Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masyarakat Arab Pra-Islam: Antara Tradisi, Konflik, dan Perubahan

10 Oktober 2024   23:06 Diperbarui: 10 Oktober 2024   23:21 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri/kitab  Al-Madhahib A-Sfiyyah wa Madrisuh. 

Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab di semenanjung Arab hidup dalam masyarakat yang penuh dengan tradisi kesukuan, kepercayaan lokal, dan ketegangan sosial. Banyak literatur dan sumber sejarah menggambarkan kondisi masyarakat Arab pada masa tersebut sebagai masyarakat yang cenderung tertutup terhadap perubahan, dan hal ini berdampak pada pola pikir dan mentalitas mereka yang konservatif. 

Tulisan ini akan menguraikan bagaimana cara berpikir dan watak orang Arab sebelum kedatangan Islam, serta bagaimana hal ini mempengaruhi struktur sosial dan peradaban mereka. Tulisan ini disadur dari buku Al-Madhahib A-Sfiyyah wa Madrisuh.

Mentalitas Kolot dan Penolakan Terhadap Gagasan Baru

Bangsa Arab pra-Islam, atau yang sering disebut sebagai zaman Jahiliyah, memiliki pola pikir yang sangat terikat pada tradisi dan adat istiadat turun-temurun. Mereka merasa sangat nyaman dengan nilai-nilai dan praktik lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pemikiran baru, terutama yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang ada, sering kali ditolak tanpa diskusi lebih lanjut.

 Seolah-olah, apa yang telah ada sejak dulu harus dipertahankan tanpa perlu dipertanyakan. Penolakan terhadap gagasan baru ini sangat kuat karena mereka merasa bahwa perubahan dapat menggoyahkan tatanan sosial yang sudah mapan.

Kondisi semacam ini membuat masyarakat Arab pra-Islam terjebak dalam siklus stagnasi intelektual. Mereka enggan untuk membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, baik itu dari bangsa Persia maupun Romawi, yang pada masa itu sudah mencapai tingkat peradaban yang lebih maju. 

Sebagaimana yang disebutkan dalam buku Al-Madhahib A-Sfiyyah wa Madrisuh, kesederhanaan berpikir mereka membuat ide-ide kompleks sulit untuk diterima. Bahkan gagasan-gagasan tentang kemajuan sosial, politik, atau budaya yang lebih maju sering kali dianggap sebagai ancaman daripada peluang.

Kehidupan Sosial yang Terpecah dan Perang Antar Suku

Satu aspek penting yang juga membentuk watak orang Arab pada masa itu adalah kondisi sosial mereka yang sangat terpecah. Masyarakat Arab pra-Islam terdiri dari berbagai suku yang terpisah-pisah, masing-masing dengan kebanggaan dan identitas sukunya sendiri. Suku-suku ini sering kali terlibat dalam persaingan yang tidak sehat dan konflik berdarah untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas.

 Perang antar suku menjadi bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Setiap suku berusaha untuk menunjukkan dominasinya, dan persatuan di antara mereka nyaris mustahil dicapai.

Situasi ini menciptakan pola pikir yang sangat sempit dan eksklusif. Orang Arab cenderung melihat dunia hanya dalam konteks suku mereka sendiri, dan mereka enggan untuk bekerja sama dengan suku lain kecuali jika ada ancaman eksternal yang lebih besar. 

Ketegangan antar suku ini menghalangi mereka untuk berpikir lebih luas tentang persatuan atau kemajuan bersama. Bahkan dalam menghadapi bangsa-bangsa besar seperti Persia dan Romawi, mereka lebih memilih untuk tetap terpecah dan berperang di antara mereka sendiri daripada bersatu untuk menghadapi tantangan eksternal.

Pandangan Bangsa Luar Terhadap Arab

Bangsa Arab pada masa pra-Islam sering kali dipandang rendah oleh bangsa-bangsa besar seperti Persia dan Romawi. Hal ini tercermin dalam sebutan-sebutan yang diberikan oleh bangsa luar terhadap mereka, misalnya dengan sebutan "ru't al-ibil wa al-ghanam wa al-uft al-'urt al-jiy'" (penggembala unta dan domba, orang telanjang kaki, dan kelaparan). 

Sebutan ini tidak hanya mencerminkan pandangan bangsa luar yang merendahkan, tetapi juga mencerminkan bagaimana bangsa Arab dilihat sebagai masyarakat yang lemah, kurang beradab, dan tertinggal dalam hal peradaban dan kekuatan militer.

Pandangan ini tentu tidak sepenuhnya tanpa dasar. Bangsa Persia dan Romawi telah membangun peradaban yang maju, dengan teknologi, budaya, dan militer yang kuat. Sementara itu, bangsa Arab masih terjebak dalam konflik kesukuan, dengan struktur sosial yang sangat sederhana dan primitif.

 Keterbelakangan ini menjadi alasan mengapa bangsa Arab dipandang sebagai masyarakat yang tidak memiliki potensi besar untuk menjadi peradaban yang unggul. Mereka hanya dilihat sebagai bangsa pengembara yang hidup di padang pasir yang keras, dengan kehidupan yang penuh ketidakpastian dan jauh dari konsep kemajuan.

Kerinduan Akan Perubahan dan Kedamaian

Meskipun kehidupan bangsa Arab pra-Islam dipenuhi dengan konflik dan ketidakstabilan, pada titik tertentu mereka mulai merasakan kelelahan dan kejenuhan dengan situasi tersebut. Perang yang berkepanjangan, ketidakpastian sosial, dan kehidupan yang keras mulai memunculkan kerinduan akan perubahan yang lebih baik.

 Banyak dari mereka yang mulai mencari sosok pemimpin atau nabi yang bisa membawa mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya. Keinginan untuk hidup dalam kedamaian dan stabilitas mulai tumbuh, meskipun gagasan ini belum secara terbuka diungkapkan oleh sebagian besar masyarakat.

Kerinduan ini menjadi latar belakang penting yang menjelaskan mengapa ketika Islam datang, banyak suku di Arab yang akhirnya menerima ajaran Islam dengan antusias. Islam menawarkan solusi terhadap masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, terutama dalam hal persatuan, kedamaian, dan keadilan. 

Dengan ajaran yang menekankan persaudaraan, persatuan, dan kedamaian, Islam berhasil meruntuhkan dinding-dinding kesukuan yang selama ini menjadi penghalang bagi kemajuan masyarakat Arab.

Watak Kolot dan Konservatif: Refleksi Terhadap Kondisi Saat Ini

Dalam konteks modern, kita mungkin masih menemukan sisa-sisa dari watak konservatif dan kolot yang pernah ada di kalangan bangsa Arab pra-Islam. Beberapa kelompok dalam masyarakat Muslim saat ini mungkin masih menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan tradisi lama dan menolak perubahan atau inovasi yang dianggap mengancam stabilitas sosial atau keyakinan yang mereka anut. 

Watak ini, meskipun tidak sepenuhnya sama dengan kondisi pra-Islam, memiliki akar yang mirip, yaitu ketakutan akan perubahan yang tidak dipahami atau dianggap dapat merusak nilai-nilai tradisional.

Namun, berbeda dengan masa pra-Islam, Islam sebenarnya mendorong umatnya untuk selalu berpikir terbuka, mencari ilmu, dan tidak takut pada perubahan yang membawa kebaikan. 

Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi komunitas yang dinamis, yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai spiritual. Oleh karena itu, fenomena penolakan terhadap perubahan atau inovasi dalam kalangan Muslim saat ini mungkin lebih disebabkan oleh faktor sosial dan budaya, bukan ajaran Islam itu sendiri.

Arab Modern dan Transformasi

Saat ini, Arab modern, khususnya negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, telah mengalami perubahan besar dalam beberapa dekade terakhir. Konser, perayaan Halloween, dan berbagai kegiatan budaya modern lainnya yang diselenggarakan di Arab Saudi menunjukkan bahwa masyarakat Arab tidak lagi terikat pada cara berpikir yang kolot. 

Meskipun ada tantangan dalam proses modernisasi ini, perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa masyarakat Arab sudah mulai membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru dan budaya global.

Transformasi ini, meskipun belum sepenuhnya merata di seluruh wilayah Arab, memberikan harapan bahwa masyarakat Arab, baik dari sisi sosial maupun budaya, terus bergerak maju dan tidak lagi terjebak dalam mentalitas konservatif seperti pada masa pra-Islam.

Kesimpulan

Watak orang Arab sebelum kedatangan Islam didominasi oleh cara berpikir yang konservatif, keterikatan pada tradisi lama, dan penolakan terhadap gagasan baru.

 Masyarakat Arab pra-Islam hidup dalam kondisi sosial yang penuh konflik dan kekacauan, yang membuat mereka terjebak dalam siklus stagnasi intelektual dan peradaban. Namun, dengan kedatangan Islam, masyarakat Arab mengalami transformasi besar yang membawa mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya, serta membuka jalan bagi persatuan, kemajuan intelektual, dan keterbukaan terhadap gagasan-gagasan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun