Mohon tunggu...
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang bertumbuh

Berjejak, tak berjasad

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Day School Bikin Tumbang

25 Agustus 2017   21:38 Diperbarui: 26 Agustus 2017   00:19 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan pemeintah mengenai full day school yang secara hokum melalui Peraturan Menteri No. 23 tahun 2017 yang ditandatangani tanggal 12 Juni 2017 tentang hari sekolah menjadi ramai dalam debat publik baik di media sosial, media cetak, media elektronik maupun dialog di warung-warung kopi.  Debat antara yang setuju dan tidak setuju menjadi tontonan hiburan mengisi waktu liburan sekolah.   Sebagai anak sekolah saya sebenarnya tak peduli dengan kebijakan tersebut, karena bahwa sekolah akan melaksanakan full day school dan hari Sabtu menjadi libur, saya sebagai bagian peserta didik merasa biasa-biasa saja. Toh, sejak SMP pun rasanya sudah full day school juga. Jadi apa bedanya? Sabtu menjadi hari libur? Wuah! Ini dia anugrahnya. Selama saya sekolah sejak TK, tidak pernah sekolah yang saya duduki meliburkan siswa-siswinya di hari Sabtu. Jadi saya tertarik dengan program pemerintah yang satu ini. Tidak seperti berita-berita biasanya yang saya abaikan, yang ini amat menarik, bagi saya. Karena, kedua orangtua saya memiliki hari libur di hari Sabtu, meski seringkali diisi untuk kegiatan-kegiatan mahasiswanya. Tapi ini artinya saya bias menghabiskan dua hari setiap pecan untuk bersantai ria dengan keluarga.

SMA tempat saya bersekolah memiliki jam masuk 7.15 dan jam pulang sekolah pada pukul 15.00. Ini membuktikan bahwa sekolah tempat saya merasakan serunya masa putih abu-abu sudah melaksanakan full day school bahkan jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan. Bedanya, hari Sabtu tetap sekolah dengan jam pulang pukul 14.00.

Meski begitu, pengalaman selama dua tahun bersekolah di sana, ada minggu-minggu dimana hari minggu pun kami harus ke sekolah, menghabiskan pagi hingga sore di sana. Libur sekolah karena kakak-kakak kelas melaksanakan Ujian Sekolah dan Ujian Nasional pun kami masih ke sekolah. Saya bahkan pernah memaksakan diri untuk ikhlas melepas beberapa hari libur saya untuk 'mengabdikan' diri pada sekolah. Dengan catatan bahwa saya setengah hati dating ke sekolah karena rencana berhibernasi selama libur yang cukup panjang tersebut gagal total. Padahal, sudah dirancang dua minggu sebelum libur diumumkan. Maklum, murid lebih hafal tanggal-tanggal merah dibandingkan pihak sekolah. Sehingga sekolah merasa tidak perlu lagi mengumumkannya. Jadi, hari-hari itu saya melakukan berbagai kegiatan, seperti rapat kegiatan, menyusun proposal untuk ikut lomba, latihan beberapa tugas dari guru yang kadang harus ditampilkan untuk mendapat nilai tinggi di rapor, dan banyak lainnya.

Hari pertama sekolah adalah hari Senin, 17 Juli 2017. Tapi kami hanya dating untuk membersihkan kelas baru. Saya mendapat kelas di Lab. Fisika. Hari itu saya mendapati ruangan tempat melakukan berbagai eksperimen tersebut berdebu tebal karena jarang dipakai. Halaman depannya penuh dengan kotoran burung, dedaunan dan banyak lainnya yang membuat kelas beserta koridornya menjadi tampak... ah, saya tidak tahu kata apa yang pas. Sehingga, pada hari pertama sekolah, kami mempraktekkan sekaligus melestarikan budaya bangsa Indonesia yang mulai terkikis oleh sifat individualisme, yakni bergotong-royong. Setelah kelas bersih, kami hanya bersantai, hingga pukul 12.00 masing-masing mulai memutuskan pulang karena guru-guru masih merapatkan apakah sekolah akan melaksanakan full day school atautidak.

Dan esoknya, jawaban itu ada. Sekitar jam pelajaran kedua, guru fisika masuk tiba-tiba, dan memulai kelas pertama dengan perkenalan, karena guru tersebut memang belum pernah mengajar di angkatan kami sama sekali. Ia memang mengajar khusus untuk kelas 12. Sebelum keluar, ia memberikan kami tiga lembar kertas yang isinya jadwal pelajaran kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Yang mengejutkan, tidak sesuai prediksi, bahwasanya sekolah kami yang sudah full day school jauh sebelum hari-hari dikeluarkannya peraturan tersebut, sekarang lebih full day lagi. Pulangnya jam berapa? Pukul 17.00, SETIAP HARI. Disitulah saya mulai menarik nafas, mencoba menenangkan diri, membujuk hati bahwa saya bias menghadapi jadwal tersebut setiap hari meski adgian hati yang ingin memaki. Meski dalam satu hari seluruh pelajaran berhitung baik yang peminatan maupun yang umum ada dalam hari yang sama, saya mencoba tersenyum membayangkan betapa menyenangkannya berhibernasi selama dua hari setiap akhir pekannya.

Tiba-tiba terpikir oleh saya ..... jika sebelumnya ada banyak PR, baik tugas individu maupun tugas kelompok, sekarang apakah dengan pulang pukul 17.00 setiap hari akan lebih banyak juga PR dan tugas yang harus dibawa pulang ke rumah? Apakah dengan pulang pukul 17.00, siswa tidak perlu les di berbagai tempat saat malam hari? Apakah kami sebagai siswa bias memberikan seluruh rasa percaya yang ada di hati untuk sekolah? Memercayakan masa depan kami? Memercayakan kesuksesan kami nanti dalam menghadapi Ujian Nasional, dengan jujur tanpa ada kecurangan? Juga harapan bias masuk perguruan tinggi favorit? Apakah berbagai kecemasan, resah gelisah, berbagai... ah, terlalu banyak cemas-cemas yang harus kami pertaruhkan sebagai peserta didik di sekolah.

Menurut saya, jika memang benar full day school dilaksanakan seperti ini dengan libur di hari Sabtu, dengan pulang selalu pukul 17.00, lebih lama satu jam dibandingkan jam pulang PNS pukul 16.00. Lebih lama satu jam dari pada kantor-kantor pemerintah yang juga tutup pada pukul 16.00. Juga lebih lama satu jam dibandingkan jam pulang kerja kedua orangtua saya. Jika biasanya saya menunggu kedua orangtua selesai bekerja, sekarang kebalikannya.

Apakah nanti jika pulang lambat seperti ini, saat pulang rumah kami akan berat membawa pulang PR-PR dan tugas-tugas dari sekolah? Apakah jika pulang selalu pukul 17.00 bahkan jika itu hari jum'at? Hari libur nasional dan tanggal-tanggal yang memang harusnya libur tidak mesti datang ke sekolah kecuali itu memang amat terpaksa juga mendesak seperti berurusan dengan nilai rapor atau lomba-lomba yang akan diikuti.

Apakah PR akan bertambah dua kali lipat? Apakah tugas juga akan dengan lebih mudah diberikan guru untuk dibawa pulang? Apakah... ?Apakah.....?
Ah, seluruh pertanyaan di benak saya itu, tidak bias diutarakan semua. Terhenti, mereka terbang bebas, tanpa tahu jawabannya terkecuali waktu yang menjawab, yakni dengan cara diam saja dan menunggu guru-guru mengajar seperti biasa dan terjun langsung merasakannya sendiri.

Setelah satu bulan satu minggu menjalani kehidupan full day school, saya tetap senang dengan libur dihari sabtunya. Tapi tidak dengan tugasnya. Nyaris setiap malam, saya mengerjakan laporan praktikum, kuis hampir setiap hari, tugas kelompok yang banyak, dan peraturan baru di sekolah yang menurut saya memberatkan. Yakni masuk sekolah pukul 07.00. mengapa? Hal ini dikarenakan tugas yang dikerjakan malam hari untuk keesokan harinya, membuat saya bergadang hingga pukul 2 pagi. Dan beberapa hari ini, setelah tidur tak tentu waktu, sampai di rumah langsung tidur dan bangun tengah malam untuk mengerjakan tugas-tugas, makan tak teratur, bahkan gizi dalam makanan tidak lagi saya pedulikan, kemarin saya pun tumbang juga saat pelajaran biologi berlangsung.

Beberapa minggu ini memang banyak kawan yang akhirnya jatuh sakit, beberapa bahkan masuk rumah sakit hingga beberapa hari. Ada yang karena usus buntu sehingga harus di operasi, sakit demam, kelelahan, flu berat, dan beragam sakit lainnya. Kemarin giliran saya yang jarang sakit, yang selalu sarapan *tidak seperti teman lain yang tidak biasa makan pagi*, selalu berusaha makan tiga kali sehari dan tidur minimal 6 jam tiap harinya, tumbang juga. Tiga hari ini memang saya merasa tidak enak badan. Tapi saya memaksakan diri sekolah, mengingat saya yang jurusan MIPA setiap hari berkutat dengan angka-angka Matematika, Fisika dan Kimia secara bergantian, saya tidak berani ambil resiko.

Saat praktek Biologi kemarin, saya benar-benar menguatkan diri. Ini karena saya amat suka dengan pelajaran yang satu ini. Tidak ada sejarahnya saya meninggalkan pelajaran Biologi meski sedang sakit karena saya suka Biologi. Tapi, saat merebus hati ayam dalam tabung reaksi, saya mencium bau spiritus yang tajam. Dan entah kenapa ini membuat saya semakin pusing, dan kemudian menjauhkan diri dari sana, terduduk lemas di lantai. Akhirnya saya pun  diantar ke uks, namun karena mengira UKS dikunci seperti biasanya, saya memutuskan diri beristirahat di kelas saja. Kelas yang ada di lantai 2, saya menguatkan diri naik tangga. Namun belum sampai di pintu kelas, saya merasa akan jatuh, sehingga saya segera duduk dan kamudian dibantu oleh teman kelas sebelah yang sedang kosong karena guru yang tidak masuk, membawa saya ke UKS dan entah mendapatkan kunci darimana, UKS pun terbuka. Saya tidur dan kemudian dijemput Papah untuk pulang ke rumah. Hari ini pun saya tidak sekolah. Saya takut tumbang lagi seperti kemarin.

Konsekuensinya apa? Saya harus mengejar pelajaran Kimia yang tiap masuk selalu ada kuis. Tapi syukurnya besok adalah Sabtu yang telah menjadi hari libur. Sehingga saya bisa beristirahat sambil belajar untuk hari Seninnya mengejar kuis Kimia. Saya jadi menyimpan tanya dalam hati. Full day school yang diterapkan ini bertujuan apa? pintar berkualitas, otak encer, meski ujungnya malah menciptakan generasi mudah sakit? Tidur dan makan jadi tidak teratur. Pulang pun belum belajar lagi di rumah karena habis untuk kelelahan tenggelam dalam tugas. Apakah yang mengusulkan program ini tahu sekaligus merasakan padatnya program yang dijalankan? Jangan bilang memahami kami kalau tidak terjun sendiri. Jangan bilang salah kami yang tidak tahu mengatur waktu kalau kalian sendiri tidak tahu rasanya bangun terlambat karena bergadang mengerjakan tugas kemudian datang terlambat ke sekolah dan dimarahi oleh guru yang memberikan tugas.

Setelah melewati ini semua, saya menjadi bimbang. Baikkah full day school untuk siswa jika mendatangkan sakit? Ah, saya hanya bisa mengikuti saja. Toh, dalam peran ini saya hanya siswa yang dituntut untuk menguasai 14 mata pelajaran, entah bagaimana dengan pemerintah yang menciptakan sistem tersebut. Saya tidak yakin mereka mampu menguasai ini semua secara bersamaan, sedangkan kami dituntut untuk bisa dalam seluruh bidang. Belum lagi guru mata pelajaran pasti selalu saja ada yang tidak masuk dalam seminggu. Minggu ini saja, terhitung Senin-Rabu dimana saya full sekolah, dua mata pelajaran tidak masuk. Entah karena apa. Saya merasa, jika suatu saat saya membolos sekolah, harusnya tidak mendapat hukuman. Siswa hanya mencontoh pada gurunya, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun