“Hidup mengkonfrontasi kita dengan begitu banyak hal yang sangat sulit dimengerti”, demikian ungkapnya pada Isabel pada tahun 1936. Sehari setelah 8 Maret 1952, Alexandra meninggal. Cathy Porter mengenangnya sebagai yang tidak beruntung karena memiliki kekuatan luar biasa untuk bertahan dari berbagai hinaan.
Bila Svetlana mengatakan ia selalu akan menjadi seorang tahanan politik karena nama ayahnya, Alexandra menerimanya dengan sukarela “Sekarang saya menyerap lembar hidup sejarah.”
Rosa tak sempat mengalami semua situasi di latar Perang Dingin itu. Dia ditembak pada 15 Januari 1919. Polisi menjemputnya, ia kira akan dibawa kembali ke penjara—dan sedikit lega juga. Ia masuk mobil tanpa protes, dibawa ke markas tentara untuk diidentifikasi, lalu masuk kembali ke dalam mobil dan sesaat kemudian ditembak di kepala.
Dua bulan kemudian, Leo Jogiches—kekasihnya yang menurutnya begitu dingin dan tawar—dipukul sampai mati di barak tentara di pinggir kota. Orang-orang pembunuh mereka—yang direstui oleh pemerintah Jerman di bawah SPD—adalah anggota Freikorps, organisasi paramiliter ilegal yang empat belas tahun kemudian menjadi inti dari Storm Detachment/Assault Division (Divisi Penyerangan) yang berfungsi sebagai sayap paramiliter Nazi.
Dalam satu suratnya pada Leo, Rosa yang saat itu sedang bingung dan khawatir seperti seekor kelinci, berharap respon yang hangat dari pacarnya itu. Tetapi yang ia dapat hampir selalu seperti pamflet partai. Dingin dan tidak ekspresif, hanya berisi nasehat-nasehat politik, kritisisme dan instruksi. Rosa tak suka pelitnya emosi Leo terhadap kehidupan relasi mereka.
“Bilang sesuatu yang manis dong!” Kira-kira begitu ia mendamprat Leo. “Saat kubuka suratmu dan melihat ada enam lembar perdebatan tentang Partai Sosialis Polandia, tetapi tak satu katapun tentang… kehidupan sehari-hari, aku rasanya mau pingsan.”
Rosa memang mencintai kehidupan. Ia menginginkan segala hal: buku, musik, seks, seni, jalan-jalan sore di taman, juga revolusi. Mungkin karena itu juga mereka membunuhnya. Bagaimana mungkin mentoleransi seorang perempuan pemberani yang bergabung dan mendirikan tiga partai sosialis/komunis, berdiri paling depan menolak perang dunia, berbicara apa yang ada dalam hatinya, berpidato keliling kota, dan bahagia melihat beragam ekspresi orang-orang dan pekerja biasa yang kagum atau was-was pada setiap perkataannya.
Seorang sosialis, ujarnya, mesti menjadi manusia yang berempati sepanjang hidup revolusioner mereka. Kalau tidak, dunia macam apa yang mau mereka bangun? Untuk siapa mereka mengabdi? Dan bagaimana eksistensi kemanusiaan bisa menjadi lebih baik?
Pertanyaan Rosa di masa itu menjadi relevan puluhan tahun kemudian, ketika projek Sosialisme Eropa di bawah perang dingin menjadi semakin suram, muram dan kejam.
***
Mereka sudah hidup dengan berani, saya kira itu jawabannya.