Mohon tunggu...
Zefanya Stephanie Bramantya
Zefanya Stephanie Bramantya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Coffee Addict

Seorang mahasiswa yang tertarik mengulik topik tertentu dengan media tulisan. Sudah sejak lama menjadikan kebiasaan menulis sebagai hobi, berharap dapat memberikan insight dan inspirasi baru melalui artikel-artikel yang dirangkai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

18 Juni

19 November 2022   23:02 Diperbarui: 19 November 2022   23:11 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar matahari yang menembus tirai kamar seketika membangunkanku dari mimpi buruk. Aku dapat merasakan pipiku basah. Mataku juga membengkak. Napasku tersenggal-senggal tak karuan. Semalam, aku bermimpi tentang bagaimana sekelompok muda-mudi yang mendorongku jatuh dari jembatan. 

Aku ingat benar dalam mimpi tersebut kalau aku tercebur ke dalam sungai yang tak kusangka-sangka dalam. Aku tidak bisa berenang. Aku mencoba berteriak minta tolong namun air yang mulai memasuki mulut dan hidung mencegahku. 

Di akhir mimpi, akhirnya aku sudah tidak tahan dan tenggelam lemas dalam sungai tersebut. Mimpi buruk itu membuatku melamun lama, sampai akhirnya aku tersadar kembali karena dikejutkan dengan dering agenda ponselku. Tertulis di sana, '18 Juni 2013-My Birthday'.

Melihat layar, aku tersentak kaget. Bagaimana aku bisa lupa dengan hari ulang tahunku sendiri? Perasaan gelisah dan teror yang menghampiri tadi seketika digantikan dengan perasaan bahagia. Bagaimanapun, aku tidak boleh bermuka suram hanya karena mimpi buruk seperti itu di hari ulang tahunku yang ke-15. Aku pun beranjak dari tempat tidur polkadot merah mudaku dan segera turun ke lantai bawah hendak menyapa ibu dan ayahku.

 "Ayah! Ibu! Selamat pagi!" Seruku semangat.

Ayah dan ibu segera menatapku dengan hangat sambil mengangkat kue ulang tahun dengan krim cokelat yang terlihat lezat. Di atas kue tersebut sudah dipasang lilin berbentuk angka lima belas yang menyala terang-benderang.

            "Selamat ulang tahun, Anisa!" Seru mereka berdua dengan senyum tulus.

Aku segera memeluk mereka akibat rasa bahagia yang tidak tertahankan ini. 

            "Makasih, ayah, ibu!!" Seruku kegirangan.

Kami kemudian menghabiskan pagi itu dengan sarapan bersama sebelum akhirnya aku harus bersiap-siap pergi ke sekolah diantar ayah.

            "Yah, hari ini Anisa mau main sama Ica boleh, ya?" Tanyaku pada ayah di perjalanan kami.

            "Ica? Yang biasa dikepang 2 itu, kan? Boleh-boleh aja, Nis. Mau main ke rumah?"

            "Enggak, yah. Kami mau main ke jembatan yang dekat sama rumahnya Om Indra."

            "Hah?!! Ngapain ke sana?" Tanya ayah kaget.

            "Katanya kita mau lihat festival kapal dari atas jembatan, yah." Jawabku santai.

            "Festival? Memang ada, ya?" Tanya ayah heran.

            "Kata Ica ada kok, yah."

Respon terakhirku dijawab ayah dengan keheningan sesaat. Aku merasa ayah akan menolak permintaanku mentah-mentah, mengingat ayah dan ibu jarang memberiku izin bermain ke luar rumah. Mereka selalu khawatir dengan keselamatanku karena aku adalah seorang perempuan. Mereka beranggapan aku tidak akan bisa menjaga diriku sendiri. Itu sangat mengesalkan. Karena hal itu aku tidak bisa bermain di luar rumah setiap saat.

             "Please, yah. Ini kan hari ulang tahunku. Sekali aja Anisa boleh main ke luar sama Ica."

Ayahku masih tidak merespon. Perlakuan diam ayah seketika membuat harapanku bermain dengan Ica hangus. Namun ketika kami sudah hampir sampai ke sekolahku, ayah tiba-tiba kembali mengangkat suaranya.

            "Ya sudah ayah izinkan. Tapi Anisa harus janji sama ayah."

            "Janji apa, yah?"

Ayah kemudian mengusap surai hitamku dengan lembut.

"Anisa harus hati-hati. Jembatan itu bukan tempat yang 100 persen aman, lho. Kamu suruh Ica hati-hati juga," Kata ayah pelan.

Aku segera memeluk ayah karena senang dengan izin yang ia berikan. Aku kemudian berpamitan dengan ayah sebelum akhirnya keluar dari mobil dan memasuki gerbang sekolah. Kedatanganku di depan kelas langsung disambut dengan seruan ulang tahun dari Ica dan teman-temanku yang lain.

            "Selamat ulang tahun, Ica!!!" Seru mereka semua sambil diiringi dengan tepuk tangan meriah. Wajahku seketika berubah warna menjadi merah karena malu sekaligus senang dengan perhatian yang diberikan teman-temanku.

            "Selamat ulang tahun yang ke-15 ya, Nis! Eh, tapi hari ini jadi ikut ke jembatan habis pulang sekolah, kan?" Tanya Ica sambil merangkulku kemudian.

            "Jadi, dong!" Jawabku semangat.

            "Sip! Nanti ada teman-teman lain yang mau ikut juga, nih. Nggak apa-apa, kan?"

            "Santai, aku sudah izin sama ayah, kok" Jawabku percaya diri.

Kami kemudian mengikuti berbagai macam pelajaran sambil menunggu jam pulang sekolah segera tiba. Sedari tadi, aku sudah tersenyum-senyum sendiri, sampai-sampai beberapa guru menegurku karena aku terlihat seperti orang gila. Bagaimana aku tidak bahagia sampai-sampai harus menahan senyumku? 

Pagi ini aku bangun disambut oleh  kedua orang yang kucintai. Aku menerika pemberian kue dan perayaan kecil-kecilan dari mereka. Belum lagi akhirnya ayah mengizinkanku bermain di luar rumah setelah sekian lama ia melarangku.

Namun, bayang-bayang bahagiaku seketika bercampur dengan perasaan tidak enak. Perasaan yang sama ketika aku harus terbangun karena mimpi buruk tadi pagi. Aku takut perasaan ini akan mengganggu suasana saat kami melihat festival kapal dari atas jembatan nanti, maka dari itu aku berusaha menghiraukannya.

Terlalu larut dengan pemikiranku sendiri, bel pulang sekolah akhirnya berdering nyaring, menandakan sudah saatnya aku, Ica, dan yang lain pergi ke jembatan untuk melihat festival kapal.

            "Anisa, yuk! Kita jalan bareng," Seru Ica sambil menepuk pundakku pelan.

Kami segera berjalan menuju jembatan yang dimaksud. Sesampainya di tempat, aku langsung menengok ke bawah untuk melihat festival yang menampilkan kapal-kapal indah yang memanjakkan mata. Namun, bukannya melihat beragam kapal dengan bentuk dan warna yang melintas, aku justru hanya menyaksikan air sungai yang tenang. Tidak ada apa-apa di sana. Tanpa memalingkan badan, aku bertanya pada Ica dengan heran.

            "Loh, Ica, mana kapal-kapalnya?"

Aku hanya mendengar suara tertawa dari Ica dan teman yang lain. Aku yang kebingungan segera memalingkan badan untuk melihat mereka. Di titik ini, perasaan tidak enak yang sempat muncul di kelas tiba-tiba datang menghampiri.

            "Selamat ulang tahun, Anisa!!!" Seruan ulang tahun mereka diikuti dengan tangan-tangan mereka yang seketika mendorongku keras, seolah-olah mereka ingin aku terjatuh dari jembatan yang memang  memiliki jarak yang tidak terlalu tinggi dengan sungai di bawah.

Aku yang terkejut tidak sempat berpegangan pada benda apapun dan hanya bisa pasrah ragaku dibawa oleh grafitasi. Aku terjatuh dan mendarat pada sungai yang dasarnya tidak bisa diraih kakiku. Aku mencoba berteriak dan menggerakkan tangan serta kakiku untuk mempertahankan nyawaku, namun air yang terus masuk memenuhi lubang mulutku membuatku semakin lemas. 

Dalam usaha sia-siaku itu, aku sempat menenangkan diriku semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak akan mati. Aku akan tetap hidup. Pada akhirnya, semua ini hanya mimpi. Di pagi esok, aku akan  bangun dan kembali bertemu dengan ayah dan ibu. Aku akan selalu hidup di 18 Juni.         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun