Mohon tunggu...
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu
Fauzia Noorchaliza Fadly Tantu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang bertumbuh

Berjejak, tak berjasad

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Romantisme Sekolah Dasar: Hujan Punya Cerita

28 Agustus 2016   17:55 Diperbarui: 15 Oktober 2016   21:34 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ummi Ella Bersama Anak Lelaki yang salah satunya tentu saja 'Maulana'.

Cerita cinta (monyet) Maulana tidak berhenti begitu saja sejak surat cintanya dibuang oleh Amel. Sama tidak berhentinya juga dengan urusan meledek Maulana yang suratnya langsung dirobek dan dibuang oleh Amel. Ah, urusan ini terlalu diambil pusing oleh Maulana. Entah kenapa, Maulana tidak menyerah setelah dapat penolakan keras. (Baca kisah sebelumnya : Romantisme Sekolah Dasar)

Bogor adalah kota dengan curah hujan yang cukup tinggi. Sejak istirahat tadi, gerimis membasuh kota. Rintik-rintik berkah jatuh diatas atap sekolah berlantai dua. Sejak istirahat tadi juga Amel rusuh bersembunyi ke sana-kemari. Menghindari salah satu teman utusan Maulana untuk memberikan bungkusan dengan warna merah muda. Amel sungguh merasa risih.

Bel masuk menyelamatkan Amel dari kejaran utusan Maulana. Di kelas, bungkusan itu dikembalikan diam-diam kepada Maulana untuk disimpan kembali. Wajah Maulana tertunduk kecewa. Ummi Ella masuk dan membawakan materi pelajaran. Semua siswa tampak hanyut mengikuti alur pembelajaran tersebut. Kecuali satu, yang kehilangan konsentrasinya. Maulana.

Pulang sekolah, Amel menungguku di gerbang sekolah. Hujan semakin deras. Aku dan Amel tertahan sebentar menunggu hujan reda. Namun sayang, hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Kilat dan gemuruhnya makin menjadi-jadi pula. Aku dan Amel terpaksa menerobos rintik hujan yang menyerang, berlindung di paying kecilku. Amel tidak membawa payung kali ini. ketinggalan karena kemarin dikeringkan karena hujan deras juga.

Udara dingin menusuk. Baju yang kami kenakan juga terkena rintik hujan. Payung hanya melindungi kepala kami yang tertutup kerudung pasang warna putih. Becek dimana-mana. Kami berjalan cepat menghindari licak tanah. Sambil berjalan tidak ada cerita seperti biasa. Aku dan Amel hanya berdiam diri, berkonsentrasi tidak salah langkah dan malah terjerembab di genangan air yang kecoklatan.

Saat melewati jembatan, aku teringat pasti rokku ini pasti kotor oleh cipratan lumpur saat kami berjalan, pengendara motor yang lewat tanpa memperlambat kecepatan motornya dan membuat air memancar terkena rokku dan Amel. Aku tidak mau jika Mamah atau mbak-mbak yang membantu Mamah mengerjakan pekerjaan rumah kesusahan membersihkan rok putih itu.

“Amel, nanti di warung sayur berhenti dulu ya… aku mau buka rok. Nanti tambah kotor kena lumpur. Susah juga jalan kalau pake rok” Kataku sambil menghindari genangan air. Amel hanya menganggukkan kepalanya setuju.

Sekitar seratus meter sebelum ke rumah Amel, aku dan Amel berhenti di warung sayur itu. Pemiliknya adalah pak RT. Warung sayur itu jugalah tempatku menjual Koran-koran bekas yang tertumpuk dirumah. Biasanya di hari minggu, aku berkeliling mencari warung sayur yang membutuhkan Koran bekas untuk bungkusan pembelinya. Dengan sepeda kumbang bekas yang dibelikan oleh Papah dan Mamah di salah satu tempat penjualan sepeda bekas  sebagai hadiah kenaikan kelas 4. Aku bisa menjualnya hingga sekitar lima kilo yang setara dengan uang dua puluh ribu yang bisa membuatku senang sepanjang minggu. Uang itu cukup besar. Karena uang jajanku saja 4000 per minggu. Uangnya kutabung dan kubelikan keperluan jika sangat mendesak.

Di sana, aku yang biasa memang mengenakan celana training sebagai dalaman rok, membuka rokku dan memasukkannya dalam kantung plastik hitam dan memasukkannya ke dalam tas. Saat memasukkan itulah aku melihat baying-bayang seseorang yang mengenakan seragam putih-putih, seragam sekolahku. Tapi karena derasnya hujan, aku tidak tahu itu siapa. Yang aku tahu dia laki-laki. Makin mendekat, Amel tersadar.

“Za, udah yuk, jalan cepetan! Itu Maulana datang!” Amel menarik pergelangan tanganku. Aku pun langsung berdiri dan memakai tasku. Wajah Maulana yang basah kuyup terkena hujan deras mulai terlihat meski tersamarkan oleh garis-garis hujan yang makin menjadi. Tanpa berpikir panjang, Aku dan Amel lari sesegera mungkin, secepat yang kami mampu, dan tak berpikir untuk menghindari genangan air.

Sayangnya, makin cepat kami berlari, makin kencang Maulana mengejar. Amel terjerembab beberapa kali di tanah yang tidak rata. Aku tergelincir berkali-kali untung ada Amel yang membantuku agar tidak terjatuh. Kaki kami benar-benar kotor dan berlumpur. Aku bersyukur tadi sempat melepas rok. Kasian Amel. Pasti sekarang Roknya sudah kotor dengan warna kecoklatan. Maulana masih mengejar dibelakang. Jaraknya lima belas meter lagi.

Berbelok ke kiri, atap rumah Amel terlihat. Jalanan aspal sudah menanti.  Itu mempengaruhi kecepatan lari kami karena tidak lagi terjerembab dan harus menghindari genangan-genangan air. Sesampainya di depan pagar, Amel segera membuka pagar dan menarik tanganku masuk dan menutup lagi. Amel mengajakku langsung masuk ke dalam rumahnya untuk menunggu hujan reda sekalian Maulana. Amel mengambil minuman untukku. Baju kami sungguh basah. Aku berdiam diri, mengatur nafas yang masih tersenggal. Menoleh dan menyibakkan tirai jendela. Dan terkejut.

Ada Maulana di sana! Di tengah hujan deras, kilat menerangi langit yang berkelabu dan gemuruh-gemuruh keras yang mengejutkan, dia berdiri di luar pagar, menatap pintu rumah Amel sambil kedua tangannya memegang pagar yang berwarna hijau tua itu. Aku merasa aneh melihatnya dan memanggil Amel.

Tidak lama, Amel datang sambil membawakan minuman. Aku menunjukkannya pada Amel. Amel lebih terkejut melihat Maulana berdiri dan menatap kosong pintu rumahnya, berharap di bukakan. Jangankan di bukakan, Amel sibuk mengomel tidak jelas. Aku merasa aneh juga. Kenapa sih Maulana sampai sibuk kejar-kejar Amel hingga rela berhujan-hujanan. Tidak takut sakit besok?

Akhirnya aku dan Amel tidak lagi mengawasi maulana dari balik jendela. Kami seakan lupa pada keberadaannya dan asyik bercerita. Kudengar hujan mulai mereda dan berpamitan. Amel mengantarkanku keluar pagar. Tidak ada lagi maulana yang berdiri memegang pagar tinggi. Tidak ada lagi Maulana yang berdiri menatap kosong. Tidak ada lagi Maulana di luar sana. Amel tersenyum lega. Aku melanjutkan perjalananku pulang ke rumah yang jaraknya dua kali lipat dibandingkan jarak sekolah ke rumah Amel.

Meski hujan sedikit mereda, tetap saja angin kencangnya tetap ada. Masih agak jauh dari rumah, payungku tak mau di ajak kompromi. Di terbalik diterpa angin, menghadap ke atas cekungannya. Malah menampung air hujan. Percuma saja. Aku berlari lagi akhirnya. Kerudung hingga celanaku basah kuyup. Bahkan hujan dengan ‘tega’ membuat sepatu sekolahku ini tergenang air di dalamnya. Benar-benar kakiku ‘tenggelam’di dalam sepatu berwarna ungu itu. Sesampainya di rumah, kisah heroik  di kejar maulana terlupakan dengan mudah karena aku sibuk membersihkan barang-barangku yang basah. Beberapa bukuku juga basah meski tidak parah.

Dan lagi, sungguh kisah ini nyata. Kemarin malam, aku memberitahukan pada Amel bahwa aku menulis cerita tentang Ia dan Maulana (Romantisme Sekolah Dasar adalah kisah sebelumnya. Kisah ini adalah lanjutan dari cerita kemarin). Amel terkejut dan dan membacanya. Awalnya aku was-was di protes, tetapi nyatanya Amel malah merasa senang plus merasa malu. Dan berbincang lewat chat tadi malam, membuat beberapa cerita yang sempat terlupakan teringat kembali. Masa-masa SD yang penuh Romantisme dunia anak-anak yang polos dan serba lugu. Salah satunya cerita ini.

Menulis kejadian ini, membuatku mengingat semuanya. Dulu aku merasa kasihan kepada Amel yang terus-menerus dikejar Maulana dan Maulana yang hujan-hujanan mengejar Amel. Sekarang aku mengasihani diriku. Amel yang dikejar, aku terkena imbasnya. Amel yang menjadi tujuan Maulana datang, aku yang ikut basah-basahan. Amel yang di buntuti, aku yang ikut terpeleset dan terjerembab.

Kepada Tasya Amelia Iskandar, Teman SD se-jalan pulang, Terima kasih sudah menjadi teman baikku selama ini. Terima kasih sudah membawaku dalam ‘pengalaman’ yang benar-benar tidak bisa dilupakan. Terima kasih atas tanggapannya yang diluar dugaan. Terima Kasih sekali juga sudah mendo’akanku. Semoga kamu juga sukses ke depannya dan terus menjadi remaja yang positif dan ceria. Kapan-kapan kalau sempat main ke Bogor, kita harus ketemu ya!

Salam Rindu,

Teman seperjalanan,

Zaza.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun