Kalau melihat target Menhan sebanyak 4500 kader, maka kita tahu apa yang ia kehendaki: mobilisasi orang untuk ‘bela negara’. Tak perlu berkelat-kelit menolak dikatakan sebagai program wajib militer, karena tokh program ini diluncurkan Kemenhan, bukan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan—walau yang terakhir tentu akan mangut-mangut saja karena tak punya visi.
Kita mesti menolak program Bela Negara. Bukan saja karena negara belum melindungi kepentingan dan hak-hak warga, tetapi karena negara saat ini adalah negara militer bernama Indonesia. Tentu saja negara sekarang berbeda dengan negara sebelum reformasi, tetapi ada satu yang perubahannya hanya mengelabui: kuasa militer dan ideologi NKRI harga mati-nya.
Ketika kita sedikit lega Jokowi memenangkan Pemilu 2014 dari Prabowo yang militer berdosa, harapan tumbuh pada kemungkinan Jokowi akan, setidaknya, mengambil jarak dari militer dan politiknya. Tapi tidak, tidak semudah itu. Jokowi bukan Gusdur, apalagi Soekarno. Butuh pemimpin negara yang sedikit ‘gila’ dan berani beresiko untuk tangani reformasi militer dan peradilan para Jenderal pelaku kejahatan HAM di Indonesia. Militer Indonesia itu suatu institusi sangar, berdarah, pilar pendiri Indonesia sejak Oktober 1965.
Tidak ada yang bisa mengontrol militer Indonesia—kecuali rakyat yang berani beraksi dan berorganisasi-berkomunitas. Ini kenyataan mengerikan. Padahal menjadi negara demokrasi, ukuran pertama dan utamanya adalah derajat kontrol terhadap aparatus kekerasan. Sementara aparatus inilah justru yang terus minta jatah lewat penambahan anggaran, konsisten menolak pelurusan sejarah, memancing di air keruh dalam berbagai konflik horizontal berwarna SARA, paling depan memburu orang Papua dalam berbagai operasi militer, mengendap-endap boikot dan melawan reformasi militer dan penegakan HAM.
Ada masa-masa dimana membela tanah air—yan derajatnya lebih tinggi ketimbang bela negara—menjadi tugas suci yang mulia: Patria o Muerte, seperti yang dilakukan para pejuang pembebasan di Papua hingga hari ini. Para petani dan masyarakat adat yang dirampas tanahnya, buruh-buruh yang menuntut kesejahteraan, perempuan yang menuntut perlindungan hukum dari kekerasan, adalah diantara mereka yang cinta tanah air ini. Sangat hina mengecilkan perjuangan mereka hanya sekadar untuk bela negara, apalagi dengan baris berbaris.
Selagi negara Indonesia ini ada hanya untuk melayani kepentingan kapital dan tentaranya, maka hanya satu kata untuk program Bela Negara: BOIKOT!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H