Aku menangis tergugu. Sanggupkah aku meninggalkan ayah dan ibuku? Merelakan mimpiku membangun keluarga bersama dengan pria yang dua bulan lalu meminangku? Aku menatap pilu pada tubuhku yang sudah terbaring dengan di iringi lantunan doa-doa dari para sanak-saudara dan tetangga. Tak ada yang bisa ku bawa. Tidak penghargaan-penghargaan yang ku kumpulkan selama di sekolah, tidak juga harta benda yang dapatkan dari hasil kerja keras.
“Hanya perbuatan baik dan ibadahmu yang akan menjadi temanmu.” Ujar sosok itu mengingatkan.
“Tapi aku belum sempat membahagiakan orang tuaku!” sekuat mungkin aku mencoba menyangkal.
“Tidak! Waktumu benar-benar telah habis.”
Aku kembali menatap ke arah ibu yang masih histeris. Sebentar tak sadarkan diri, lalu menangis lagi. Sedangkan ayah, mencoba tetap tegar dan tak mengeluarkan air mata. Tapi ku yakin ia juga merasa kehilangan. Toh aku putri ayah satu-satunya. Pun dengan Ilyas, laki-laki yang rencananya akan menjadi suamiku bulan depan. Ia terus melantunkan ayat-ayat suci dengan irama yang menenangkan. Rupanya rencana kami belum di restui Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H