dan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yang menyatakan:
“Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara Terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.”
Dari putusan-putusan tersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.
Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan Nomor 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan Mahkamah Nomor 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), Putusan Mahkamah Agung Nomor 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), Putusan Mahkamah Agung Nomor 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).
Contoh-Contoh Perkara Penipuan
Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.
Mungkin masih ada yang bingung, mengenai bagaimana menentukan itikad buruk dalam suatu perjanjian apakah hanya sebatas jika ada satu pihak dari pihak saja yang melaksanakan kewajibannya atau bagaimana? Mengutip Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Permasalahan Itikad Buruk Menentukan Ranah Perdata atau Ranah Pidana, menyatakan bahwa itikad buruk dapat dilihat dengan cara satu di antara pihak menggunakan modus perjanjian, sebagai alasan menghindari tanggung jawab Pidana.
Apa maksudnya? Dalam perkara pidana yang di dalamnya mengandung terdapat suatu ikatan perjanjian penyelesaiannya memang masuk dalam ranah perdata. Akan tetapi penyelesaiannya dilakukan secara kasuistis, (sebagai bentuk standar menentukan adanya itikad baik atau itikad buruk sebagai alasan baginya menghindari tanggung jawab pidana) karena tidak semua perkara pidana yang mengandung suatu ikatan perjanjian (dapat serta merta) diselesaikan dalam ranah perdata, apabila dapat dibuktikan ada unsur itikad buruk, dengan sengaja untuk memiliki dengan melawan hukum maka masuk dalam ranah pidana.
Penipuan sendiri merupakan alasan yang dapat untuk membatalkan suatu persetujuan (atau perikatan itu sendiri), bila penipuan itu digunakan oleh salah satu pihak sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan penjajian itu tanpa adanya tipu muslihat, dan unsur-unsurnya juga tidak hanya dapat dikira-kira namun harus dibuktikan itu tertuang dalam Pasal 1328 KUHPerdata.
Pandangan ini juga terdapat dalam putusan Mahkamah AgungNomor 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yangmenyebutkan bahwa:
“Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikat buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.”