Keduanya bahkan tak berada di bawah bayang-bayang Lenin, yang juga tak percaya pada Stalin. Keduanya dikenal seringkali berseberangan dan mengkritik keras pikiran-pikiran Lenin. Hubungan keduanya walau pedas dengan oposisi dan debat, sekaligus hangat dalam gagasan revolusi sosialis.
Svetlana juga demikian. Lahir sebagai generasi setelah Rosa dan Alexandra, ia pun tak menyukai Stalin. Apalagi ketika pacarnya dikirim Stalin ke kamp kerja paksa Vorkuta. Tetapi Svetlana putri Stalin. Walau membencinya, ketika melihat jasad si bapak tergeletak tak berdaya, dia cukup terpekur juga. Ia bilang “tubuh yang telah memberi dia hidup itu tak lagi hidup dan bernafas, tetapi dirinya akan melanjutkan hidup.”
Ibunya, Nadya, seorang feminis yang mati bunuh diri. Sama seperti neneknya Olga pernah katakan, seharusnya memang Nadya tidak pernah menikah dengan bapaknya yang lebih tua 22 tahun. Svetlana setuju. Walau artinya, ia tak akan ada di dunia.
Tetapi Lana, panggilannya kemudian setelah puluhan tahun menjadi warga negara AS, tak marah atas pilihan kematian Nadya. Ia semacam paham luka Ibunya. Mereka berdua (Stalin dan Nadya) memang dua makhluk yang bertolak belakang. Walau semestinya ada solusi lain selain bunuh diri, tetapi Lana mengenang memang masa-masa itu—1920an sampai awal 1930an—bunuh diri cukup trendi jadi sarana ekspresi oposisi terhadap apa yang terjadi Uni Sovyet.
Nadya menato dadanya dengan simbol hati berwarna hitam. Ia bilang “disinilah jiwa itu berada.” Disitulah ia tembakkan peluru bunuh dirinya. Saya jadi ingat Mayakovski yang juga mati bunuh diri dengan tembakan di dada.
Lana tidak mau sejarah hanya mengingat Nadya karena cara kematiannya. Ia minta pada Nicholas Thompson, editor The New Yorker, untuk menulis tentang politik Ibunya sebagai seorang feminis. Lana bersikeras, bahkan tindakan bunuh dirinya dapat dianggap sebagai keberanian politik dimasa itu, bukannya lari dari tanggung jawab.
Lana boleh dianggap bukan revolusioner. Bahkan putrinya, Yekatarina, sama sekali tak memaafkannya. Ia tak mau menemui Lana yang baru berkunjung ke Rusia setelah puluhan tahun. Ia tak akan memaafkan, tak pernah dapat memaafkan, dan tak mau memaafkan. Svetlana dituduh berdosa secara moral karena meninggalkan Rusia dan tanah airnya.
Lana lanjutkan hidupnya. Terus menulis dan berdebat dengan Kennan yang telah membantunya selama di AS, tetapi dianggap tak cukup mempromosikan tulisan-tulisannya. Ia masih tertawa walau julukan ‘pembelot’ perang dingin dan hantu-hantu Stalin terus mengikuti hidupnya. “Tolong, tetaplah damai di hatimu. Saya hanya melakukan apa yang nurani saya perintahkan” demikian ia berpesan.
Sementara Alexandra memilih hidup. Dan entah kenapa ia bisa tetap hidup—satu-satunya pimpinan partai yang bergabung dalam gerakan oposisi yang dibiarkan hidup oleh Stalin. Di masa-masa kekuasaan Stalin, bunuh diri adalah keberanian demikian pula hidup. Memilih hidup bukannya hal yang mudah di masa itu.
Alexandra menulis pada Maxim Litvinov di tahun 1927 bahwa ia hanya bisa bilang belum bisa beradaptasi dengan iklim politik yang sama sekali berubah “kini tibalah musim gugur yang berkabut. Tak pernah kulihat orang-orang memandang kita dengan sangat curiga di sini.” Ia berhenti sama sekali menulis tentang gagasan-gagasan orisinilnya soal perempuan dan kelas, cinta dan seksualitas, setelah ia disingkirkan dari Zhenotdel—biro perempuan Partai Komunis Uni Sovyet—dan dituduh melakukan ‘penyimpangan’ feminis.
Zhenotdel dibubarkan tahun 1930, setelah dibentuk dengan susah payah dan dihadiri 1000 perempuan dari kampung dan pabrik-pabrik pada 1920. Hasil kerja kerasnya bersama Inessa Armand, selama bertahun-tahun menghadapi sinisme kawan-kawan lelaki pimpinan partai terhadap perjuangan dan kepentingan pengorganisasian perempuan secara khusus hancur. Hak-hak perempuan yang sebelumnya berhasil dimenangkan ditarik kembali: hak-hak para istri dan Ibu tunggal, hak bercerai, jaminan hukum terhadap homoseksual, dan layanan gratis penitipan anak bagi pekerja perempuan. Ia makin menjauh dari soal-soal perempuan.