Pertanyaannya, apakah semua orang memegang ponsel dan memiliki akses internet untuk membuka aplikasi Youutube, Instagram, dan scroll konten-konten yang ada di Tiktok? Jawabannya, tentu saja iya. Hampir semua orang punya ponsel, mulai anak SD sampai nenek-nenek punya ponsel dan bisa mengakses semua platform itu. Hal ini menjadi jawaban apakah orang tertarik mendengarkan pesan dakwah dengan media wayang atau lewat media sosial.
Berdakwah di dunia digital pun harus punya ilmu. Tak hanya punya ilmu, tapi juga harus terus menerus menambah keilmuan, sehingga dakwah lebih bisa diterima oleh netizen. Era dulu, orang suka mendengar ceramah KH. Zainuddin MZ lewat radio bahkan kaset ceramahnya laris terjual. Era sekarang tentu berbeda. Ustad dan Dai tidak hanya satu orang, media yang digunakanpun ada banyak. Ya, setiap zaman ada tokoh, cara, dan memiliki teknologi serta keunikannya masing-masing.
Bagaimana jika hari ini ustad-ustad viral itu masih menggunakan Radio Tape dengan kaset pitanya untuk berdakwah? Jawabannya; tentu saja para ustad idola itu tidak akan menjadi viral dan mendapkan banyak penggemar dan jamaah. Karena sudah tidak ada lagi orang yang mau membeli kaset pita dan menedengarkannya di tape. Sudah bukan zamannya. Mereka bisa dikenal lewat media yang berbeda, yaitu media sosial. Bukan lagi viral dari radio ataupun TV.
Perangkap Setan
Jadi bagaimana dengan kita? Apakah hanya menikmati perkembangan zaman tanpa ada upaya untuk mengembangkan atau meng-upgrade diri dan keilmuan kita? Sepertinya kita sedang masuk dalam perangkap setan. Mengapa saya katakan masuk dalam perangkap setan? Ya, Semakin canggih dan berkembang teknologi, semakin sedikit manusia yang punya keinginan untuk menambah kapasitas diri, semakin sedikit pula manusia yang gemar dan cinta dengan ilmu.
Ponsel digunakan hanya sebatas untuk scroll konten-konten yang low values, nirfaedah, digunakan untuk melihat kasus perceraian dan perselingkuhan artis, juga digunakan untuk melihat live artis atau selebgram idola.
Parahnya lagi, pemuda-pemuda sekarang banyak menghabiskan waktunya di depan layar ponsel untuk memaikan game online yang mereka gemari, bahkan untuk bermain judi slot. Ini terjadi di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pegawai kantoran.
Warung kopi yang dulunya sebagai tempat untuk ngobrol hal-hal kekinian, kini berubah menjadi tempat mabar (main bareng) bagi player game. Adapun bagi yang tidak suka nge-game, memilih untuk scroll Tiktok dan Instagram. Sehingga suasana warung kopi jauh dari komunikasi, dan berubah menjadi neraka bagi mereka yang tidak tertarik untuk berponsel ria.
Itulah realita zaman. Dimana pemuda sudah tidak lagi tertarik untuk menimba ilmu dan mengaji, tapi asik dengan konten-konten tak bermutu dan mengahbiskan waktu untuk game online dari malam hingga pagi. Sangat jauh berebeda dengan KH. Ishaq Latief yang membuka lembaran kitab di warung sate H. Faqih, pemuda sekarang lebih memilih untuk menjadi autis di hadapan segelas kopi dengan tangan yang seolah sudah terikat tali rafia dengan ponsel mahal berboba tiga.
Kiai Ahmad Djazuli, Imam Ghazali, dan Kebinasaan Umat
Saya jadi teringat dengan ceramah Gus Kausar. Beliau berkata, "Mbah Kiai Ahmad Djazuli merupakan figur kiai yang benar-benar mencintai ngaji, memiliki fanatisme akan ngaji. Beliau menghabiskan semua usianya, segenap usianya untuk khidmah kepada ngaji." Itu artinya, di usia yang tidak muda, Kiai Ahmad Djazuli masih menintai ilmu, terus belajar, dan terus meng-upgrade diri dengan keilmuan. Lalu mengapa kita yang muda masih saja mempertahankan kemalasan untuk belajar dan menuntut ilmu? Seolah-olah, jika sudah selesai sekolah dan kuliah, belajar dan menunut ilmu bukanlah menjadi sebuah kewajiban.