Terlalu larut dengan pemikiranku sendiri, bel pulang sekolah akhirnya berdering nyaring, menandakan sudah saatnya aku, Ica, dan yang lain pergi ke jembatan untuk melihat festival kapal.
      "Anisa, yuk! Kita jalan bareng," Seru Ica sambil menepuk pundakku pelan.
Kami segera berjalan menuju jembatan yang dimaksud. Sesampainya di tempat, aku langsung menengok ke bawah untuk melihat festival yang menampilkan kapal-kapal indah yang memanjakkan mata. Namun, bukannya melihat beragam kapal dengan bentuk dan warna yang melintas, aku justru hanya menyaksikan air sungai yang tenang. Tidak ada apa-apa di sana. Tanpa memalingkan badan, aku bertanya pada Ica dengan heran.
      "Loh, Ica, mana kapal-kapalnya?"
Aku hanya mendengar suara tertawa dari Ica dan teman yang lain. Aku yang kebingungan segera memalingkan badan untuk melihat mereka. Di titik ini, perasaan tidak enak yang sempat muncul di kelas tiba-tiba datang menghampiri.
      "Selamat ulang tahun, Anisa!!!" Seruan ulang tahun mereka diikuti dengan tangan-tangan mereka yang seketika mendorongku keras, seolah-olah mereka ingin aku terjatuh dari jembatan yang memang  memiliki jarak yang tidak terlalu tinggi dengan sungai di bawah.
Aku yang terkejut tidak sempat berpegangan pada benda apapun dan hanya bisa pasrah ragaku dibawa oleh grafitasi. Aku terjatuh dan mendarat pada sungai yang dasarnya tidak bisa diraih kakiku. Aku mencoba berteriak dan menggerakkan tangan serta kakiku untuk mempertahankan nyawaku, namun air yang terus masuk memenuhi lubang mulutku membuatku semakin lemas.Â
Dalam usaha sia-siaku itu, aku sempat menenangkan diriku semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak akan mati. Aku akan tetap hidup. Pada akhirnya, semua ini hanya mimpi. Di pagi esok, aku akan  bangun dan kembali bertemu dengan ayah dan ibu. Aku akan selalu hidup di 18 Juni.     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H