Mohon tunggu...
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang bertumbuh

Berjejak, tak berjasad

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Terbuka Untuk Guru Luar Biasa

25 November 2016   22:47 Diperbarui: 25 November 2016   23:47 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukuman ini ampuh meminimalisir pelanggaran dalam urusan terlambat masuk kelas, meski tidak ampuh bagi saya. Karena saya hampir tiap minggu pasti ada saja hari lambat masuk ke kelas. Pernah sekali Pak Adi menghukum saya dan Zahwa, teman sebangku sekaligus sahabat saya, untuk menyanyi di depan kelas. Dan hukuman itu cukup ampuh untuk saya tidak terlambat selama satu bulan ke depan. Maaf Pak, hanya bertahan satu bulan saja.

Sekali waktu saya juga pernah keasyikan mengobrol bersama teman sebangku yang mengakibatkan kami dipanggil oleh Bapak ke depan kelas untuk menceritakan apa isi percakapan kami yang membuat kami tidak memerhatikan pelajaran. Itu sungguh hukuman yang membuat jera. Untuk urusan PR, Pak Adi adalah guru yang sangat jarang memberi PR. Saat saya kelas 7, ada satu PR yang benar-benar lupa saya kerjakan. Akhirnya, PR itu dilipatgandakan menjadi dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Ini juga membuat jera.

Saya juga ingat. Bapak selalu memberi tugas itu bukanlah soal-soal latihan. Tetapi hanya menyuruh kami membuat resensi suatu buku, menuliskan apa yang telah kami tonton dari video-video atau film-film pendek yang Bapak putarkan untuk kami, menulis, menulis dan menulis sampai pegal-pegal tangan pun kami tetap semangat mengerjakannya. Dari sinilah saya mulai mengenal cara membuat resensi buku meski masih amat sederhana. Terima kasih, Pak!

Saya juga ingin berterima kasih pada Bapak karena telah ‘menyelamatkan’ saya dari ‘benih’ karakter buruk. Semasa SMP, jika ada enam hari untuk sekolah, maka saya pastikan lima harinya saya selalu terlambat datang ke sekolah. Karena seringnya terlambat, hukuman mencabuti rumput, menyirami tanaman, menyirami pohon mangga besar di depan ruang guru, juga mengangkat sampah di halaman sekolah sering saya terima. Satu kali, pohon mangga yang sering saya sirami, berbuah lebat meski masih mentah. Teman saya, Shabrina dengan maksud bercanda meminta saya memetik mangga yang ada. Sayangnya candaan itu saya anggap serius. Bukan hanya satu buah, tapi enam buah mangga sekaligus yang saya bagi-bagikan kepada empat teman saya (Rehan, Zahwa, Shabrina dan Greace) - masing-masing satu buah mangga muda dan dua sisanya untuk saya.

Jujur, saya sendiri juga merasa berhak mendapat buah tersebut karena sayalah yang menyiraminya hampir setiap pagi.  Sayangnya, Zahwa mencuci buah mangga tersebut di depan ruang guru. Tepat saat itulah Pak Adi keluar dari ruang guru, entah untuk apa. Melihat dua mangga muda besar di tangan saya, satu buah sedang dicuci oleh Zahwa dan teman-teman lainnya memegang satu mangga muda, wajah Pak Adi terkejut. Saya, biang kerok dari semua ini berusaha lari dengan cara melempar kedua buah mangga yang ada di tangan saya ke dalam tas Rehan yang membuat Bapak geleng-geleng kepala dan memanggil kami untuk menghadap. 

Selama Bapak memberi nasehat, saya ingat sekali bahwa sesekali saya membantah Bapak karena merasa tidak bersalah. Saya ingat sekali cuplikan kata-kata Bapak saat itu: “Kalau kalian sudah mulai mencuri begini, biar cuma mangga, itu berbahaya! Kalian bisa menjadi cikal bakal koruptor Indonesia nanti. Kalau kalian mau mangganya, tinggal menghadap sama saya atau guru lain, bilang dengan jujur. Pasti dikasih. Sekarang, mangga belum masak masih mentah begitu bisa buat kalian sakit perut!” Itu cuplikan nasehat yang Bapak sampaikan sebelum menghukum kami untuk membuang sampah dan mangga itu dibiarkan untuk kami. Setelah itu, beberapa hari setelahnya, saya pun minta izin terlebih dahulu jika ingin memetik mangga.

Dan sebenarnya masih banyak lagi pengalaman-pengalaman berharga dari Bapak yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu di sini karena saking banyaknya hal yang Bapak ajarkan dalam bentuk berbeda. Bapak mungkin sesekali lelah menghukum saya karena amat sering saya melanggar disiplin masuk kelas tersebut. Namun jujur, saya suka oleh hukuman itu. Memang malu maju ke depan kelas. Tapi akhirnya saya tidak punya malu dalam artian positif setelahnya. Seperti saya menjadi senang berbicara di depan umum, senang mengikuti seminar-seminar yang sebenarnya dikhususkan untuk mahasiswa, juga senang sekali merebut kesempatan orang lain di sesi tanya-jawab dengan selalu berusaha menjadi orang pertama yang bertanya jika sesi tanya-jawab dalam seminar dibuka.

Terima kasih Pak atas seluruh bentuk hukuman yang Bapak berikan. Sungguh, saya mohon maaf karena hukuman maju ke depan kelas yang sebenarnya membuat malu, tapi saya tidak pernah jera - malah ketagihan untuk dihukum. Saya sadari itu melatih kepercayaan diri siswa untu berbicara di hadapan banyak orang. Sejak saat itu saya senang sekali tampil di depan umum untuk bicara. Makanya jika pelajaran Bapak sering pula saya sengaja membuat diri sendiri terlambat karena saya menikmati tiap detiknya berbicara di depan kelas. Itu juga melatih mental karena saat berbicara, tak jarang gurauan-gurauan dari teman-teman membuat malu. Namun karena seringnya hukuman yang saya dapatkan, saya tidak benar-benar malu lagi. Maaf, Pak! Mungkin Bapak bosan melihat saya yang terus-terusan maju untuk membuat pengakuan dan alasan terlambat. Sekarang saya tahu bahwa hukuman itu sekalian membentuk karakter percaya diri untuk berbicara karena saya sebelumnya paling anti bicara di muka umum jika tidak ada keperluan.

Sekali lagi terima kasih banyak Pak! Terima kasih sudah mau meluangkan waktu Bapak untuk membaca tulisan-tulisan saya di Kompasiana, juga sesekali memberi masukan. Saya berharap, agar guru-guru lain bisa memiliki cara mengajarkan karakter bangsa yang unik seperti yang Bapak terapkan. Agar Indonesia memiliki generasi penerus yang memiliki karakter kuat. Terima kasih Pak! Karena Bapak mengajarkan pada saya bahwa belajar bukan hanya materi yang kadang membosankan. Tapi juga pengalaman adalah pembelajaran berharga yang harus dimiliki oleh anak bangsa Indonesia. Di ujung cemeti guru ada emas. WassalamU'ALAIKUM Wr. Wb.

Fauzia Noorchaliza

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun