Mohon tunggu...
Eka Kurnia Chrislianto
Eka Kurnia Chrislianto Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Advocate, Lawyer, Legal Consultant, Corporate Lawyer, Civil Law Lawyer, Land and Property Law, Marital, Divorce Dissolutions, and Inheritance Law, Criminal Law, etc. Kunjungi juga: https://kumparan.com/eren-jager dan https://zefilosofi.medium.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi: Pelindung Mayoritas atau Alat Penindas Minoritas?

11 Oktober 2021   20:47 Diperbarui: 11 Oktober 2021   20:50 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit pengantar, seorang Gubernur Yudea Pontius Pilatus berkata kepada Yesus, "Jadi apakah kau seorang raja orang Yahudi? Yesus menjawab, "kamu berkata begitu: Aku adalah raja. Saya dilahirkan dan saya datang ke dunia, hanya untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Siapa pun yang akan dibenarkan jika mendengarkan suaraku." 

Pilatus kembali bertanya pada Yesus, "apakah kebenaran itu?" 

Kemudian, dengan kata itu dia pun keluar lagi dan pergi ke orang-orang Yahudi, dan berkata kepada mereka: "Aku tidak menemukan alasan untuk menghukumnya. Tetapi, karena ada kebiasaan bagi Anda bahwa untuk melepaskan seseorang saat Paskah maka aku akan membuat pilihan pada Anda semua," ujar Pilatus.

"Apakah Anda ingin saya melepaskan Raja orang Yahudi ini untuk Anda? Atau seorang penjahat yang bernama Barabbas. Mereka berteriak lagi, berkata, "bukan dia, tapi Barabbas!" Barabbas adalah seorang bajingan dan Terpidana Pembunuhan Kejam. 

Muncul pertanyaan dari refleksi kisah dari New Testament di atas, sekaligus saya anggap ada sebuah kesalahpahaman yang harus diluruskan dan harusnya kita kembali melihat ke belakang mengenai apa sih demokrasi itu? 

Apakah fenomena di atas itu juga yang disebut dengan Demokrasi? 

Demokrasi itu dalam bentuknya yang paling murni atau sejatinya menangkap kegembiraan mayoritas yang menang seperti halnya ada ketakutan terhadap mereka yang minoritas yang suaranya akan menghilang atau tidak dihitung sama sekali. 

Orang Yunani Kuno tahu ini dengan baik. Demikian juga oleh para founding fathers US. 

Demokrasi sebagai tipe rezim tidak lain adalah wahana demagog. Karena keberfungsian demokrasi dengan sangat baik ia adalah penghasutan murni nan sederhana. Lalu pertanyaannya apakah itu masalah? Belum sampai ke pertanyaan ini, cuma untuk demokrasi saya memang lebih suka mengutip Popper. 

Baik dalam "all life is problem solving" dan "the lesson of this century" paling tidak Popper menganggap bahwa suatu rezim demokratis terjadi ialah jika memungkinkan warga negara (Popper tidak bilang rakyat, karena akan beda lain maksud dan maknanya) untuk mengontrol para pemimpinnya dan juga untuk membebaskan mereka dari tanggung jawabnya tanpa menggunakan kekerasan. 

Lebih lanjut menurut Popper, dalam demokrasi, masalahnya bukan "siapa yang harus memerintah" tetapi "bagaimana mencegah mereka yang memiliki kekuatan itu untuk menyalahgunakannya,"

Setiap orang memiliki kekuatan dan kewajiban untuk menilai pemimpin, tetapi tidak mungkin bagi setiap orang untuk memimpin pada saat yang sama. Ini kemudian yang tidak asing kita kenal dengan istilah"primus inter pares" (pertama dan/atau utama dari yang sama).

Jean-Jacques Rousseau menganggap, misalnya, bahwa demokrasi hanya bisa bersifat langsung : "kedaulatan tidak dapat diwakili, dengan alasan yang sama bahwa demokrasi tidak dapat diasingkan; pada dasarnya terdiri dari kehendak umum dan kehendak umum tidak mewakili dirinya sendiri." 

Saat mengatakan "rakyat" ada perbedaan yang dibuat antara gagasan "rakyat" dan gagasan "warga negara" lebih ketatnya: tidak semua anggota rakyat secara otomatis adalah warga negara. Pada zaman kuno, kewarganegaraan di era Romawi diberikan oleh Senat Romawi ke kota-kota atau seluruh rakyat tanpa terkecuali selama berada di wilayah mereka. 

Di Prancis dan di Eropa Utara, kewarganegaraan kota-kota itu hanya disebut juga borjuis. Namun, dengan adanya Revolusi Prancis, istilahnya diganti menjadi warga negara secara resmi menggantikan istilah borjuis, kemudian diperluas ke seluruh negeri: kami mulai berbicara tentang warga negara Prancis bukan dalam bangun ruang borjuis. 

Selain itu ada yang namanya "kedaulatan rakyat" dan "kedaulatan bangsa atau kedaulatan nasional".  Dengan definisinya di sini dimaknai bahwa kedaulatan rakyat terletak pada rakyat, yaitu semua yang sudah dianggap sebagai warga negara saat ini. 

Kedaulatan rakyat mengimplikasikan hak pilih universal (walaupun JJ Rousseau tidak menentang penggunaan lotere dalam demokrasi), karena setiap individu memiliki bagian kedaulatan. 

Dalam teori klasik, kedaulatan rakyat diterjemahkan menjadi cita-cita demokrasi langsung (karena itu prinsip kedaulatan rakyat pada awalnya justru sangat tidak demokratis, tetapi aristokratis: pelaksanaan demokrasi langsung karenanya yang lebih penting daripada partisipasi dari semua warga negara untuk urusan publik untuk mempromosikan kebaikan bersama). 

Hal ini ditegaskan oleh teori kekuasaan negara pada akhir abad ke-19, yang dikembangkan oleh Maurice Hauriou, yang melihat pelaksanaan demokrasi langsung di pemilu dari Presiden untuk hak pilih secara universal. 

Bagi Rousseau, "kedaulatan rakyat" diterjemahkan menjadi konsentrasi kekuasaan di tangan rakyat, pengambilan keputusan oleh demokrasi langsung dengan pemilihan "petugas" yang sederhananya mereka yang akan menjalankan kekuasaan atas namanya". 

Ada yang nanti disebut mandat imperatif terkait dengan gagasan kedaulatan rakyat yang didefinisikan oleh Rousseau. Kedaulatan rakyat menentang kedaulatan nasional. Dalam rezim politik yang telah memilih kedaulatan nasional, pejabat terpilih memegang mandat perwakilan, dan oleh karena itu membiarkan diri mereka untuk mewakili seluruh bangsa. 

Sebaliknya, dalam kasus kedaulatan rakyat, pejabat terpilih memegang mandat imperatif dan hanya mewakili pemilih yang memilih mereka. Bisakan melihat apa bedanya? 

Sebagian besar rezim politik (warga negara) saat ini memberikan kedaulatan nasional pada wakil-wakil yang mereka pilih, dan karenanya menolak mandat imperatif. 

Apakah Demokrasi Mayoritas dan Populisme Buruk?

Sedikit mengenai populism dan terkait fenomena di kebanyakan negara dunia ketiga. Terutama untuk di Indonesia, kebanyakan mereka yang ada di sini (apalagi yang "kiri") tentu sulit rasanya untuk menjadi liberal, kenapa? Mengingat, Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, mereka yang pernah ada di jalan cari batu dan lempar gedung parlemen di Argentina. 

Mereka yang punya jejak historis dengan politik authoritarian (hari ini banyak aktivis kum philosopher kum teoritis hari ini), mereka ini tidak mungkin menjadi liberal dan pasti pro-demokrasi. Tapi kesulitan dari mereka ini, mereka ingin dasarkan ulang perubahan itu pada design deterministik dari Marxism tetapi kemudian ia bertemu dengan rasionalitas Eropa yang sinis terhadap segala sesuatu yang deterministik apalagi yang diajukan oleh Marx. Di UK atau di Eropa secara keseluruhan ingin debat rasional itu dihasilkan di parlemen, bukan dengan duel sentimen di jalan. 

Bisa menjadi konsekuensi yang tidak diinginkan dari demokrasi dimana mayoritas demokratis bertindak menindas minoritas jika demokrasi tidak disertai dengan pengakuan hak-hak tertentu untuk melindungi kaum minoritas. Risiko-risiko ini telah disebutkan secara khusus oleh para pemikir liberal disebut dengan Tirani Mayoritas. 

Alexis de Tocqueville contohnya, pernah membahas tentang risiko tirani mayoritas atau "despotisme mayoritas". Demokrasi secara alami cenderung memusatkan semua kekuatan sosial di tangan badan legislatif. Ini menjadi kekuatan yang paling langsung berasal dari orang-orang ini, yang juga paling banyak berpartisipasi dari hegemoniknya. 

Karena itu kita bisa memperhatikan dalam diri kita sendiri bahkan kecenderungan kebiasaan yang menuntun diri sendiri untuk menyatukan semua jenis otoritas menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Konsentrasi dari kekuatan ini, pada saat yang sama justru sangat merusak perilaku yang baik, kemudian menjadi despotisme mayoritas. Ini kenapa menurut Penulis saat membaca soal lintasan teori orasi populisme Ernesto Laclau dari karya awalnya di tahun 1970-an hingga pandangannya saat ini. 

Walaupun pendekatan formal Laclau pada wacana populis merupakan kemajuan substansial dalam teorisasi konsep yang sulit dipahami ini, akan dikemukakan bahwa refleksi-refleksinya yang baru tentang populisme dapat ditafsirkan sebagai indikasi batas-batas pendekatan 'formalis'. Antinomi 'formalisme' ini akan diterangi melalui pertemuan dengan mobilisasi neo-populis. 

Mengacu pada Cas Mudde dan Cristobal Rovira Kaltwasser yang mendiskusikan peran populisme itu sangat berperan penting dalam memburuknya demokrasi (liberal) dan memberi jalan bagi kebangkitan demokrasi yang tidak liberal. 

Mudde dan Kaltwasser pernah berpendapat bahwa populisme - walaupun dikelilingi oleh konotasi negatif - ia tetap bersifat demokratis, karenanya ia memberikan suara kepada rakyat dan sangat mengikuti gagasan pemerintahan secara mayoritas. 

Singkatnya, demokrasi menjanjikan pemerintahan oleh mayoritas sementara nilai-nilai liberal (yang nanti masuk dalam demokrasi) menjanjikan perlindungan terhadap minoritas. Lucu kan ya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun