Zavi, putra kami yang masih berusia 1,4 tahun---kasihan dia di perjalanan panjang, khawatir ia rewel, atau tak nyaman di tempat baru. Selama ini, perjalanan keluar kota selalu menjadi momen bersama keluarga atau berdua saja bersama istri. Memang, ada banyak pertimbangan yang membuat saya ragu untuk membawa
Namun, sebelum liburan sekolah yang lalu, istri yang sehari-harinya mengajar di MTs Perguruan Muallimat, Cukir, Jombang, tiba-tiba saja mengajak Zavi ikut serta dalam agenda ziarah dan rihlah yang diadakan sekolahnya.
"Ba, nanti tanggal 22 kita ziarah ya, bawa Zavi. Ke Jogja juga kok nanti, sama guru-guru MTs," ujarnya penuh antusias.
Mendengar itu, saya sempat terdiam. Kegiatan ziarah dan rihlah ini memang tradisi di sekolahnya yang berada di bawah naungan Yayasan Badan Wakaf KH. M. Adlan Aly dan biasanya diadakan setiap akhir tahun.
Saya tidak langsung menolak, tapi kekhawatiran langsung menyelimuti pikiran. "Tanggal berapa?" tanya saya mencoba mencari kepastian. "Tanggal 22," jawabnya singkat.
Pikiran saya melayang membayangkan segala kemungkinan selama di perjalanan. Bagaimana kalau Zavi pup? Bagaimana kalau dia rewel? Bagaimana pula cara kami mengatur tidurnya di bis? Ah, banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk. Namun, pada akhirnya saya memutuskan untuk berpikir tentang itu nanti saja. Setelah semua, ini juga kesempatan untuk melihat dunia baru bersama si kecil.
Malam itu, Sabtu jam 10.00, kami berangkat menuju Jogja. Perasaan campur aduk, antara gugup dan bersemangat, mengiringi keberangkatan kami. Kendaraan yang kami tumpangi terdiri dari dua bus.
Secara kebetulan, saya, Zavi, dan istri mendapatkan tempat di bus kedua, dengan konfigurasi kursi dua di kiri dan dua di kanan. Beruntungnya, kami mendapatkan jatah empat kursi, cukup luas untuk kami bertiga. Istri saya menempati kursi paling depan di sisi kanan bersama Zavi, sedangkan saya mendapat tempat di sisi kiri, baris kedua dari depan.
Dalam hati saya bergumam, "Alhamdulillah, anak bisa tidur di kursi sebelah istri, dan gue pun bisa tidur nyenyak di sini," sambil tertawa kecil lega. Salah satu kekhawatiran terbesar saya teratasi.
Meskipun saya adalah penikmat perjalanan, selera saya terhadap jalan-jalan telah berubah sejak menikah. Saya lebih memilih menghabiskan waktu di rumah, membaca, bermain dengan anak, atau melakukan kegiatan lain yang lebih menenangkan.
Ironisnya, kembali pada masa bujang, saya adalah seorang petualang sejati, sering melakukan perjalanan sendirian dengan motor japstyle kesayangan atau bergabung dalam touring bersama teman-teman dari klub motor Japstyle Bratstyle Indonesia.
Namun, sejak berkeluarga, sepertinya hobi itu perlahan-lahan mulai terlupakan. Tetapi malam itu, membawa Zavi dalam sebuah petualangan, rasanya seperti memulai sebuah babak baru yang sama menyenangkannya.
Perjalanan ke Jogja terasa luar biasa tenang dan menyenangkan. Melihat Zavi yang tampak gembira, duduk di kursi sambil memandang ke luar jendela dengan mata berbinar, membuat hati kami seakan ikut berlari kegirangan.
Sesekali ia teriak-teriak kecil, seolah ingin mengungkapkan kebahagiaannya, "Abah, Mami, Zavi happy sekali!" Mendengar itu, rasa lelah dan khawatir langsung sirna. Bagaimana mungkin tidak bahagia melihat buah hati menikmati momen-momen kecil seperti ini?
Sekitar satu jam setelah keberangkatan, tanda-tanda kelelahan mulai terlihat dari mata Zavi yang mulai terpejam. Akhirnya, dengan penuh tenang, ia tertidur di pangkuan ibunya. Saya pun menyandarkan kepala, berusaha untuk mengumpulkan energi yang akan dibutuhkan untuk hari esok, saat kami tiba di tujuan awal, pantai Parang Tritis. Di sanalah, kami akan memulai hari dengan segar, menghirup udara pantai yang asin, sambil melihat ombak datang dan pergi, sebuah simbol petualangan baru yang tak terlupakan bagi Zavi dan kami.
Tiba di parkiran bus Parang Tritis pukul 03.00, keadaan masih gelap dan udara pagi yang sejuk langsung menyapa. Mata saya masih terasa berat dan badan terasa lelah, terutama karena sebelum berangkat tadi malam, saya sempat meluangkan waktu untuk berolahraga di gym. Energi yang tersisa tampaknya harus saya simpan untuk menghadapi hari yang panjang.
Namun, dalam keheningan malam, tempat parkir bus pun masih hanya terlihat rombongan kami saja, tiba-tiba saya mendengar suara kecil dari Zavi yang terbangun. Rupanya, keramaian suara orang-orang yang mulai turun dari bus telah membangunkannya. "Waduh, jam segini sudah sampai," gumam saya dalam hati. "Masa iya subuh-subuh buta gini harus main pantai?" pikir saya sambil melirik jam di ponsel.
Tak lama, koordinator bis kami memberikan pengumuman. "Rombongan akan melaksanakan shalat subuh di parkiran ini yang sudah dilengkapi dengan fasilitas umum, dan kita akan sarapan pagi di salah satu warung di daerah sini," katanya.
Dengan waktu subuh yang masih cukup lama, saya dan istri memutuskan untuk bergantian membersihkan diri dan berwudhu. Istri saya lebih dulu menuju kamar mandi, sementara saya menggendong Zavi, memperkenalkannya pada keindahan langit malam yang terang benderang karena sinar purnama.
Berjalan berdua di bawah sinar bulan di kawasan parkiran, saya menunjukkan dan menjelaskan kepada Zavi tentang benda-benda langit. "Lihat Nak, itu bulan, dan itu bintang-bintang," kata saya, sambil berharap ini menjadi salah satu kenangan indah yang akan ia ingat ketika besar nanti.
Cahaya rembulan yang terang benar-benar memenuhi seluruh desa Parangtritis, menambah keajaiban pada pengalaman malam itu. Sungguh sebuah pengalaman yang tak hanya mengedukasi, tetapi juga menginspirasi.
Tak lama setelah kami menikmati pemandangan malam yang memukau, adzan subuh mulai berkumandang melintasi kesunyian pagi. Suara yang merdu itu seakan memanggil kami untuk memulai hari dengan doa dan pengharapan.
Segera, saya dan beberapa rekan guru bergerak menuju mushola milik warga setempat yang tidak jauh dari lokasi kami. Mushola ini, meski sederhana, dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC, cukup untuk menampung kami semua yang ingin melaksanakan ibadah subuh berjamaah.
Ruangan mushola cukup besar dan nyaman, bisa menampung sekitar 20 orang lebih. Saat menyiapkan diri untuk shalat, salah seorang guru menyapa dari belakang, "Monggo Gus, jenengan imami," ujarnya dengan nada menghormati.
Tanpa banyak pikir, saya pun mengiyakan dan maju ke depan untuk menjadi imam. Momen ini, meskipun tiba-tiba, terasa sangat istimewa. Berdiri di depan, memimpin shalat subuh di tempat yang baru, dengan orang-orang yang mungkin baru pertama kali saya temui sebagai jamaah, menambahkan dimensi spiritual yang mendalam pada perjalanan ini.
Setelah shalat, kami semua duduk sejenak, menikmati kedamaian yang hadir setelah berdoa bersama. Di saat itulah, saya memandang Zavi yang duduk tenang di samping istri saya, merenung betapa pentingnya momen-momen seperti ini---tidak hanya sebagai sebuah pengalaman perjalanan, tetapi sebagai pembelajaran hidup dan kebersamaan yang akan membekas di hati.
Pagi itu, di mushola kecil di Parangtritis, kami tidak hanya berbagi ruang fisik untuk beribadah, tetapi juga ruang emosional dimana kami bersama-sama merenungi arti dari sebuah perjalanan yang bukan hanya fisik, tapi juga rohani. Sebuah pembuka yang sempurna untuk hari-hari yang masih akan kami lalui bersama di Jogja.
Bersambung...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H