Inilah yang terjadi ketika mahasiswa lebih sibuk memikirkan skor game online, push rank, atau serial drama korea yang sedang trending dibandingkan mengerjakan makalah yang besok harus dipresntasikan. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan antara keinginan menuntut ilmu dengan kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan sosial.
:
 "Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya sampai kamu memberinya seluruh dirimu."Â
Kata-kata ini seharusnya menjadi mantra bagi setiap mahasiswa. Bukannya memberi seluruh diri pada ilmu, banyak yang hanya memberikan sisa tenaga setelah lelah bermain game dan bersenang-senang di warkop tempat biasanya teman-teman sefrekuensi nongkrong. Maka, tidak mengherankan jika apa yang didapat hanya pencerahan setengah hati, pengetahuan yang retak, tidak utuh.
Sebagai kontras yang mencolok, marilah kita melihat bagaimana para ulama dahulu mengejar ilmu dengan pengorbanan yang luar biasa, sebuah dedikasi yang mungkin terasa asing di tengah kenyamanan modern yang kita nikmati sekarang.
Mereka mengembara ribuan mil, meninggalkan keluarga dan kenyamanan rumah, hanya untuk duduk di kaki seorang guru di negeri lain. Kisah-kisah mereka tidak hanya mengisahkan perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual dalam mencari esensi ilmu.
Misalnya, Ibnu Battuta, terkenal dengan perjalanannya yang melegenda, tidak hanya mengembara untuk melihat dunia, tetapi juga untuk menuntut ilmu. Dari Maroko ke Mekkah, dari India hingga ke Nusantara, setiap perhentian adalah kesempatan untuk belajar lebih dalam.
Juga ada Imam Bukhari yang melakukan perjalanan ke berbagai wilayah seperti Mekkah, Baghdad, dan Damaskus hanya untuk mengumpulkan hadits-hadits yang autentik. Usahanya tersebut menghasilkan karya monumental, "Sahih Bukhari", yang merupakan sebagai salah satu koleksi hadits paling tepercaya dalam Islam.
Kemudian ada Imam Al-Ghazali sendiri, yang perjalanannya dalam mencari ilmu spiritual dan intelektual membawanya ke titik di mana ia meninggalkan jabatan prestisius di Nizamiyyah di Baghdad, hanya untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan pengetahuan. Perjalanannya adalah contoh metaforis dari meninggalkan 'dunia' untuk mencapai pencerahan dalam ilmu.
Perbandingan ini mempertanyakan: apakah kita, dengan semua akses teknologi dan informasi, telah mencapai lebih dekat menuju kebenaran ilmu daripada mereka? Ataukah kita terjebak dalam kebisingan dan hiruk-pikuk yang mengalihkan kita dari mengejar ilmu sejati?
Sementara mahasiswa modern mungkin berargumen bahwa mereka menghadapi tantangan dan distraksi yang tidak pernah dihadapi para ulama klasik, inti dari masalahnya tetap sama---keseriusan dalam mengejar ilmu.