Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

AI dan Santri Abadi

8 Agustus 2023   20:46 Diperbarui: 8 Agustus 2023   20:46 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umumnya belajar hanya diidentikkan dan dikaitkan dengan siswa, mahasiswa, atau santri yang masih mengenyam pendidikan di sekolah, perguruan tinggi atau di pesantren. Belajar seakan menjadi sebuah aktivitas yang hanya dilakukan oleh mereka saja. Sedangkan yang tidak menyandang gelar yang sudah disebutkan di atas merasa bahwa kewajiban belajar sudah tidak ada lagi, dan kegiatan belajar sudah tidak lagi dianggap penting. Banyak juga yang sudah menjadi tenaga pengajar, tapi lupa untuk belajar. Sehingga materi yang disampaikan sepanjang masa itu-itu saja. Bahkan metode yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih menggunakan metode lama, dan tidak up to date, dan tentu membosankan bagi siswa.

Meng-upgrade diri dengan ilmu dan pengalaman harusnya menjadi kewajiban kita sebagai manusia. Ya, apalagi sebagai guru. Saya masih ingat dulu semasa KH. Ishaq Latief masih ada, beliau selalu mengulang pelajar-pelajaran lama, walau kitab yang ingin dingajikan di hadapan santri itu bisa dibilang sudah di luar kepala alias sudah dipahami tanpa melihat isi kitab. Tapi sebelum diajarkan dan dibaca di hadapan santri, beliau selalu membuka kembali halaman kitab yang akan diajarkan itu.

Saya akhirnya tersadar, bahwa orang yang sudah bertahun-tahun mengajarkan santri di pesantren pun, sebelum mengajar harus membuka kitab, mengulang kembali materi yang sudah pernah diajarkan. Ini berbeda dengan orang banyak pada umumnya. Biasanya orang yang sudah mahir dalam suatu materi, tidak perlu lagi belajar dan membuka kembali materi yang dianggap sudah dikuasai. Menganggap diri sudah mampu dengan materi yang akan disampaikan, akhirnya merasa tidak perlu belajar lagi.

Ya, kita semua mungkin begitu. Merasa sudah bisa, lalu berpikir untuk apa belajar lagi? Sombong dan pongah. Hingga lama-kelamaan kepintaran dan merasa bisa itu tenggelam oleh zaman yang penuh dengan informasi baru, cara terbaru, metode baru, dan ilmu baru yang lebih kekinian.

Wayang dan Media Sosial

Sayyidina Ali pernah berkata, "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup pada zamannya, bukan pada zamanmu." Apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali itu tentu menampar kaum yang malas untuk belajar seperti kita ini. Kok bisa tertampar? Ya jelaslah. Itu artinya ada isyarat bahwa kita disuruh untuk terus belajar dan meng-upgrade diri sesuai zaman. Bagaimana kita bisa mendidik anak sesuai zaman jika kita malas belajar dan enggan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keilmuan? Untuk mendidik anak sesuai dengan zaman tentu kita harus mengerti perkembangan zaman, kekinian, dan relevan. Tidak mungkin kita mendidik anak dengan cara lama, yang sudah kuno. Justru malah kita akan  ditertawakan oleh mereka yang sering mencari informasi dan ilmu-ilmu baru, serta ditertawakan oleh  mereka yang setiap hari menyedot informasi dan pengetahuan lewat ponsel. Itu baru persoalan mendidik anak sendiri, belum lagi persoalan mendidik anak orang lain atau  siswa.

Cara berpikir anak-anak Gen Z sangat kritis. Bayangkan jika Anda di depan kelas, lalu tidak bisa menjawab pertanyaan kritis dari murid Anda, kemudian Anda dianggap sebagai guru yang kurang pengetahuan dan informasi. Tentu sangat memalukan bukan?

Dalam sebuah pengajian keluarga, saya mendengar pernyataan dan pesan yang sama. ya, pernyataan yang mengharuskan kita untuk terus memperbaharui keilmuan, informasi, dan pengetahuan. Pesan itu disampaikan oleh KH. Amir Jamiluddin di sela-sela menjelaskan isi kitab At-Tadzhib. Beliau menyampaikan, bahwa sebagai guru kita harus terus meng-upgrade diri dan keilmuan. Alasannya karena zaman sekarang ini arus informasi dan pengetahuan tidak bisa dibendung. Siapapun bisa meneyerap informasi dan pengetahuan, dimanapun, dan kapanpun. Jika kita tidak mengikuti arus informasi, maka kita susah untuk berkembang dan susah untuk meneysuaikan diri dengan zaman.

Menjadi seorang guru dan pengajar harus menegerti dengan hal-hal up to date dan kekinian. Bayangkan jika metode dakwah yang dulu digunakan oleh Walisongo untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan media wayang dan kesenian masih digunakan saat ini; tentu tidak banyak orang yang tertarik untuk mendengarkan pesan-pesan dakwah para ustad dan kiai.

Zaman sekarang ada berbagai platform yang bisa digunakan sebagai media dakwah. Misal dengan memposting quotes kiai atau ulama di Instagram, membagikan video ceramah, juga membuat konten dakwah dengan desain gambar dan template video kekinian, diiringi dengan musik shalawat yang sedang viral.

Orang sekarang tentu akan memilih mendengarkan pesan dakwah di Instagram, Youtube dan Tiktok, dibandingkan datang ke acara pagelaran wayang. Ini bukan dalam rangka untuk mendiskreditkan pentas seni wayang. Tapi faktanya, tidak semua orang suka wayang dan paham Bahasa Jawa. Kesenian wayang harus tetap dilestarikan. Tapi persoalan apakah wayang masih tetap relevan untuk dijadikan media dakwah, silakan Anda jawab sendiri.

Pertanyaannya, apakah semua orang memegang ponsel dan memiliki akses internet untuk membuka aplikasi Youutube, Instagram, dan scroll konten-konten yang ada di Tiktok? Jawabannya, tentu saja iya. Hampir semua orang punya ponsel, mulai anak SD sampai nenek-nenek punya ponsel dan bisa mengakses semua platform itu. Hal ini menjadi jawaban apakah orang tertarik mendengarkan pesan dakwah dengan media wayang atau lewat media sosial.

Berdakwah di dunia digital pun harus punya ilmu. Tak hanya punya ilmu, tapi juga harus terus menerus menambah keilmuan, sehingga dakwah lebih bisa diterima oleh netizen. Era dulu, orang suka mendengar ceramah KH. Zainuddin MZ lewat radio bahkan kaset ceramahnya laris terjual. Era sekarang tentu berbeda. Ustad dan Dai tidak hanya satu orang, media yang digunakanpun ada banyak. Ya, setiap zaman ada tokoh, cara, dan memiliki teknologi serta keunikannya masing-masing.

Bagaimana jika hari ini ustad-ustad viral itu masih menggunakan Radio Tape dengan kaset pitanya untuk berdakwah? Jawabannya; tentu saja para ustad idola itu tidak akan menjadi viral dan mendapkan banyak penggemar dan jamaah. Karena sudah tidak ada lagi orang yang mau membeli kaset pita dan menedengarkannya di tape. Sudah bukan zamannya. Mereka bisa dikenal lewat media yang berbeda, yaitu media sosial. Bukan lagi viral dari radio ataupun TV.

Perangkap Setan

Jadi bagaimana dengan kita? Apakah hanya menikmati perkembangan zaman tanpa ada upaya untuk mengembangkan atau meng-upgrade diri dan keilmuan kita? Sepertinya kita sedang masuk dalam perangkap setan. Mengapa saya katakan masuk dalam perangkap setan? Ya, Semakin canggih dan berkembang teknologi, semakin sedikit manusia yang punya keinginan untuk menambah kapasitas diri, semakin sedikit pula manusia yang gemar dan cinta dengan ilmu.

Ponsel digunakan hanya sebatas untuk scroll konten-konten yang low values, nirfaedah, digunakan untuk melihat kasus perceraian dan perselingkuhan artis, juga digunakan untuk melihat live artis atau selebgram idola.

Parahnya lagi, pemuda-pemuda sekarang banyak menghabiskan waktunya di depan layar ponsel untuk memaikan game online yang mereka gemari, bahkan untuk bermain judi slot. Ini terjadi di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pegawai kantoran.

Warung kopi yang dulunya sebagai tempat untuk ngobrol hal-hal kekinian, kini berubah menjadi tempat mabar (main bareng) bagi player game. Adapun bagi yang tidak suka nge-game, memilih untuk scroll Tiktok dan Instagram. Sehingga suasana warung kopi jauh dari komunikasi, dan berubah menjadi neraka bagi mereka yang tidak tertarik untuk berponsel ria.

Itulah realita zaman. Dimana pemuda sudah tidak lagi tertarik untuk menimba ilmu dan mengaji, tapi asik dengan konten-konten tak bermutu dan mengahbiskan waktu untuk game online dari malam hingga pagi. Sangat jauh berebeda dengan KH. Ishaq Latief yang membuka lembaran kitab di warung sate H. Faqih, pemuda sekarang lebih memilih untuk menjadi autis di hadapan segelas kopi dengan tangan yang seolah sudah terikat tali rafia dengan ponsel mahal berboba tiga.

Kiai Ahmad Djazuli, Imam Ghazali, dan Kebinasaan Umat

Saya jadi teringat dengan ceramah Gus Kausar. Beliau berkata, "Mbah Kiai Ahmad Djazuli merupakan figur kiai yang benar-benar mencintai ngaji, memiliki fanatisme akan ngaji. Beliau menghabiskan semua usianya, segenap usianya untuk khidmah kepada ngaji." Itu artinya, di usia yang tidak muda, Kiai Ahmad Djazuli masih menintai ilmu, terus belajar, dan terus meng-upgrade diri dengan keilmuan. Lalu mengapa kita yang muda masih saja mempertahankan kemalasan untuk belajar dan menuntut ilmu? Seolah-olah, jika sudah selesai sekolah dan kuliah, belajar dan menunut ilmu bukanlah menjadi sebuah kewajiban.

Imam Ghazali dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub menyebutkan, "Tinta pada karya tulis ulama dan tetesan darah pejuang sangat penting. Tetapi bobot ganjaran tinta ulama kelak melebihi bobot tetesan darah syuhada." Ini mengisyaratkan bahwa, Imam Ghazali tidak main-main dalam memandang ilmu. Beliau menganggap ilmu adalah sesuatu yang berharga dengan mengibaratkan ilmu sebagai tinta pada karya tulis ulama. Pertanyaanya apa yang mau kita tulis jika tidak pernah membaca, tidak punya pengalaman, berhenti belajar, dan tidak pernah hadir di majelis taklim, dan malas berpikir?

Bahkan ,Rasulullah jauh-jau hari secara frontal, sudah mengingatkan kita. "Kebinasaan umatku terletak pada dua hal, yaitu (1) meninggalkan ilmu, dan (2) menumpuk harta." Ini jelas menjadi tamparan agar kita jangan jauh-jauh dari ilmu. Kehancuran itu berada di depan mata kita. Seperti yang kita lihat, anak-anak zaman sekarang lebih mengidolakan artis-artis yang kehidupannya mewah, daripada mengidolakan ulama dan kiai yang memiliki segudang ilmu, dan jelas statusnya sebagai warasatul anbiya' atau pewaris para nabi.

Sekali lag, ini adalah tamparan bagi kita semua. Kita tentu tidak ingin mejadi umat yang binasa sepeti yang dikatakan oleh Rasulullah. Yaitu menjadi umat yang meninggalkan ilmu dan suka menumpuk harta. Tapi tetap saja kita enggan untuk merubah itu semua karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun, sehingga menjadi pola hidup, dan dalam otak kita sudah terprogram bahwa kita bukanlah bagian dari kaum pembelajar yang haus akan ilmu dan mutiara hikmah dari para ulama.

Bagaimana Agar Tetap Bisa Belajar Saat Kesibukan Menjerat?

Pilihan ada ditangan kita. Mau belajar dan terus meng-upgrade diri atau tidak? "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (Ar-Rad:11). Selama tidak ada keinginan untuk berubah, maka selama itu pula kita tidak akan berubah. Jika keinginan saja tidak punya, bagaimana kita akan berusaha untuk merubah keadaan? Keadaan akan berubah jika dilandasi dengan niat yang kuat, dan keinginan yang disertai dengan tekad. Lebih dari itu, mindset juga berperan penting dalam merubah keadaan dan kebiasaan.

Jika kita sudah merasa butuh, tidak mungkin kita tidak melakukannya. Anda butuh makan, bukan? Tidak mungkin tidak ada waktu untuk makan. Sesibuk apapun kita, tetap saja ccuri-curi waktu untuk makan, karena itu sudah menjadi kebutuhan. Sama halnya dengan ilmu dan belajar. Jika kita sudah menganggap ilmu dan belajar adalah sebuah kebutuhan, maka sesibuk apapun aktifitas dan pekerjaan, kita akan tetap mencuri-curi waktu untuk tetap belajar dan menambah ilmu di sela-sela kesibukan dan aktivitas yang kita jalani. Tidak ada kata "tidak punya waktu," yang ada justru kita yang tidak menyediakan waktu untuk terus belajar dan meng-upgrade diri.

Kita lebih memilih untuk mengisi waktu untuk hal-hal yang tidak penting. Seperti yang saya jelaskan di atas, kita lebih meilih menhabiskan waktu untuk scroll Tiktok ,menikmati konten joget jedag-jedug unfaedah, bermain game online hingga berjam-jam; bahkan tertidur pun dalam kondisi hape di tangan dengan layar ponsel hidup menampilkan konten cewek cantik yang sedang pargoy.

AI dan Santri Abadi

Kalau tidak ada keinginan yang kuat untuk menjadi insan pembelajar abadi, maka selamanya kita akan tergerus teknologi. Apalagi di zaman AI (Artificial Intellegence) alias kecerdasan buatan ini, dimana mesin lebih pintar dari pada manusia. Semua serba instan. Manusia sudah tidak lagi tertarik untuk mengasah kecerdasannya. Tapi lebih memilih menyerahkan semua pekerjaan dan semua tugas itu dilakukan oleh AI. Jalan pintas dianggap pantas. Hingga pada akhirnya, manusia bertumbuh dan berkembang bagaikan bangkai. Ada tapi tak bermanfaat apa-apa, tak punya kecerdasan apapun, tak punya kemampuan apapun, dan jauh dari cahaya ilmu. Naudzubillah.

Guru saya pernah berpesan, "sampai kapanpun tetaplah menjadi santri, walau kamu sudah tidak lagi nyantri." Perkataan beliau ini baru bisa saya serap dan saya pahami dua tahun belakangan. Saya baru sadar bahwa santri itu aktivitasnya hanya seputar ngaji dan ngabdi. Ngaji itu wilayah lingkupnya dengan kitab-kitab alias belajar. Sedang ngabdi itu urusannya adalah dengan pengabdian. Pengabdian pun dibagi menjadi dua; pengabdian kepada Allah dan pengabdian kepada masyarakat.

Ya, saya baru menyadari bahwa pesan guru saya itu adalah isyarat bahwa saya tidak boleh jauh-jauh dari ilmu, tidak boleh jauh-jauh dari kiai atau ulama. Sampai kapanpun dan apapun statusnya di masyarakat, jangan pernah berhenti belajar, menuntut ilmu dan meng-upgrade diri. Belajar dan menuntut ilmu tentu merupakan sarana untuk meng-upgrade diri. Jadi, tidak ada ruginya jika kita terus mencari ilmu, terus menjadi santri yang merasa haus akan ilmu dan mutiara hikmah dari sang guru.

Terinspirasi dari pesan guru saya tersebut, beberapa hari yang lalu saya berpesan kepada santri-santri yang ada di kelas saya, "sampai kapanpun jangan pernah meninggalkan dan menanggalkan status kita sebagai santri. Anggaplah diri kita sebagai santri sampai kapan pun. Sehingga jiwa pembelajar yang sudah dibentuk oleh para guru-guru kita, tidak hilang walau kita sudah tidak di pesantren dan sudah pulang ke kampung halaman."

Walau bagaimanapun, tentulah niat menuntut ilmu harus dibarengi dengan niat dalam rangka mencari ridho Ilahi. Sebab tanpa niat yang yang baik, tentu saja ilmu kita bisa berpotensi mengarahkan kita pada hal-hal yang bersifat mudharat dan jauh dari nilai-nilai kemanusian dan keilahian.  Semoga kita bisa mempertahankan semangat untuk terus mengaji dan mengabdi hingga kembali ke pangkuan ilahi. Wallahua'lam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun