Mohon tunggu...
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang bertumbuh

Berjejak, tak berjasad

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Terbuka Untuk Guru Luar Biasa

25 November 2016   22:47 Diperbarui: 25 November 2016   23:47 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teruntuk Bapak Supriady,

Guru Bahasa Indonesia di SMPN Model Terpadu Madani Palu yang saya hormati.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat Hari Guru saya ucapkan untuk seluruh guru hebat di Indonesia khususnya untuk guru Bahasa Indonesia saya semasa SMP, Pak Adi. Guru adalah sosok luar biasa yang mendidik siswa-siswinya. Bukan hanya mendidik dalam hal materi pembelajaran saja, tetapi karakter juga perlu ditanamkan oleh guru kepada muridnya. Hal inilah yang saya rasakan saat Bapak mengajar di kelas semasa SMP dulu.

Dalam surat terbuka inilah saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya yang sebenarnya tidak cukup dituangkan dalam kata-kata juga baris-baris kalimat. Karena ajaran-ajaran yang Bapak berikan baik saat jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran seperti saat apel pagi, berpapasan di koridor sekolah, dan waktu-waktu lainnya. Saya pikir mungkin beberapa cerita yang akan saya tulis disini bisa menggambarkan betapa luar biasanya pengaruh seorang guru bagi siswa-siswinya.

Jujur saja, saya selalu kesulitan mengingat kapan Pak Adi menuliskan materi pembelajaran di papan tulis. Entah saya yang tidak mengingatnya atau memang hampir tidak pernah. Karena dalam tiap semester Pak Adi hanya memberi kami materi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 2 orang, yang kemudian akan kami ringkas dalam bentuk slide-slidepower point dan bergantian mempresentasikannya dalam setiap pertemuan. 

Bukan hanya sampai disitu saja, setiap orang dikelas pun wajib bertanya. Jika tidak bertanya kepada kelompok yang presentasi, Pak Adi akan memberi tugas rumah. Jelas saja, karena lelah dengan semua pekerjaan rumah yang ada dari berbagai mata pelajaran atau mungkin malas mengerjakan PR, siswa berusaha bertanya apa pun itu. Meski pertanyaan-pertanyaan itu terdengar konyol, tapi Pak Adi tidak pernah menegur. Asalkan pertanyaan tersebut masih bersangkut-paut dengan materi yang dibawakan oleh kelompok yang presentasi.

Pernah sekali saat saya mempresentasikan tentang ‘Musikalisasi Puisi’ bersama salah seorang teman kelompok, saat sesi tanya jawab dibuka, seorang teman bertanya, “Siapakah orang pertama yang memusikalisasikan puisi? Dan dari mana asalnya?”. Sontak saya dan rekan saya saling bertatapan dan Pak Adi tertawa. Rekan saya langsung mencari jawaban di Google dan saya berpikir keras untuk pertanyaan-pertanyaan lain. 

Karena tidak menemukan jawabannya, kami menjawabnya dengan jujur. “Tidak tahu!”. Akhirnya Pak Adi mengambil-alih pertanyaan itu dengan berkata santai : “Kau juga. Lain kali kalau bertanya yang lebih berbobot sedikit. Rasanya selama ini kalau ada yang presentasi itu terus kau tanya. ‘Siapakah orang pertama ini?’. Bukan begitu! Saya minta kalian semua bertanya minimal satu pertanyaan setiap orangnya supaya kalian bisa kritis. Dan itu bisa kalian bawa nanti sampai ke SMA, bahkan saat kalian kuliah nanti!” Setelah hari itu, pertemuan selanjutnya pertanyaan ‘Siapakah orang pertama yang …’ tidak pernah lagi keluar. Berganti dengan pertanyaan yang lebih baik.

Ada lagi cara unik Bapak dalam mengajar kami. Disiplin dalam kelas. Tidak ada yang bisa ‘aman’ masuk kelas jika Bapak sudah masuk dalam ruang kelas walaupun Bapak baru masuk selangkah ke dalam ruangan. Saya adalah murid yang saya yakini paling sering dihukum karena kelalaian ini. Hukumannya apa? Bukan berdiri di depan kelas atau tidak boleh masuk kelas selama pembelajaran. Bukan! Itu bukanlah gaya Pak Adi dalam menanamkan kedisiplinan kepada siswa-siswinya.

Pak Adi akan menyuruh murid-murid yang terlambat, asyik mengobrol dengan teman sebangku, tidak mengerjakan tugas rumah (jika ada) atau tidak memerhatikan pembelajaran untuk maju ke depan kelas. Bagi yang terlambat, akan diminta menjelaskan alasan mengapa terlambat masuk kelas di depan. Sesekali Pak Adi bergurau atas alasan tersebut yang membuat suasana hukum-menghukum terasa santai meski membuat malu si pelanggar aturan. 

Hukuman ini ampuh meminimalisir pelanggaran dalam urusan terlambat masuk kelas, meski tidak ampuh bagi saya. Karena saya hampir tiap minggu pasti ada saja hari lambat masuk ke kelas. Pernah sekali Pak Adi menghukum saya dan Zahwa, teman sebangku sekaligus sahabat saya, untuk menyanyi di depan kelas. Dan hukuman itu cukup ampuh untuk saya tidak terlambat selama satu bulan ke depan. Maaf Pak, hanya bertahan satu bulan saja.

Sekali waktu saya juga pernah keasyikan mengobrol bersama teman sebangku yang mengakibatkan kami dipanggil oleh Bapak ke depan kelas untuk menceritakan apa isi percakapan kami yang membuat kami tidak memerhatikan pelajaran. Itu sungguh hukuman yang membuat jera. Untuk urusan PR, Pak Adi adalah guru yang sangat jarang memberi PR. Saat saya kelas 7, ada satu PR yang benar-benar lupa saya kerjakan. Akhirnya, PR itu dilipatgandakan menjadi dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Ini juga membuat jera.

Saya juga ingat. Bapak selalu memberi tugas itu bukanlah soal-soal latihan. Tetapi hanya menyuruh kami membuat resensi suatu buku, menuliskan apa yang telah kami tonton dari video-video atau film-film pendek yang Bapak putarkan untuk kami, menulis, menulis dan menulis sampai pegal-pegal tangan pun kami tetap semangat mengerjakannya. Dari sinilah saya mulai mengenal cara membuat resensi buku meski masih amat sederhana. Terima kasih, Pak!

Saya juga ingin berterima kasih pada Bapak karena telah ‘menyelamatkan’ saya dari ‘benih’ karakter buruk. Semasa SMP, jika ada enam hari untuk sekolah, maka saya pastikan lima harinya saya selalu terlambat datang ke sekolah. Karena seringnya terlambat, hukuman mencabuti rumput, menyirami tanaman, menyirami pohon mangga besar di depan ruang guru, juga mengangkat sampah di halaman sekolah sering saya terima. Satu kali, pohon mangga yang sering saya sirami, berbuah lebat meski masih mentah. Teman saya, Shabrina dengan maksud bercanda meminta saya memetik mangga yang ada. Sayangnya candaan itu saya anggap serius. Bukan hanya satu buah, tapi enam buah mangga sekaligus yang saya bagi-bagikan kepada empat teman saya (Rehan, Zahwa, Shabrina dan Greace) - masing-masing satu buah mangga muda dan dua sisanya untuk saya.

Jujur, saya sendiri juga merasa berhak mendapat buah tersebut karena sayalah yang menyiraminya hampir setiap pagi.  Sayangnya, Zahwa mencuci buah mangga tersebut di depan ruang guru. Tepat saat itulah Pak Adi keluar dari ruang guru, entah untuk apa. Melihat dua mangga muda besar di tangan saya, satu buah sedang dicuci oleh Zahwa dan teman-teman lainnya memegang satu mangga muda, wajah Pak Adi terkejut. Saya, biang kerok dari semua ini berusaha lari dengan cara melempar kedua buah mangga yang ada di tangan saya ke dalam tas Rehan yang membuat Bapak geleng-geleng kepala dan memanggil kami untuk menghadap. 

Selama Bapak memberi nasehat, saya ingat sekali bahwa sesekali saya membantah Bapak karena merasa tidak bersalah. Saya ingat sekali cuplikan kata-kata Bapak saat itu: “Kalau kalian sudah mulai mencuri begini, biar cuma mangga, itu berbahaya! Kalian bisa menjadi cikal bakal koruptor Indonesia nanti. Kalau kalian mau mangganya, tinggal menghadap sama saya atau guru lain, bilang dengan jujur. Pasti dikasih. Sekarang, mangga belum masak masih mentah begitu bisa buat kalian sakit perut!” Itu cuplikan nasehat yang Bapak sampaikan sebelum menghukum kami untuk membuang sampah dan mangga itu dibiarkan untuk kami. Setelah itu, beberapa hari setelahnya, saya pun minta izin terlebih dahulu jika ingin memetik mangga.

Dan sebenarnya masih banyak lagi pengalaman-pengalaman berharga dari Bapak yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu di sini karena saking banyaknya hal yang Bapak ajarkan dalam bentuk berbeda. Bapak mungkin sesekali lelah menghukum saya karena amat sering saya melanggar disiplin masuk kelas tersebut. Namun jujur, saya suka oleh hukuman itu. Memang malu maju ke depan kelas. Tapi akhirnya saya tidak punya malu dalam artian positif setelahnya. Seperti saya menjadi senang berbicara di depan umum, senang mengikuti seminar-seminar yang sebenarnya dikhususkan untuk mahasiswa, juga senang sekali merebut kesempatan orang lain di sesi tanya-jawab dengan selalu berusaha menjadi orang pertama yang bertanya jika sesi tanya-jawab dalam seminar dibuka.

Terima kasih Pak atas seluruh bentuk hukuman yang Bapak berikan. Sungguh, saya mohon maaf karena hukuman maju ke depan kelas yang sebenarnya membuat malu, tapi saya tidak pernah jera - malah ketagihan untuk dihukum. Saya sadari itu melatih kepercayaan diri siswa untu berbicara di hadapan banyak orang. Sejak saat itu saya senang sekali tampil di depan umum untuk bicara. Makanya jika pelajaran Bapak sering pula saya sengaja membuat diri sendiri terlambat karena saya menikmati tiap detiknya berbicara di depan kelas. Itu juga melatih mental karena saat berbicara, tak jarang gurauan-gurauan dari teman-teman membuat malu. Namun karena seringnya hukuman yang saya dapatkan, saya tidak benar-benar malu lagi. Maaf, Pak! Mungkin Bapak bosan melihat saya yang terus-terusan maju untuk membuat pengakuan dan alasan terlambat. Sekarang saya tahu bahwa hukuman itu sekalian membentuk karakter percaya diri untuk berbicara karena saya sebelumnya paling anti bicara di muka umum jika tidak ada keperluan.

Sekali lagi terima kasih banyak Pak! Terima kasih sudah mau meluangkan waktu Bapak untuk membaca tulisan-tulisan saya di Kompasiana, juga sesekali memberi masukan. Saya berharap, agar guru-guru lain bisa memiliki cara mengajarkan karakter bangsa yang unik seperti yang Bapak terapkan. Agar Indonesia memiliki generasi penerus yang memiliki karakter kuat. Terima kasih Pak! Karena Bapak mengajarkan pada saya bahwa belajar bukan hanya materi yang kadang membosankan. Tapi juga pengalaman adalah pembelajaran berharga yang harus dimiliki oleh anak bangsa Indonesia. Di ujung cemeti guru ada emas. WassalamU'ALAIKUM Wr. Wb.

Fauzia Noorchaliza

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun