19 April 2015
Harian Indoprogress
MAJELIS Hakim PTUN Semarang kalahkan gugatan warga Rembang dengan alasan sederhana: gugatan kadaluarsa karena diajukan lebih dari 90 hari. Siti Zaenab dan Karni binti Medi Tarsim, warga Indonesia terpidana mati yang bekerja di Saudi, dipancung tanpa kabar, tak berjeda sehari. Pemerintah tak berdaya, mereka hanya bilang kesalahan Karni terlalu berat. Retno Listyarti, Kepala Sekolah SMA 3, juga Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menolak kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hendak menerapkan penilaian indeks integritas sekolah, diancam pecat karena tidak disipilin.
Lalu orang-orang bertanya: ‘Negara kemana?’ ‘Hukum berpihak pada siapa?’
Negara ada. Dan saat ini sedang berparade di Konferensi Asia Afrika, menjual sumber daya alam dan tenaga kerja dalam Asia Afrika Business Summit dan World Economic Forum. Hukum juga ada, dan akan berpihak pada penguasa atau publik tergantung besaran tekanan kuasa uang atau tekanan politik publik.
Protes sabar Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, dukungan netizen serta aksi-aksi solidaritas berbagai komunitas yang meluas, belum cukup memaksa Negara dan hukum membela warga. Demikian pula ratusan surat, berbagai petisi dan rangkaian aksi membela buruh migran Indonesia di luar negeri, serta berbagai kampanye menolak hukuman mati di dalam negeri, belum berhasil membuat Negara, minimal perangkat-perangkat hukumnya, berpihak pada tuntutan warga. Ini bukan kejadian satu dua kali. Sudah berlangsung lama dan berkali-kali.
Kekalahan demi kekalahan juga hadir ditengah beberapa kemenangan, walau kecil. Dicabutnya UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh MK adalah salah satu kemenangan itu. Disebut kecil karena segera setelahnya Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan “Tak perlu gelisah, BKPM dan pemerintah sedang menyiapkan aturan baru sebagai payung hukum.” Dan payung yang dimaksud adalah komitmen Negara untuk memberikan jaminan kelanjutan investasi di sektor tersebut.
Bukan karena kecilnya kemenangan lantas perjuangan sia-sia. Tantangan kita adalah mengelola kemenangan kecil menjadi kekuatan untuk kemenangan besar. Kemenangan kecil itu sangat penting karena kita sedang ada dalam posisi terdesak. Namun, celakanya untuk mencapai yang kecil itu pun dibutuhkan perjuangan besar. Dan perjuangan besar berarti kekuatan sosial politik yang juga besar, tak saja dalam hal jumlah tetapi dukungan, efek viral, dan sejauh mana ia sanggup memaksa penguasa berubah pikiran.
Kita sedang terus didesak untuk bertahan, dengan respon-respon persoalan jangka pendek mendesak. #Save ini dan #Save itu adalah wujud banyaknya persoalan darurat publik yang tak bisa dipilih dan dibanding-bandingkan tingkat urgensinya satu sama lain. Semuanya hanya merujuk ke satu hal: Negara dan sistem pro-kapital yang sedang berjalan ini sudah rusak, tubuhnya dipenuhi parasit yang hidup dari darah manusia.
Dengan tubuh seperti itu ia tambah tambun, duduk tenang dan semakin malas saja di sana. Kita hidup di dalam tubuh yang sama. Jika tubuh itu tidak diselamatkan, kita ikut mati bersamanya. Itulah saja fungsi berbagai cara perjuangan mempertahankan hak hidup di dalam tubuh Negara yang rusak ini: kita tidak mau mati. Semua obat-obatan dan cara untuk bertahan hidup dari serangan kapital dibutuhkan, dari yang modern berteknologi tinggi sampai tradisional. Semua keringat yang keluar dari perjuangan itu dan eksperimentasinya adalah tambahan kekuatan untuk melindungi hak-hak azasi kita.
Inilah tubuh masyarakat kapitalis dimana kita hidup. Kita tidak bisa memilih tubuh lain untuk bisa hidup bahagia sentosa. Darah yang mengaliri liku-liku pembuluh darah dalam tubuh ini adalah totalitas hidup seluruh relasi sosial. Sehingga menjelaskan masyarakat kapitalis hanya dalam wujud ekstraksi nilai-lebih seperti menjelaskan anatomi tubuh hanya melalui mekanisme jantung bekerja.
Kapitalisme adalah totalitas hidup seluruh relasi sosial, dimana relasi kelas adalah demarkasi yang membuat keterbatasan dan mempengaruhi semua bentuk hubungan lainnya. Di sana kita temukan relasi kuasa terkait gender, orientasi seksual, ras, kebangsaan, dan agama, dan semua diarahkan untuk melayani akumulasi kapital dan reproduksinya, yang seringkali pula dalam cara yang beragam, tak terduga dan kontradiktif. (Arruza: 2013)
Ibu Sukinah, Siti Zaenab, Karni, dan Retno adalah orang-orang kesekian yang dengan berani membuka wajah asli sistem ini, memperlihatkan parasit-parasit yang hidup di tubuhnya. Perempuan-perempuan ini, di tengah barisan laki-laki, maju mengambil tindakan, memperlihatkan bobroknya sistem hukum dan birokrasi, serta pada kepentingan apa keduanya berpijak.
Kita membutuhkan semakin banyak Sukinah dan Retno, yang berani tegak muka pada kuasa. Kita perlu menyelamatkan 228 jiwa BMI agar tak bernasib sama dengan Siti Zaenab dan Karni, sehingga kita mesti menolak eksekusi mati pada setidaknya 133 orang terpidana mati di negeri ini.
Kita tidak lupa sudah lama kecewa pada kekuasaan, sudah berkali-kali dikecewakan oleh para penguasa. Tetapi hidup kita masih ditentukan oleh mereka di dalam aliran darah yang penuh penyakit itu. Kita belum berhenti mencari obatnya, karena tak satupun kita bisa hidup dengan tubuh yang lain: kita tak punya kemewahan untuk merencanakan pindah ke planet baru.
Sehingga Negara bukannya tidak ada, ia ada dan baik-baik saja, apalagi dilindungi hukum, tentara bersenjata, dan penjara. Ia tak bisa dianggap tiada, karena setiap hari memproduksi parasit, kontradiksi, peluang, konflik, dan berbagai kejutan lainnya dari totalitas relasi sosial yang mengaliri darahnya. Kadang kejutan-kejutan itu membuat lelah dan jengah, tetapi juga tak sedikit harapan dan kesempatan. Dalam situasi itulah mayoritas orang memilih Jokowi di pemilu lalu. Dan kini berbagai kenyataan telah menunjukkan bahwa Jokowi tak bisa jadi obat untuk seluruh parasit itu.
Tak seharusnya kita jadikan Jokowi obat, karena ia hanyalah cermin dari carut marutnya Negara kapitalis bernama Indonesia ini. Sejak awal Jokowi adalah simbol, mengutip istilah seorang teman, “kekacauan yang bebas”. Dan pilihan itu lebih baik ketimbang “penindasan (otoriter) yang teratur”. Kita tidak ingin keduanya, tetapi untuk punya pilihan ketiga butuh perimbangan kekuatan yang lebih besar.
Ketika kita belum sanggup jadi ancaman negara pembela kapital dengan penyatuan kekuatan perjuangan, atau ketika antibodi belum bisa menghentikan parasit, maka negara parasit akan baik-baik saja memanajemeni semua konflik dan kontradiksi di tubuhnya untuk kepentingan kelas berkuasa. Artinya, tak perlu malu mengakui bahwa kita baru sanggup melawan untuk bertahan, belum untuk menyerang. Kita sedang berperang posisi, belum berperang manuver.
Sehingga, seperti selalu, jari telunjuk lebih banyak diarahkan pada kekuatan kita sendiri: sejauh mana kita sudah berupaya mengonsolidasikan berbagai capaian yang ada, menguji agenda bersama, alih-alih menjadi ancaman serius bagi negara kapitalis bernama Indonesia? Bagaimana agar warna warni ekspresi darurat hak-hak rakyat ini menjadi barisan kekuatan yang sanggup memaksa rezim neoliberal terdesak dan mundur?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H