12 Januari 2015
SEBELUM yang lain-lain, berdukalah atas penembakan awak redaksi Charlie Hebdo, Paris, pada 7 Januari lalu. Duka ini tidak melulu mesti dimulai dengan persetujuan atau ketidaksetujuan atas apa yang dimuat Charlie, apalagi dengan meributkan jarak geografis antara peristiwa tersebut dan negeri sendiri. Seperti membantu orang tua menyeberang jalan, atau orang kecelakaan, kita menolong tanpa tanya asal kelas, suku, agama, ras atau negara mereka.
Tak jauh di depan tampak horor sedang berlangsung. Penembakan ini sedang menyulut segala potensi, baik yang sejak lama mengendap maupun tengah meluap akibat kondisi ekonomi-politik imperialisme zaman ini, yang melipatgandakan kebencian pada Muslim di satu sisi, dan kemarahan pada Barat yang dianggap ‘kafir’ di sisi lain.
Komunitas muslim imigran di Perancis sedang terancam. Tagar #killallmuslims jadi trending topik pada malam setelah penembakan. Front Nasional, partai sayap kanan Perancis, memanfaatkan situasi dengan menyebar kebecian pada imigran dan muslim. Sementara, di saat yang sama, tidak sedikit koran-koran di negeri-negeri mayoritas pemeluk Islam seperti Lebanon, Qatar, Mesir, justru mengeluarkan kartun yang justru bersolidaritas pada korban penembakan Charlie; New Anti Capitalist Party (NPA) Perancis mengutuk penembakan Charlie sekaligus bersolidaritas turun ke jalan melawan propaganda Front Nasional.
Melalui Charlie kita diajak untuk memahami dunia, memahami siapa kita. Gambar, buku, seperti halnya pikiran, sejahat apapun pesannya, tidak membunuh. Bukan pikiran dan karya yang membunuh, tetapi orang dan kebijakan. Sehingga kematian datang tanpa diundang, mencabut nyawa hanya karena seseorang memiliki sikap, kehendak, keyakinan, perkataan, pakaian yang berbeda.
Oleh karena itu duka ini penting, duka ini politis, menanggapi setiap ruas dampak kemanusiaan yang dihasilkan oleh ketimpangan ekonomi, okupasi wilayah, kebencian atas ras, agama, suku, gender dan orientasi seksual yang berbeda, pemaksaan ideologi, keyakinan dan kepercayaan. Duka ini penting untuk membasuh kemanusiaan dan keadaban kita yang dari hari ke hari semakin tergerus oleh zaman yang menempatkan manusia sekadar sebagai pasar dan umat yang pasif; bumi sebagai barang dagangan; dan relasi keduanya diatur melalui ‘kebebasan’ di dalam kuasa eksploitasi, ketimpangan, persaingan dan penaklukkan.
Kita tidak percaya pada kebebasan berekspresi yang berlaku di atas penghancuran hak berekspresi dan hak berkehidupan yang layak bagi mayoritas rakyat, tetapi kita akan pertahankan setiap jengkal hak berekspresi tersebut sebagai titik berangkat merebut hak yang sama bagi seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Itulah landasan kita lalu menoleh pada Papua. Dalam duka yang sama, di dunia dan zaman yang sama, kematian lebih dari 100.000 jiwa sejak 1963 tidak masuk berita, keberadaan 66 tahanan politik tak diakui negara, kematian karena sakit dan ditembak adalah kabar biasa. Melaluinya kita diajak memahami Indonesia, memahami siapa kita.
Sudah satu bulan berlalu sejak kematian 4 adik, anak, kakak dan kawan kita di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014. Mereka ditembak, dan mati dalam seragam SMA. Bukan karena tawuran atau overdosis narkoba, melainkan karena ikut Waita, mendatangi kantor polisi, meminta penjelasan aparat atas pemukulan remaja yang terjadi pada malam sebelumnya. Mereka dikubur pada hari yang sama dalam satu lubang.
Jokowi datang ke Jayapura dengan topi burung di kepala, berpidato di lapangan Mandala, pada 27 Desember 2014. Penyesalan dilontarkannya setelah 20 hari berlalu bungkam seribu basa. Ia bilang, tak boleh lagi ada kekerasan di Papua, sementara disaat yang sama Kodam baru di Manokwari akan segera dibangun dan deployment pasukan ditambah.
Beberapa hari kemudian, dua orang polisi dan seorang satpam PT. Freeport ditembak entah oleh siapa. Kapolda segera menuduh pelaku adalah salah satu Organisasi Papua Merdeka. Ia memerintahkan 1576 personil memburu apa yang ia sebut sebagai ‘kelompok Ayub Waker’, di Desa Utikini, Timika. ‘Serahkan diri atau saya kejar sampai neraka,’ ancam Kapolda. Rupa-rupanya neraka tak terlalu jauh: 6000 warga Utikini hingga Towekima, Tembagapura, Timika, dipaksa mengungsi menyelamatkan diri, sebagian diantaranya ‘diamankan’.
Pagi kemarin, masih di Timika, seorang remaja SMA, Jerri Nawipa, ditembak lagi. Menurut informasi, pelakunya adalah Brimob yang menembak hanya karena perseteruan ketika makan bakso.
Apa sebetulnya yang dimaksud Jokowi dengan ‘menghentikan kekerasan,’ di saat satu-satunya mesin kekerasan paling kuat di negeri ini, tentara dan polisi, adalah lembaga yang paling tidak akuntabel dan besar oleh impunitas? Papua adalah salah satu fondasi Indonesia Orde Baru sejak 1969, yang dibangun melalui hegemoni anti-komunisme dan anti-separatisme. Dan militer Indonesia adalah pilar penegak hegemoni ini. Papua menjadi daerah operasi militer dari 1963 sampai 1996/1997, sementara operasi-operasi tanpa status terus terjadi hingga sekarang.
Hasilnya, apakah Papua telah menjadi kita? Tidak. Papua tidak pernah menjadi kita. Karena orang Papua lahir, besar, dan hidup dalam memori kekerasan, kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi sosial dan ekonomi. Orang Papua selalu jauh dari kita, karena memori kita yang juga dibangun atas fondasi yang sama: anti-separatisme dan anti-komunisme.
Tanpa perlu mengerti kenapa, kita diajak menjauh dari orang-orang ‘komunis’ dan ‘separatis.’ Orang-orang Papua semakin seperti migran di tanah Jawa. Mahasiswa semakin sulit mencari tempat tinggal, dicap pemabuk, terbelakang, tukang bikin onar, separatis bahkan ancaman. Aparat mendatangi pemilik-pemilik rumah, memperingatkan RT/RW bahwa ‘Papua Bukan Kita.’ Media-media arus utama memberitakan kekerasan sebagai hal lumrah, bersumber hanya dari aparat keamanan.
Inilah yang tidak kita bicarakan ketika kita membicarakan Papua: sejauh mana kita sudah ikut berduka dan mengasah kemanusiaan dan solidaritas kita?
Jumlah orang-orang asli Papua yang semakin menyusut, kematian yang datang semakin cepat, kerusakan mental yang menyerang sistematis–tak lagi ada yang peduli, selagi Raja Ampat masih indah dan PT. Freeport berdiri gagah. Sementara itu, ketika sebagian orang Papua mengibarkan bendera meminta merdeka, tiba-tiba darah kita dibuat mendidih tanpa sebab jelas; seakan-akan sepiring nasi dan seribu-duaribu rupiah di kantong terkuras ketika bintang kejora dikibarkan.
Kita harus berjuang lebih keras dan belajar menyayangi lagi dan lagi, supaya kematian demi kematian tak bertambah, lalu digunakan untuk memelihara kebencian, prasangka SARA dan pemangkasan kebebasan warga. Perang para aparat negara bukan perang kita. Nasionalisme para penguasa bukan nasionalisme kita. Nasionalisme kita tidak membunuh rakyat Papua, karena Papua Itu Kita.***
Â
PS. Jika Anda ingin pemerintah menyelesaikan secara tuntas kasus Paniai Berdarah, silakan tanda tangan petisi berikut ini: Komnas HAM bentuk KPP HAM Paniai Berdarah 8 Desember 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H