“Ya ibu. Aku anak ibu, selamanya tetap anak ibu.”
“Akhirnya tiba saatnya ibu harus melepaskanmu. Ibu sadar, kamu hanyalah titipan.” Aku menatap sendu wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkanku itu.
“Kan pernikahanku baru sebulan lagi. Sebelum itu, aku bisa menghabiskan waktu sepuasnya bersama ibu.” Ucapku mencoba menenangkannya.
Raut wajahnya semakin mendung. Padahal cuaca di luar cerah sekali. Ibuku bangkit denga di bantu oleh uwak, kakak kandung ibu. aku mengikuti mereka berjalan kea rah ruang tengah. Ibu duduk kembali, ia mengusap wajahku, mengelus rambutku sayang. Menggenggam tanganku erat, lalu mendekapnya.
“Ada apa dengan kalian hari ini? Kenapa semuanya memasang wajah sedih? Aku kan sudah disini! Aku sudah di rumah.” Aku bertanya pada ibu yang masih mendekap tanganku, pada ayah yang menatapku dalam, pada Ilyas yang sibuk memandangi jemari tangannya yang saling bertautan.
“Naina!” Aku menoleh pada suara yang memanggilku.
Aku mendekat ke arahnya, mencoba mengenali wajahnya, namun tak bisa. Aku tak bisa melihat wajahnya. Sosok itu bertubuh tinggi, tegap dan sangat menyilaukan.
“Ayo pulang.” Ajaknya padaku.
“Pulang?” Tanyaku bingung. “Pulang kemana? Aku tidak akan kemana-mana! Disini rumahku!” Aku menolaknya keras.
Lalu aku menoleh pada ibu yang berteriak histeris. Dengan dibantu oleh uwak dan beberapa tetangga lainnya, ibu menjauh dari tubuhku. Ayah mundur beberapa langkah, begitupun dengan Ilyas, calon suamiku. Aku melihat beberapa wanita mengerubungi tubuhku. Mereka memakaikanku beberapa helai kain. Pakaian yang memperjelas kondisi saat ini.
“Waktumu sudah habis. Mari pulang, ke rumahmu yang sesungguhnya.” Sosok itu lagi-lagi mencoba untuk membawaku pergi.