerin lapangan buat main anak-anak, sampai sekarang juga ga jadi-jadi, makan gaji buta tuh RT."

"loh lha kok sampe bawa-bawa Pak RT juga to Pak, siapa tau belum ada dana buat benerin lapangan itu Pak, istighfar Pak, istighfar. Bapak jangan gampang sebel sama orang gitu, nanti rejekinya seret lho Pak. Katanya rejeki orang bakal dimudahkan, kalo dia ga punya rasa benci ke orang lain Pak."

"ah ibu ini sama aja, kok sukanya belain orang lain, bukan suaminya sendiri yang dibela?"

" lho siapa yang belain orang lain to Pak? Kita ini harusnya jangan punya pikiran jelek melulu sama orang, kita juga harus menerka, ada apa kok Pak RT sampai belum benerin Pak, kan masih ada alasan lain, kita mungkin ga  tau Pak."

" wah, sudah-sudah, omongan sama ibu aku malah tambah emosi bisa-bisa, ga nyambug blas."

Semakin banyak orang yang dirasa pa Marno tidak cocok segala perilakunya, selama itu juga banyak tetangga yang menjauhi Pak Marno. Bu Marno yang paling merasakan akibatnya. Orang jadi jarang berkumpul di rumahnya. Biasanya setiap pagi, ibu-ibu  menunggu tukang sayur langganan lewat di depan rumah Pak Marno, yang kebetulan berada di depan gang.

Akhirnya Pak Marno juga merasakan tindak tanduknya, setiap akan melakukan perkerjaan rumah yang membutuhkan bantuan orang lain, Pak Marno kesulitan untuk mencari orang yang bersedia membantu. Orang-orang takut kena omel Pak Marno.

Sekarang, Pak Marno merasa terkucilkan di lingkungannya. Bahkan untuk teman mengobrol saja pun tidak ada. Pak Marno sering merasakan semakin hari sifatnya semakin burk, semakin kasar, gara-gara tidak mau menerima kritik, dan tak memaafkan orang lain. Pak Marno merasakan hatinya yang mulai membeku, tak bisa untuk merasakan simpati kepada orang lain.

Secara tidak langsung, sifatnya sendiri yang membawa petaka datang kepadanya. Karena sering merasakan emosi, kini Pak Marno sakit-sakitan, berbagai macam penyakit silih berganti menghinggapi tubuhnya. Darah tingginya sering kumat, dan begitu tekanan darahnya naik, Pak Marno sering menginap di puskesmas untuk beberapa hari.

Ketika sakit, ada rombongan tetangga yang menjenguk Pak Marno. Pak Marno kadang berpura-pura tidur, karena malu telah bersifat buruk kepada mereka. Ketika itu pula, Pak Marno mendengar, bagaimana sebenarnya para tetangga tidak merasa mengucilkan pa Marno. Karena hatinya saja yang mudah berfikiran buruk, sehingga mengabaikan kebenaran yang ada. Pak Marno kini merasa hatinya luluh lagi, ia bertekad untuk memaafkan siapa saja, dan berkumpul lagi dengan masyarakat. Bukan hidup akan lebih tenang jika kita tidak menaruh perasaan buruk kepada orang lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun