Kami melanjutkan briefing sambil mencuri-curi pandang pada aksi mereka, sekaligus berusaha tidak memedulikan mereka yang sibuk beraksi. Kukira mereka akan turun lewat jalan berputar. Ternyata, mereka turun di situ juga. Menurut penglihatanku yang mengimajinasikan bagaimana motor turun dari puncak bukit, itu akan terguling. Tapi ternyata tidak. WAH! Aku ikut teman-teman yang berteriak kagum dan bertepuk tangan. KAPAN LAGI SIH NONTON AKSI MOTOR TRAIL LANGSUNG DAN GRATIS?!
Kabar kurang menyenangkannya datang. Ternyata untuk sampai di puncak bukit, kami harus mendaki. Dan kenapa aku agak sedih? Karena aku lupa membawa sandal gunung atau sepatu kets. Dari rumah, aku memakai sepatu sandal dengan hak pendek. Tapi tetap saja tidak mungkin dipakai mendaki. Jujur, aku nggak kepikiran bakalan mendaki bukit terjal kayak gini. BUKITNYA LUMAYAN TERJAL!
Berkat kemampuan yang muncul karena adanya paksaan secara alami, akhirnya aku berusaha mendaki dengan sepatu sandal yang sangat nggak cocok dipakai mendaki. Sebenarnya saat mendaki, kami harus memasang ekspresi bahagia. Tapi itu jadi nggak berlaku buatku. Sambil memegang boneka, aku mendaki dengan ekspresi nggak karuan. Saat tinggal sekitar 100 meter menuju puncak bukit, kuputuskan mendaki dengan berlari. B E R L A R I.
Dan itu memakan banyak tenaga. Kenapa lari? Karena aku lelah berjalan mendaki dengan salah alas kaki. Semakin cepat semakin baik. Jadi setelah sampai di puncak bukit, 5 menit duduk meluruskan kaki, kita diminta berdiri lagi sama beberapa teman. Karena ternyata bukan cuma ada motor trail, ada juga mobil-mobil gunung yang sedang latihan akan lewat jalan yang tadi kami daki. WUAH!
Kami memberi jalan. Anehnya, seangkatan berdiri membuat 2 barisan di sepanjang jalan, ruas kanan dan kiri. Sebenarnya aku bingung bagaimana menentukan ruas jalannya, karena nggak ada jalan di situ. Cuma ada rumput gersang dan semak belukar. Tapi nggak apa-apa. Dan setiap ada mobil lewat, teman-teman ada yang berteriak menyoraki, bertepuk tangan, dan iseng berteriak pada pengendara mobil gunung : "Om punya air nggak? Kita haus!" dan disambut gelak tawa juga lambaian dari para pengemudi.
Aku merasa aneh. Karena seolah-olah kita berdiri seperti ini kayak menyambut para pemenang lomba. Dengan balon-balon 3 warna yang dipegang oleh beberapa teman di ujung jalan, membuat suasana berubah. Dari lelah sehabis mendaki demi video angkatan, menjadi penyambutan mobil gunung dan motor trail. Oke, lupakan!
Jadi akhirnya kami mulai mengatur formasi. Kami berdiri berjejer sepanjang puncak bukit, perempuan dan laki-laki diselang-seling, perempuan memegang balon, dan kami semua memasang ekspresi sebahagia mungkin karena drone yang terbang akan mengclose-up wajah kami satu per satu.Â
Langit memang sedikit mendung sejak mendaki. Ketika drone sudah terbang dan sedang mengambil posisi, rintik hujan turun, dan teman yang memegang kendali atas drone memutuskan menurunkannya karena nggak mau ambil resiko. Tapi kami tidak mengeluh atas turunnya hujan. Kenapa? Karena kami sadar bahwa hujan adalah rahmat Yang Maha Kuasa. Dan kami pun mencintai hujan!
Kami menuruni bukit sampai ke bagian yang landai sambil dibuat video. Itu dilakukan sekitar kurang dari 50 meter dari puncak bukit, sambil kami berlari menuruni bukit. Kemudian, kami naik lagi sambil meneriakkan nama angkatan. Setelah semua selesai, kami turun lagi.