Mohon tunggu...
Zahidah Firdausi
Zahidah Firdausi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sedang belajar di dunia media, sosial, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Book

Hubungan Sipil dan Militer dalam Negara Demokrasi

27 September 2023   03:35 Diperbarui: 27 September 2023   04:02 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sipil dan militer adalah komponen yang sangat penting dalam mempertahankan keutuhan negara. Namun, bagaimana standar hubungan sipil dan militer seharusnya dibangun? Terutama di dalam negara demokrasi yang menempatkan rakyat pada kedaulatan/ kekuasaan tertinggi. 

Di Indonesia misalnya, sebagai salah satu negara demokrasi, topik mengenai hubungan sipil dan militer juga menjadi hal yang marak dibicarakan sejak jatuhnya kekuasaan orde baru. 

Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia memulai masa reformasi dengan semangat baru menegakkan demokrasi sehingga pemetaan hubungan sipil dan militer menjadi hal penting yang perlu dipastikan untuk menjaga keberlangsungan demokrasi. 

Di dalam buku Hubungan Sipil dan Militer (Dalam Diskursus RUU Keamanan) karya Dr. Yusa Djuyandi kita dapat menemukan pembahasan secara komprehensif dan mendetail bagaimana hubungan sipil dan militer dalam negara demokrasi dibangun.

Buku Hubungan Sipil dan Militer (Dalam Diskursus RUU Keamanan) karya Dr. Yusa Djuyandi/Dok pribadi
Buku Hubungan Sipil dan Militer (Dalam Diskursus RUU Keamanan) karya Dr. Yusa Djuyandi/Dok pribadi

Supremasi Sipil Atas Militer dalam Negara Demokrasi

Di dalam negara demokrasi, permasalahan mendasar dari hubungan antar sipil dan militer adalah terwujudnya supremasi sipil atas militer (Djuyandi, 2019: 12). Supremasi sipil (civil supremacy) dalam konteks hubungan sipil militer menurut Prihatono, dkk (dalam Djuyandi, 2019: 12) harus dimengerti sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berati semua rakyat adalah warga negara yang menjadi stakeholder. Dalam praktiknya, yang dimaksud dengan supremasi sipil adalah harus adanya perwakilan yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis dan ada akuntabilitas politiknya, serta harus ada pula aturan hukum yang wajib dijunjung tinggi oleh semua stakeholder. Kohn (dalam Djuyandi, 2019: 13) pun menambahkan bahwa yang dimaksud dengan supremasi sipil ialah kapatuhan dan ketundukan militer pada pemerintahan yang dipilih secara demokratis sehingga dalam negara demokrasi yang menempatkan sipil pada kekuasaan tertinggi, supremasi sipil atas militer merupakan hal yang pasti dan tak bisa dihindari. Karena bagaimanapun, kontrol sipil menjadi dasar dan syarat dalam proses berdemokrasi (Djuyandi, 2019: 13).

Siapa saja pemain yang terlibat dalam hubungan sipil dan militer dalam kondisi riilnya? Diantara definisi yang begitu beragam, kita dapat mengidentifikasi secara garis besar bahwa wujud hubungan antara keduanya adalah adanya interaksi antara lembaga militer sebagai sisi dari kelompok militer dengan kelompok sipil yang terdiri dari pengambil keputusan negara/pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemimpin opini publik dan tentunya masyarakat.

Dalam realitanya, terdapat fenomena perbedaan kondisi keseimbangan kekuatan antara elit sipil dan militer dalam menata dan melaksanakan strategi keamanan nasional. Para ahli kemudian menggambarkan dinamika hubungan sipil militer tersebut ke dalam dua kategori, yakni kontrol sipil yang subyektif dan kontrol sipil yang obyektif.

Kontrol Sipil Subyektif atau Obyektif?

Huntington dan Janowitz bisa disebut sebagai founding fathers dari teori hubungan sipil dan militer ini. Karena dari merekalah basis ide dari teori ini dibangun. Dari mereka berdua kemudian muncullah teoritisi lain yang memiliki pemikiran yang tidak kalah hebat, seperti Feaver, Cohen dan Schiff (Djuyandi, 2019: 17). 

Hubungan sipil militer dalam konteks kecenderungan kontrol sipil atas militer kemudian dirangkum oleh Feaver dalam Teori Ajensinya, dimana ia membagi hubungan sipil militer ke dalam 4 pola, seperti di bawah ini:

Teori Ajensi dari Feaver (dalam Djuyandi, 2019: 18)
Teori Ajensi dari Feaver (dalam Djuyandi, 2019: 18)

Dalam gambar tersebut terlihat bahwa Feaver pertama-tama membagi kecenderungan kontrol sipil ke dalam 2 kutub, yakni kontrol sipil subyektif dan kontrol sipil obyektif. 

Semakin ke kiri artinya kontrol sipil subyektif dan semakin ke kanan artinya kontrol sipil obyektif. Kemudian dari dua kutub kontrol tersebut ia membagi menjadi 4 kategori. Dari ujung kiri yakni CMI-MW (ekstrim subyektif), CMI-MS (subyektif), CMU-MW (obyektif), sampai ke ujung kanan yakni CMU-MS (ekstrim obyektif).

Definisi mengenai kontrol sipil obyektif dan subyektif ini sebelumnya sudah banyak dijelaskan pula oleh founding fathers dari teori hubungan sipil militer, yakni Huntington. 

Pada intinya kontrol sipil obyektif adalah ketika elit militer semakin efektif dengan minimnya pengaruh militer dalam mengambil keputusan nasional. Sedangkan kontrol sipil subyektif adalah ketika militer semakin terlibat dalam mengambil keputusan nasional seperti dalam kancah politik dan isu kelembagaan strategi keamanan nasional. Dalam posisi demikian maka kontrol sipil terhadap militer menurun.

Ziippwald (dalam Djuyandi, 2019: 19) mengatakan bahwa semakin banyak militer terlibat dalam kancah politik dan situasi pengambilan keputusan nasional maka akan menurunkan kapabilitas militer dalam mempertahankan negara. Zippwald pun mengutip Huntington yang percaya bahwa memaksimalkan kontrol sipil objektif adalah cara terbaik untuk mencapai hubungan sipil militer yang efektif. Dalam pelaksanaannya, Zippwald (dalam Djuyandi, 2019: 19) mengatakan bukan hanya perihal ketundukan militer pada aturan damai atau perang, tetapi lebih dari itu berkenaan dengan ideologi antara masyarakat sipil dan etika professional militer. Pada akhirnya, tujuan dari kontrol sipil obyektif adalah memiliterkan kelompok militer dengan menfokuskan tugas militer sebagai alat negara dalam menjaga pertahanan dan kemanan (Djuyandi, 2019: 19).

Analisis Teori Hubungan Sipil dan Militer dari Beberapa Ahli

Dalam bukunya, Dr. Yusa Djuyandi menguraikan dan membandingkan teori yang diungkapkan oleh para pakar teori hubungan sipil militer, yakni Huntington, Janowitz, Cohen, Schiff, dan Feaver. Secara singkat, penjelasan dari masing-masing teori serta perbandingannya terangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel Teori Hubungan Sipil Militer oleh Andrew (dalam Djuyandi, 2019: 21)
Tabel Teori Hubungan Sipil Militer oleh Andrew (dalam Djuyandi, 2019: 21)

Dari table di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa profesionalisme militer sangat penting dalam hubungan sipil-militer dan kontrol sipil objektif adalah yang lebih banyak disarankan oleh para pakar.

Maka kita dapat menyimpulan, bahwa dalam negara demokrasi, kontrol sipil objektif perlulah dibangun untuk memaksimalkan profesionalisme militer. Oleh karena itu, seluruh kelompok sipil, baik itu dari pengambil keputusan negara/pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemimpin opini publik dan tentunya masyarakat perlu berperan dalam reformasi sektor keamanan.

Hubungan Sipil – Militer dalam Mewujudkan Keamanan di Negara Demokrasi

Sejak kapan sebetulnya konsep keamanan dengan demokrasi saling berkaitan? Jika meihat pada sejarahnya, kekuatan militer memang identik dengan kekuatan negara. 

Namun, pasca Perang Dunia II dan perang dingin, kini dunia tidak lagi menghadapi situasi perang sehingga isu keamanan pun bergeser dari tradisional menjadi non-tradisional. 

Isu keamanan bukan lagi melulu soal peperangan, melainkan tentang menjalin hubungan negara dengan negara serta hubungan negara dengan masyarakat dalam konteks human security. Kondisi inilah yang kemudian menunjukkan pentingnya hubungan sipil-militer dalam negara demokrasi (Djuyandi, 2019: 23).

Pada dasarnya human security merupakan wujud dari keamanan non-tradisional. Shinoda (dalam Djuyandi, 2019: 24) menjelaskan awal mula konsep keamanan ini muncul adalah karena adanya pengaruh dari aspek demokratisasi, internasionalisai, dan sosialisasi. Dari sanalah lahir tanggungjawab atas permasalahan politik, ekonomi dan sosial yang menjadi tanggung jawab bersama. Tentu dalam pengelolaan permasalahan berbagai aspek tersebut menjadi bagian dari aktivitas politik. Maka, human security hadir sebagai konsep keamanan manusia yang berbicara mengenai kebebasan dan keamanan dalam ancaman politik. Hal senada pun diungkapkan oleh Baylis, et.al. (dalam Djuyandi, 2019: 24), bahwa human security pada dasarnya mengembalikan konsep keamanan kepada hakekat manusia yang membutuhkan rasa aman dari segala ancaman baik itu dari instritusi maupun alam.

Terlindunginya masyarakat dari ancaman politik yang ditimbulkan oleh pemerintah selaku operator negara merupakan syarat yang harus ada dalam negara demokrasi. 

Dari berbagai teori yang telah diurai diatas dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan sistem politik demokrasi menuntut adanya hubungan baru antar sipil-militer yang dapat memastikan keamanan, yakni dengan adanya kontrol sipil terhadap militer (Djuyandi, 2019: 28).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun