Mohon tunggu...
Zee. L
Zee. L Mohon Tunggu... Guru - Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Berbicara melalui tulisan lebih memberikan makna dari apa yang lisan ucapkan yang kadang bermaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

19 April 2020   20:24 Diperbarui: 19 April 2020   20:42 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa tetangga sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Beberapa sanak saudara memilih istirahat di tempat terpisah. Ada yang di kamar ibu, di ruang tamu, bahkan ada yang sedang menyusui anaknya di kamarku. Ah, lihat! Betapa menggemaskannya anak dari sepupuku itu.

Lamat-lamat ku dengar suara Ilyas melantunkan ayat-ayat suci. Suara merdunya itu mampu membuat sejuk hati. Sesekali aku mendengar isakan di sela-sela lantunannya. Aku bisa mengerti, calon suamiku itu memang sering menangis saat mengaji. Aku memutuskan untuk tak mengganggunya, dan menunggu saja.

Setelah selesai mengaji, laki-laki bergigi gingsul itu mendekatiku. Jarak yang tak terlalu dekat tentunya. Meski akan menikah, tapi kami berdua tahu batasan.

“Terimakasih Naina, karna dulu kau mau menerima pinanganku.” Ilyas berucap dengan menatap jari-jemarinya yang saling bertautan. Ia memang selalu menjaga pandangan.

“Awalnya, ku pikir kau akan menolak. Karna usiaku yang lebih muda darimu.” Sambungnya kemudian.

Aku tersenyum menahan tawa. Dia dan pola pikirnya itu, sama sekali tidak terlihat bahwa usianya lebih muda.

“Ku rasa tak ada alasanku untuk menolakmu. Kau laki-laki yang sangat baik, yas.”

Siang itu, cuaca panas sekali. Namun meskipun matahari sangat terik, angin bertiup cukup kencang. Lumayan menyegarkan tubuh yang berkeringat. Aku memutuskan untuk berkeliling rumah. Rumah yang selama dua puluh tujuh tahun ini mejadi tempatku tumbuh, tertawa, menangis dan merajuk. Aku berjalan ke arah kamar ibu. Aku mendengar suara isak tangis dan beberapa orang yang mencoba menenangkan ibu.

“Ibu kenapa menangis?” Aku bergegas mendekati ibu. Semuanya diam, ibupun sudah tidak menangis lagi. Hanya sesekali sesegukkan bekas tangisnya.

“Ku mohon, jangan menangis bu. Aku tidak kuat melihat ibu bersedih.” Aku berusaha menghapus jejak-jejak air mata di pipinya yang mulai berkerut.

“Anakku, anak gadisku satu-satunya. Naina.” Ibu menatap ke arahku dengan tatapan sendu. Mata itu selalu jadi favoritku. Tatapan penuh kasih yang sangat menenangkan di kala gundah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun