Mohon tunggu...
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang bertumbuh

Berjejak, tak berjasad

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bioskop dan 'Teman Lama'

27 Desember 2016   22:29 Diperbarui: 27 Desember 2016   22:37 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hp-ku berbunyi. Itu pastilah pesan chat dari sahabatku, Nadya. Sore ini, aku bersama Nadya dan Aqsha memang janjian untuk nonton bareng salah satu film dengan genre thriller di bioskop satu-satunya di kota kami. Jenuh dengan rutinitas sehari-hari yang padat mulai dari sekolah, tugas rumah, tugas kelompok bahkan beberapa organisasi yang semuanya sedang padat-padatnya. Jadi, hari  minggu sore ini, aku, Nadya, dan Aqsha hendak menghabiskan sisa waktu libur bersama.

Isi dari pesan itu singkat saja. Hanya menanyakan keberadaanku meski sebenarnya rumahku dan rumahnya ada dalam kompleks perumahan yang sama. Aku melirik jam yang tergantung di dinding kamarku. Aku belum lama terbangun. Mengisi hari libur dengan tidur. Membalaskan ‘dendam’ terhadap waktu yang saat hari-hari kugunakan bergadang mengerjakan tugas.

Aku menutup lagi mataku. Rasa malas masih melingkupiku. Istilah kerennya mager, malas gerak. Baru saja mataku hendak tertutup, hp-ku berbunyi lagi. Kali ini bukan hanya satu dua pesan, tapi banyak. seperti chat grup kalau sedang ramai-ramainya. Kulirik sekilas dari siapa gerangan. Astaga! Nadya! Pesannya tadi hanya kubaca tanpa membalasnya. Segera kubuka pesannya dan membalasnya. Luar biasa. Tak sampai semenit, 29 pesan berhasil ia kirimkan. Ini sih nge-spam namanya.

“Rifli, kau dimana?”

“Di rumah. Baru bangun.”

“Astaga… cepat... Ini sudah jam berapa?”

“Iya sabar. Sebentar”

Tak langsung bangun dan bersiap, lima menit kuhabiskan untuk berbaring sebentar yang akhirnya aku baru bersiap. 20 menit kemudian aku mengirim pesan lagi pada Nadya.

“Kau dimana?”

Walau 100% kuyakin ia akan menjawab di rumah, aku tetap bertanya.

“Di rumah. Kau sudah dimana?” Nadya membalas dengan cepat.

“Kujemput. Siap-siap.”

Akupun meminta izin pada Mama yang sedang santai duduk di beranda rumah dan mengeluarkan motorku. Tak lama kemudian sampailah aku di depan rumah Nadya. Nadya sudah bersiap dan segera duduk di belakangku. Di tengah jalan, Nadya menepuk pundakku. Kukatakan padanya nanti di lampu merah saja. Di lampu merah, Nadya pun membacakan pesan dari Aqsha.

“Rif, Aqsha sudah di sana.”

“Bilang sebentar lagi. Tunggu di dalam saja. Diluar panas” ujarku. Matahari di kota ini memang luar biasa.

Sekitar 15 menit kemudian, aku dan Nadya menaiki tangganya dan masuk ke Bioskop yang terletak di lantai paling atas gedung itu. Kulihat Aqsha sedang memainkan hp-nya sambil duduk dibawah poster salah satu film komedi yang memiliki banyak penonton.

“Aqsha…” Aku menyapanya sambil duduk di sebelah kanannya.

“Kenapa lama? Coba liat, jam berapa ini?”

“Rifli baru bangun” Nadya menjawab pendek. Aku hanya tertawa.

“Sini, mana uang? Aku beli tiketnya” tawarku. Nadya dan Aqsha menyerahkan uang dan aku pun segera mengantri. Untunglah tidak harus lama menunggu. Filmnya akan mulai 20 menit lagi. Kembali ke tempat duduk tadi, tak kudapati Aqsha dan Nadya di sana. Namun aku duduk saja. Mungkin hanya membeli popcorn atau cemilan sembari nonton nanti.

Benar saja. Tak lama kemudian mereka datang dengan popcorn di tangan. Tak lama menunggu, kami bertiga pun masuk ke Bioskop. Duduk di bangku bagian belakang, aku melihat teman SMP-ku dulu dari belakang hendak duduk di barisan depan. Saat dia sudah duduk, karena memang dulunya sangat akrab, kudoronglah kepalanya hingga ia sendiri pun terkejut.

Saat ia menoleh kebelakang untuk melihat ada apa gerangan, aku menyadari satu hal. Dia bukanlah teman yang kukira. Melihat wajahnya saja belum pernah. Giliran aku yang terkejut. Sok akrab, nyatanya bukanlah temanku. Sok dekat, nyatanya kenal pun belum. Aku langsung mengatupkan tangan, meminta maaf. Dan menundukkan kepala, menyembunyikan muka. Ia sendiri tak menoleh-menolah lagi. Entah mengapa. Nadya dan Aqsha menertawakan kecerobohanku. Dan untukku, ini pelajaran. Lain waktu, harus benar-benar tahu betul bahwa itu orang yang kumaksud. Atau, akhirnya menanggung malu. Seperti hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun