Sipil dan militer adalah komponen yang sangat penting dalam mempertahankan keutuhan negara. Namun, bagaimana standar hubungan sipil dan militer seharusnya dibangun? Terutama di dalam negara demokrasi yang menempatkan rakyat pada kedaulatan/ kekuasaan tertinggi.Â
Di Indonesia misalnya, sebagai salah satu negara demokrasi, topik mengenai hubungan sipil dan militer juga menjadi hal yang marak dibicarakan sejak jatuhnya kekuasaan orde baru.Â
Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia memulai masa reformasi dengan semangat baru menegakkan demokrasi sehingga pemetaan hubungan sipil dan militer menjadi hal penting yang perlu dipastikan untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.Â
Di dalam buku Hubungan Sipil dan Militer (Dalam Diskursus RUU Keamanan) karya Dr. Yusa Djuyandi kita dapat menemukan pembahasan secara komprehensif dan mendetail bagaimana hubungan sipil dan militer dalam negara demokrasi dibangun.
Supremasi Sipil Atas Militer dalam Negara Demokrasi
Di dalam negara demokrasi, permasalahan mendasar dari hubungan antar sipil dan militer adalah terwujudnya supremasi sipil atas militer (Djuyandi, 2019: 12). Supremasi sipil (civil supremacy) dalam konteks hubungan sipil militer menurut Prihatono, dkk (dalam Djuyandi, 2019: 12) harus dimengerti sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berati semua rakyat adalah warga negara yang menjadi stakeholder. Dalam praktiknya, yang dimaksud dengan supremasi sipil adalah harus adanya perwakilan yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis dan ada akuntabilitas politiknya, serta harus ada pula aturan hukum yang wajib dijunjung tinggi oleh semua stakeholder. Kohn (dalam Djuyandi, 2019: 13) pun menambahkan bahwa yang dimaksud dengan supremasi sipil ialah kapatuhan dan ketundukan militer pada pemerintahan yang dipilih secara demokratis sehingga dalam negara demokrasi yang menempatkan sipil pada kekuasaan tertinggi, supremasi sipil atas militer merupakan hal yang pasti dan tak bisa dihindari. Karena bagaimanapun, kontrol sipil menjadi dasar dan syarat dalam proses berdemokrasi (Djuyandi, 2019: 13).
Siapa saja pemain yang terlibat dalam hubungan sipil dan militer dalam kondisi riilnya? Diantara definisi yang begitu beragam, kita dapat mengidentifikasi secara garis besar bahwa wujud hubungan antara keduanya adalah adanya interaksi antara lembaga militer sebagai sisi dari kelompok militer dengan kelompok sipil yang terdiri dari pengambil keputusan negara/pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemimpin opini publik dan tentunya masyarakat.
Dalam realitanya, terdapat fenomena perbedaan kondisi keseimbangan kekuatan antara elit sipil dan militer dalam menata dan melaksanakan strategi keamanan nasional. Para ahli kemudian menggambarkan dinamika hubungan sipil militer tersebut ke dalam dua kategori, yakni kontrol sipil yang subyektif dan kontrol sipil yang obyektif.
Kontrol Sipil Subyektif atau Obyektif?
Huntington dan Janowitz bisa disebut sebagai founding fathers dari teori hubungan sipil dan militer ini. Karena dari merekalah basis ide dari teori ini dibangun. Dari mereka berdua kemudian muncullah teoritisi lain yang memiliki pemikiran yang tidak kalah hebat, seperti Feaver, Cohen dan Schiff (Djuyandi, 2019: 17).Â
Hubungan sipil militer dalam konteks kecenderungan kontrol sipil atas militer kemudian dirangkum oleh Feaver dalam Teori Ajensinya, dimana ia membagi hubungan sipil militer ke dalam 4 pola, seperti di bawah ini: