Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Subuh Pertama Zavi di Parangtritis: Pengalaman Pertama Naik Bus dengan Anak Usia 1,5 Tahun

24 Juni 2024   20:21 Diperbarui: 30 Juni 2024   13:47 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berjalan berdua di bawah sinar bulan di kawasan parkiran, saya menunjukkan dan menjelaskan kepada Zavi tentang benda-benda langit. "Lihat Nak, itu bulan, dan itu bintang-bintang," kata saya, sambil berharap ini menjadi salah satu kenangan indah yang akan ia ingat ketika besar nanti.

Cahaya rembulan yang terang benar-benar memenuhi seluruh desa Parangtritis, menambah keajaiban pada pengalaman malam itu. Sungguh sebuah pengalaman yang tak hanya mengedukasi, tetapi juga menginspirasi.

Tak lama setelah kami menikmati pemandangan malam yang memukau, adzan subuh mulai berkumandang melintasi kesunyian pagi. Suara yang merdu itu seakan memanggil kami untuk memulai hari dengan doa dan pengharapan.

Segera, saya dan beberapa rekan guru bergerak menuju mushola milik warga setempat yang tidak jauh dari lokasi kami. Mushola ini, meski sederhana, dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC, cukup untuk menampung kami semua yang ingin melaksanakan ibadah subuh berjamaah.

Ruangan mushola cukup besar dan nyaman, bisa menampung sekitar 20 orang lebih. Saat menyiapkan diri untuk shalat, salah seorang guru menyapa dari belakang, "Monggo Gus, jenengan imami," ujarnya dengan nada menghormati.

Tanpa banyak pikir, saya pun mengiyakan dan maju ke depan untuk menjadi imam. Momen ini, meskipun tiba-tiba, terasa sangat istimewa. Berdiri di depan, memimpin shalat subuh di tempat yang baru, dengan orang-orang yang mungkin baru pertama kali saya temui sebagai jamaah, menambahkan dimensi spiritual yang mendalam pada perjalanan ini.

Setelah shalat, kami semua duduk sejenak, menikmati kedamaian yang hadir setelah berdoa bersama. Di saat itulah, saya memandang Zavi yang duduk tenang di samping istri saya, merenung betapa pentingnya momen-momen seperti ini---tidak hanya sebagai sebuah pengalaman perjalanan, tetapi sebagai pembelajaran hidup dan kebersamaan yang akan membekas di hati.

Pagi itu, di mushola kecil di Parangtritis, kami tidak hanya berbagi ruang fisik untuk beribadah, tetapi juga ruang emosional dimana kami bersama-sama merenungi arti dari sebuah perjalanan yang bukan hanya fisik, tapi juga rohani. Sebuah pembuka yang sempurna untuk hari-hari yang masih akan kami lalui bersama di Jogja.

Bersambung... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun