Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Percaya Pada Kemanusiaan dan Solidaritas

19 Maret 2016   10:32 Diperbarui: 19 Maret 2016   11:12 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari kemudian, dua orang polisi dan seorang satpam PT. Freeport ditembak entah oleh siapa. Kapolda segera menuduh pelaku adalah salah satu Organisasi Papua Merdeka. Ia memerintahkan 1576 personil memburu apa yang ia sebut sebagai ‘kelompok Ayub Waker’, di Desa Utikini, Timika. ‘Serahkan diri atau saya kejar sampai neraka,’ ancam Kapolda. Rupa-rupanya neraka tak terlalu jauh: 6000 warga Utikini hingga Towekima, Tembagapura, Timika, dipaksa mengungsi menyelamatkan diri, sebagian diantaranya ‘diamankan’.

Pagi kemarin, masih di Timika, seorang remaja SMA, Jerri Nawipa, ditembak lagi. Menurut informasi, pelakunya adalah Brimob yang menembak hanya karena perseteruan ketika makan bakso.

Apa sebetulnya yang dimaksud Jokowi dengan ‘menghentikan kekerasan,’ di saat satu-satunya mesin kekerasan paling kuat di negeri ini, tentara dan polisi, adalah lembaga yang paling tidak akuntabel dan besar oleh impunitas? Papua adalah salah satu fondasi Indonesia Orde Baru sejak 1969, yang dibangun melalui hegemoni anti-komunisme dan anti-separatisme. Dan militer Indonesia adalah pilar penegak hegemoni ini. Papua menjadi daerah operasi militer dari 1963 sampai 1996/1997, sementara operasi-operasi tanpa status terus terjadi hingga sekarang.

Hasilnya, apakah Papua telah menjadi kita? Tidak. Papua tidak pernah menjadi kita. Karena orang Papua lahir, besar, dan hidup dalam memori kekerasan, kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi sosial dan ekonomi. Orang Papua selalu jauh dari kita, karena memori kita yang juga dibangun atas fondasi yang sama: anti-separatisme dan anti-komunisme.

Tanpa perlu mengerti kenapa, kita diajak menjauh dari orang-orang ‘komunis’ dan ‘separatis.’ Orang-orang Papua semakin seperti migran di tanah Jawa. Mahasiswa semakin sulit mencari tempat tinggal, dicap pemabuk, terbelakang, tukang bikin onar, separatis bahkan ancaman. Aparat mendatangi pemilik-pemilik rumah, memperingatkan RT/RW bahwa ‘Papua Bukan Kita.’ Media-media arus utama memberitakan kekerasan sebagai hal lumrah, bersumber hanya dari aparat keamanan.

Inilah yang tidak kita bicarakan ketika kita membicarakan Papua: sejauh mana kita sudah ikut berduka dan mengasah kemanusiaan dan solidaritas kita?

Jumlah orang-orang asli Papua yang semakin menyusut, kematian yang datang semakin cepat, kerusakan mental yang menyerang sistematis–tak lagi ada yang peduli, selagi Raja Ampat masih indah dan PT. Freeport berdiri gagah. Sementara itu, ketika sebagian orang Papua mengibarkan bendera meminta merdeka, tiba-tiba darah kita dibuat mendidih tanpa sebab jelas; seakan-akan sepiring nasi dan seribu-duaribu rupiah di kantong terkuras ketika bintang kejora dikibarkan.

Kita harus berjuang lebih keras dan belajar menyayangi lagi dan lagi, supaya kematian demi kematian tak bertambah, lalu digunakan untuk memelihara kebencian, prasangka SARA dan pemangkasan kebebasan warga. Perang para aparat negara bukan perang kita. Nasionalisme para penguasa bukan nasionalisme kita. Nasionalisme kita tidak membunuh rakyat Papua, karena Papua Itu Kita.***

 

PS. Jika Anda ingin pemerintah menyelesaikan secara tuntas kasus Paniai Berdarah, silakan tanda tangan petisi berikut ini: Komnas HAM bentuk KPP HAM Paniai Berdarah 8 Desember 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun