Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Misteri Ilmu: Apakah Generasi Modern Masih Mengikuti Jejak Para Ulama?

30 Mei 2024   22:28 Diperbarui: 30 Mei 2024   22:58 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri diolah dengan AI

Di tengah gempuran harapan dan realitas, mahasiswa perantau sering terjebak dalam romantisme kehidupan yang jauh dari akar. Mereka meninggalkan kampung halaman dengan cita-cita luhur, dada dipenuhi semangat untuk memetik ilmu sebanyak-banyaknya. Namun, tidak jarang, apa yang terjadi di lapangan serupa sinetron berkepanjangan yang melibatkan drama, intrik, dan terkadang, komedi semu.

Imam Al-Ghazali, dalam nasihat bijaknya, sudah menyerukan perlunya mengurangi keterikatan dengan dunia demi fokus pada ilmu. Nyatanya, pesan ini sering terlupakan, layaknya buku teks lama yang berdebu di pojok perpustakaan.

Seorang santri atau mahasiswa perantau, menurut Al-Ghazali, harus memotong tali-tali yang mengikatnya pada kesibukan duniawi. Mudah dikatakan, tetapi apa kabarnya di lapangan? Antara keinginan untuk eksplorasi dan tekanan untuk eksistensi, banyak mahasiswa yang terjerumus dalam pusaran kegiatan yang jauh panggang dari api ilmu.

Media sosial, part-time jobs demi gaya hidup Instagrammable, sampai ke hangout naik gunung tak berujung dengan teman-teman satu organisasi. Fokus pada studi? Oh, itu agenda nomor sekian, setelah deadline mendesak atau ketika ujian sudah di depan mata.

Imam Ghazali mengingatkan:

 

"keterikatan itu menyibukkan dan mengalihkan, dan Allah tidak menjadikan bagi seorang laki-laki dua hati dalam rongganya."

Namun, banyak mahasiswa yang seakan memiliki dua hati; satu untuk ilmu dan satu lagi untuk segala yang bukan ilmu. Pikiran terbagi antara apa yang dinginkan dan apa yang dibutuhkan, sering kali yang menang adalah yang pertama. Ironis, bukan?

Imam Ghazali tidak berhenti di situ, beliau menambahkan, 

 

"dan kapan saja pikiran terbagi, maka ia tidak akan mencapai kebenaran."

Inilah yang terjadi ketika mahasiswa lebih sibuk memikirkan skor game online, push rank, atau serial drama korea yang sedang trending dibandingkan mengerjakan makalah yang besok harus dipresntasikan. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan antara keinginan menuntut ilmu dengan kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan sosial.

:

 "Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya sampai kamu memberinya seluruh dirimu." 

Kata-kata ini seharusnya menjadi mantra bagi setiap mahasiswa. Bukannya memberi seluruh diri pada ilmu, banyak yang hanya memberikan sisa tenaga setelah lelah bermain game dan bersenang-senang di warkop tempat biasanya teman-teman sefrekuensi nongkrong. Maka, tidak mengherankan jika apa yang didapat hanya pencerahan setengah hati, pengetahuan yang retak, tidak utuh.

Sebagai kontras yang mencolok, marilah kita melihat bagaimana para ulama dahulu mengejar ilmu dengan pengorbanan yang luar biasa, sebuah dedikasi yang mungkin terasa asing di tengah kenyamanan modern yang kita nikmati sekarang.

Mereka mengembara ribuan mil, meninggalkan keluarga dan kenyamanan rumah, hanya untuk duduk di kaki seorang guru di negeri lain. Kisah-kisah mereka tidak hanya mengisahkan perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual dalam mencari esensi ilmu.

Misalnya, Ibnu Battuta, terkenal dengan perjalanannya yang melegenda, tidak hanya mengembara untuk melihat dunia, tetapi juga untuk menuntut ilmu. Dari Maroko ke Mekkah, dari India hingga ke Nusantara, setiap perhentian adalah kesempatan untuk belajar lebih dalam.

Juga ada Imam Bukhari yang melakukan perjalanan ke berbagai wilayah seperti Mekkah, Baghdad, dan Damaskus hanya untuk mengumpulkan hadits-hadits yang autentik. Usahanya tersebut menghasilkan karya monumental, "Sahih Bukhari", yang merupakan sebagai salah satu koleksi hadits paling tepercaya dalam Islam.

Kemudian ada Imam Al-Ghazali sendiri, yang perjalanannya dalam mencari ilmu spiritual dan intelektual membawanya ke titik di mana ia meninggalkan jabatan prestisius di Nizamiyyah di Baghdad, hanya untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan pengetahuan. Perjalanannya adalah contoh metaforis dari meninggalkan 'dunia' untuk mencapai pencerahan dalam ilmu.

Perbandingan ini mempertanyakan: apakah kita, dengan semua akses teknologi dan informasi, telah mencapai lebih dekat menuju kebenaran ilmu daripada mereka? Ataukah kita terjebak dalam kebisingan dan hiruk-pikuk yang mengalihkan kita dari mengejar ilmu sejati?

Sementara mahasiswa modern mungkin berargumen bahwa mereka menghadapi tantangan dan distraksi yang tidak pernah dihadapi para ulama klasik, inti dari masalahnya tetap sama---keseriusan dalam mengejar ilmu.

Pada akhirnya, perjalanan para ulama itu mengingatkan kita bahwa ilmu membutuhkan pengorbanan, kesabaran, dan dedikasi yang mendalam. Mereka tidak membiarkan diri mereka terikat oleh kenyamanan duniawi atau distraksi yang melimpah.

Mereka memberikan seluruh diri mereka untuk ilmu, sebuah konsep yang, menurut kata-kata Imam Al-Ghazali, esensial untuk benar-benar memahami dan mendekati kebenaran.

Dengan ini, marilah kita sebagai mahasiswa modern, yang diberkati dengan sumber daya melimpah dan akses mudah ke informasi, merenungkan kembali bagaimana kita menuntut ilmu.

Apakah kita bersedia mengikuti jejak para ulama dalam memberikan seluruh diri kita untuk ilmu, atau apakah kita puas dengan pencapaian setengah hati yang mungkin tak pernah benar-benar menyentuh inti dari ilmu yang sejati?

Ironi ini seharusnya menjadi bahan renungan, tidak hanya sebagai kritik tetapi juga sebagai panggilan untuk kembali ke esensi menuntut ilmu---dengan semangat dan ghiroh haus akan ilmu. 

Sebagai generasi yang beruntung mendapatkan kesempatan menuntut ilmu jauh dari rumah, sudah seharusnya para mahasiswa ini merenung, apakah mereka ingin menjadi statistik belaka---seorang pemegang ijazah tanpa isi---atau benar-benar ingin mengisi diri dengan ilmu yang sejati dan murni? Adalah tugas mereka, dan ironisnya juga tugas kita yang 'menasehati', untuk kembali ke jalur yang benar: fokus pada ilmu, mengurangi ketergantungan pada hal-hal duniawi, dan menjalankan amanah yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun