17 September 2015
Zely Ariane
ADA TIGA perempuan yang ingin saya bahas di tengah pikiran yang sedang berisik belakangan ini. Perempuan-perempuan yang hidup di abad lalu. Ketiganya sudah mati. Dan ketiganya berani.
Alexandra Kollontai, Rosa Luxemburg, dan Svetlana Alliluyeva di dalam pikiran berisiknya melahirkan karya kanon, yang ikut membentuk sejarah kiri dan sosialisme.
Bahasan ini tidak ingin mengurai yang hebat-hebat dari pikiran mereka, sudah terlalu banyak yang demikian. Saya pikir kita sedang perlu cerita orang-orang yang tetap tegak dalam kekalahan dan kesedihan.
Saya pilih ketiganya untuk satu sebab: mereka-reka jawaban atas pertanyaan “Apa yang membuat ketiganya bertahan?” Bertahan menulis, berpikir, beraksi, melawan, menanggung tekanan hebat, rasa malu dan bodoh, sambil terus mencari, menemukan dan kehilangan orang-orang yang dicintai. Mereka bukan nabi yang pada masanya dicintai banyak orang dan disucikan. Mereka dimusuhi, diasingkan, tidak diperdulikan, diremehkan. Dan kenyataan bahwa mereka perempuan menambah keunggulan dari deretan nabi yang semuanya lelaki.
Memang mereka tidak berada di tingkat kehidupan dan situasi yang sama, sehingga agak sulit bisa mendapat jawaban yang objektif. Rosa misalnya, ia dibunuh, tidak mati karena tua dan tak menyaksikan rangkaian realita “sosialisme yang muram, runyam dan kejam” di Eropa. Tetapi ia merasakan pahitnya membangun partai baru yang anti perang di tengah lautan minat massa rakyat Jerman terhadap Perang Dunia I.
***
Alexandra Kollontai, Rosa Luxemburg dan Svetlana Alliluyeva berhubungan lintas waktu dan tanpa persahabatan yang perlu. Joseph Stalin yang menghubungkan mereka.
Rosa dan Alexandra berumur sebaya, keduanya tak menyukai Stalin. Mereka oposisi politiknya. Walau di akhir hidup Alexandra memilih diam dan menyingkir (disingkirkan) dari Rusia dan dari sikap anti Stalinnya.
Keduanya bahkan tak berada di bawah bayang-bayang Lenin, yang juga tak percaya pada Stalin. Keduanya dikenal seringkali berseberangan dan mengkritik keras pikiran-pikiran Lenin. Hubungan keduanya walau pedas dengan oposisi dan debat, sekaligus hangat dalam gagasan revolusi sosialis.
Svetlana juga demikian. Lahir sebagai generasi setelah Rosa dan Alexandra, ia pun tak menyukai Stalin. Apalagi ketika pacarnya dikirim Stalin ke kamp kerja paksa Vorkuta. Tetapi Svetlana putri Stalin. Walau membencinya, ketika melihat jasad si bapak tergeletak tak berdaya, dia cukup terpekur juga. Ia bilang “tubuh yang telah memberi dia hidup itu tak lagi hidup dan bernafas, tetapi dirinya akan melanjutkan hidup.”
Ibunya, Nadya, seorang feminis yang mati bunuh diri. Sama seperti neneknya Olga pernah katakan, seharusnya memang Nadya tidak pernah menikah dengan bapaknya yang lebih tua 22 tahun. Svetlana setuju. Walau artinya, ia tak akan ada di dunia.
Tetapi Lana, panggilannya kemudian setelah puluhan tahun menjadi warga negara AS, tak marah atas pilihan kematian Nadya. Ia semacam paham luka Ibunya. Mereka berdua (Stalin dan Nadya) memang dua makhluk yang bertolak belakang. Walau semestinya ada solusi lain selain bunuh diri, tetapi Lana mengenang memang masa-masa itu—1920an sampai awal 1930an—bunuh diri cukup trendi jadi sarana ekspresi oposisi terhadap apa yang terjadi Uni Sovyet.
Nadya menato dadanya dengan simbol hati berwarna hitam. Ia bilang “disinilah jiwa itu berada.” Disitulah ia tembakkan peluru bunuh dirinya. Saya jadi ingat Mayakovski yang juga mati bunuh diri dengan tembakan di dada.
Lana tidak mau sejarah hanya mengingat Nadya karena cara kematiannya. Ia minta pada Nicholas Thompson, editor The New Yorker, untuk menulis tentang politik Ibunya sebagai seorang feminis. Lana bersikeras, bahkan tindakan bunuh dirinya dapat dianggap sebagai keberanian politik dimasa itu, bukannya lari dari tanggung jawab.
Lana boleh dianggap bukan revolusioner. Bahkan putrinya, Yekatarina, sama sekali tak memaafkannya. Ia tak mau menemui Lana yang baru berkunjung ke Rusia setelah puluhan tahun. Ia tak akan memaafkan, tak pernah dapat memaafkan, dan tak mau memaafkan. Svetlana dituduh berdosa secara moral karena meninggalkan Rusia dan tanah airnya.
Lana lanjutkan hidupnya. Terus menulis dan berdebat dengan Kennan yang telah membantunya selama di AS, tetapi dianggap tak cukup mempromosikan tulisan-tulisannya. Ia masih tertawa walau julukan ‘pembelot’ perang dingin dan hantu-hantu Stalin terus mengikuti hidupnya. “Tolong, tetaplah damai di hatimu. Saya hanya melakukan apa yang nurani saya perintahkan” demikian ia berpesan.
Sementara Alexandra memilih hidup. Dan entah kenapa ia bisa tetap hidup—satu-satunya pimpinan partai yang bergabung dalam gerakan oposisi yang dibiarkan hidup oleh Stalin. Di masa-masa kekuasaan Stalin, bunuh diri adalah keberanian demikian pula hidup. Memilih hidup bukannya hal yang mudah di masa itu.
Alexandra menulis pada Maxim Litvinov di tahun 1927 bahwa ia hanya bisa bilang belum bisa beradaptasi dengan iklim politik yang sama sekali berubah “kini tibalah musim gugur yang berkabut. Tak pernah kulihat orang-orang memandang kita dengan sangat curiga di sini.” Ia berhenti sama sekali menulis tentang gagasan-gagasan orisinilnya soal perempuan dan kelas, cinta dan seksualitas, setelah ia disingkirkan dari Zhenotdel—biro perempuan Partai Komunis Uni Sovyet—dan dituduh melakukan ‘penyimpangan’ feminis.
Zhenotdel dibubarkan tahun 1930, setelah dibentuk dengan susah payah dan dihadiri 1000 perempuan dari kampung dan pabrik-pabrik pada 1920. Hasil kerja kerasnya bersama Inessa Armand, selama bertahun-tahun menghadapi sinisme kawan-kawan lelaki pimpinan partai terhadap perjuangan dan kepentingan pengorganisasian perempuan secara khusus hancur. Hak-hak perempuan yang sebelumnya berhasil dimenangkan ditarik kembali: hak-hak para istri dan Ibu tunggal, hak bercerai, jaminan hukum terhadap homoseksual, dan layanan gratis penitipan anak bagi pekerja perempuan. Ia makin menjauh dari soal-soal perempuan.
“Hidup mengkonfrontasi kita dengan begitu banyak hal yang sangat sulit dimengerti”, demikian ungkapnya pada Isabel pada tahun 1936. Sehari setelah 8 Maret 1952, Alexandra meninggal. Cathy Porter mengenangnya sebagai yang tidak beruntung karena memiliki kekuatan luar biasa untuk bertahan dari berbagai hinaan.
Bila Svetlana mengatakan ia selalu akan menjadi seorang tahanan politik karena nama ayahnya, Alexandra menerimanya dengan sukarela “Sekarang saya menyerap lembar hidup sejarah.”
Rosa tak sempat mengalami semua situasi di latar Perang Dingin itu. Dia ditembak pada 15 Januari 1919. Polisi menjemputnya, ia kira akan dibawa kembali ke penjara—dan sedikit lega juga. Ia masuk mobil tanpa protes, dibawa ke markas tentara untuk diidentifikasi, lalu masuk kembali ke dalam mobil dan sesaat kemudian ditembak di kepala.
Dua bulan kemudian, Leo Jogiches—kekasihnya yang menurutnya begitu dingin dan tawar—dipukul sampai mati di barak tentara di pinggir kota. Orang-orang pembunuh mereka—yang direstui oleh pemerintah Jerman di bawah SPD—adalah anggota Freikorps, organisasi paramiliter ilegal yang empat belas tahun kemudian menjadi inti dari Storm Detachment/Assault Division (Divisi Penyerangan) yang berfungsi sebagai sayap paramiliter Nazi.
Dalam satu suratnya pada Leo, Rosa yang saat itu sedang bingung dan khawatir seperti seekor kelinci, berharap respon yang hangat dari pacarnya itu. Tetapi yang ia dapat hampir selalu seperti pamflet partai. Dingin dan tidak ekspresif, hanya berisi nasehat-nasehat politik, kritisisme dan instruksi. Rosa tak suka pelitnya emosi Leo terhadap kehidupan relasi mereka.
“Bilang sesuatu yang manis dong!” Kira-kira begitu ia mendamprat Leo. “Saat kubuka suratmu dan melihat ada enam lembar perdebatan tentang Partai Sosialis Polandia, tetapi tak satu katapun tentang… kehidupan sehari-hari, aku rasanya mau pingsan.”
Rosa memang mencintai kehidupan. Ia menginginkan segala hal: buku, musik, seks, seni, jalan-jalan sore di taman, juga revolusi. Mungkin karena itu juga mereka membunuhnya. Bagaimana mungkin mentoleransi seorang perempuan pemberani yang bergabung dan mendirikan tiga partai sosialis/komunis, berdiri paling depan menolak perang dunia, berbicara apa yang ada dalam hatinya, berpidato keliling kota, dan bahagia melihat beragam ekspresi orang-orang dan pekerja biasa yang kagum atau was-was pada setiap perkataannya.
Seorang sosialis, ujarnya, mesti menjadi manusia yang berempati sepanjang hidup revolusioner mereka. Kalau tidak, dunia macam apa yang mau mereka bangun? Untuk siapa mereka mengabdi? Dan bagaimana eksistensi kemanusiaan bisa menjadi lebih baik?
Pertanyaan Rosa di masa itu menjadi relevan puluhan tahun kemudian, ketika projek Sosialisme Eropa di bawah perang dingin menjadi semakin suram, muram dan kejam.
***
Mereka sudah hidup dengan berani, saya kira itu jawabannya.
Tidak, bukan berani yang melulu sanggup dan hebat dalam melawan “musuh”, melainkan juga mengakui dan dingin atas kemenangan “musuh” itu. Berani hidup dalam duka dan kekalahan yang panjang, dalam sepi yang ditinggalkan orang-orang terkasih, dengan pikiran yang tak pernah mau diam.
Svetlana tak perduli soal-soal revolusi. Ia membenci Rusia karena ‘revolusi’ yang ia saksikan dibawah pimpinan bapaknya, hanya melahirkan orang-orang yang tega dan saling curiga. Bagaimana perasaan seorang anak yang sangat berkuasa kemudian menjadi bukan siapa-siapa di bawah kepempinan Khrushchev yang terang-terangan mengkritik kebijakan bapaknya di tahun 1956?
Lana, dalam pernyataannya di kedutaan AS di India pada 1967 menuliskan: “hidupnya selalu sederhana saja, dan tetap demikian setelah ia (bapaknya) mati. Kematiannya pun sederhana. Ia tak mau dikunjungi Olga, putri satu-satunya yang ikut bersamanya. Ia tak mau Olga melihatnya seperti ia melihat Nadya terbujur di peti mati yang terbuka.
Sebelumnya ia sudah bilang sangat membenci stroke, dan berdoa pada Yang Kuasa agar memberinya serangan jantung saja. Setidaknya, katanya, bisa lebih cepat. Tetapi Lana menganggap dirinya selalu semacam pendosa, sehingga permohonannya hampir mustahil dipertimbangkan di “sana”.
Dalam refleksi di penghujung hidupnya, Alexandra mengenang: “Beragam periode berbeda dalam hidup saya ini benar-benar bertolak belakang satu sama lainnya, hingga rasanya seperti hidup di banyak kehidupan. Sama sekali bukan hidup yang mudah, apalagi nyaman.” Kita sama sekali bukan pahlawan, ujarnya, hanya percaya dengan penuh semangat dan gairah.
Tetapi, entah pelipur lara, penebusan atau harapan, ia bilang bahwa dunia tak pernah stagnan, selalu bergerak. Bentuk-bentuk kehidupan baru selalu muncul. “Sekarang saya ingin melihat kembali jalan yang telah dijejak oleh kemanusiaan, atau berlari ke depan pada masa depan yang indah dan menakjubkan dimana kemanusiaan akan berdiam, mengembangkan sayap-sayapnya dan berkata ‘Kebahagian! Kebahagiaan untuk semua orang!”
Dari kejauhan saya hanya bisa memandang mereka. Hidup memang perkara berani membuat pilihan, dan maju menghadapi setiap resikonya, sendiri maupun bersama-sama. Dan pilihan-pilihan itu samasekali bukan pilihan yang menenangkan. Pikiran-pikiran yang berisik tak tenang itu hanya akan hening ketika kematian datang.***
Kepustakaan:
Nicholas Thompson, My Friend, Stalin’s Daughter.
Pernyataan Svetlana di Kedutaan AS di India.
Vivian Gornick, History and Heartbreak: The Letters of Rosa Luxemburg
Jenni Morrison, Women on the left: Alexandra Kollontai
George Fish, Red Rosa: An Intimate Self Portrait
Cathy Porter, Alexandra Kollontai, a biography
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H