Mohon tunggu...
Zayn Al Muttaqien
Zayn Al Muttaqien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang umat biasa yang ingin menjadi MUTTAQIEN sesuai namanya, dan menjadi MUSLIM sesuai agamanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jilbab di Atas Pusara (5)

15 Maret 2021   19:55 Diperbarui: 15 Maret 2021   20:26 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepuluh tahun lalu, Gara dan Risma telah sepakat untuk menikah. Hampir setiap pulang kuliah, dari kampungnya di Sukamaju, Gara senantiasa menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Risma di Citrawangi.

Meski usia keduanya masih sangat muda, Gara 19 tahun dan Risma 17 tahun, Namun orangtua keduanya selalu mendesak agar mereka menikah. Lagi pula, Gara punya keinginan menikahi Risma karena Risma adalah alumni pondok pesantren, sebab selepas SD, Risma sudah masuk Pondok Pesantren.

Karena alumni pesantren, Gara yakin sikap dan kepribadian Risma pastilah baik. Gara sendiri menyadari, ia hanya alumni sekolah-sekolah umum yang sedang kuliah di kampus umum, jadi harus ada yang mendampingi untuk mewujudkan mimpi-mimpi luar biasanya kelak.

"Apa keinginan terbesar akang setelah kita menikah nanti?" tanya Risma saat itu.

"Akang ingin punya anak yang banyak,"

"Hah ... anak yang banyak?" Risma tertawa, "Seberapa banyak?"

"Enam ... tujuh ... atau delapan!"

"Wuih. Banyak amat. Mengapa harus banyak?" tanya Risma

"Karena, itulah sesungguhnya harta bagi kita!" jelas Gara membuat Risma tertegun, "Di luar itu seperti mobil, perhiasan, dan yang sejenisnya, akang tidak melihat itu sebagai harta ... tapi sampah!" jawab Gara.

Mendengar penjelasan kekasihnya, Risma tersenyum. Ingin sekali ia memeluk Gara, namun Risma menyadari, mereka belum muhrim.

"Setelah itu?" tanya Risma.

"Akang ingin punya madrasah ... Madrasah Allah!"

"Apalagi ini? Ris tidak mengerti," Risma mengernyitkan dahi.

"Madrasah Allah itu Kobong atau Pesantren Salafy,"

"Oh," desah Risma.

 "Risma yang mengurus Madrasah Allah tersebut. Akang hanya ingin mendampingi Risma sebagai seorang penulis. Akang hanya ingin menghabiskan masa tua dengan menjadi penulis yang agamis. Semoga cita-cita itu mendapat pahala dan Ridha dari Allah swt,"

"Amiin!" Risma mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan, "Ris yakin, akang bisa mewujudkan itu. Bakat akang memang sebagai penulis,"

"Akang membayangkan. Di sana ada kobong yang terbuat dari bambu. Tapi, kobong itu khusus perempuan. Hanya untuk perempuan. Di sana ada gemercik air mengalir, angin berhembus mesra, dan tak henti-hentinya asma Allah berkumandang. Karena itulah jannah yang sesungguhnya. Akang ingin membuat jannah di dunia, Ris!" jelas Gara. Risma kembali tersenyum. Ia semakin mengagumi Gara.

"Mengapa harus pesantren khusus perempuan, Kang?"

"Dahulu, ketika RA Kartini ingin membantu mengembangkan potensi perempuan, ia mendirikan sekolah khusus wanita, termasuk juga Dewi Sartika. Sekarang, karena jasanya, kita bisa mengenal emansipasi wanita," Gara berhenti sesaat, "Tentang wanita, sesungguhnya Islam sudah memberikan keleluasan potensi itu jauh sebelum RA Kartini dan Dewi Sartika dilahirkan. Andai kesetaraan jender yang digagas RA Kartini itu didasari oleh pemahaman-pemahaman wanita tentang keagamaan, maka ruh yang dimunculkan para wanita akan berbeda. Ia pastilah bisa mengisi ruang yang tidak bisa diisi kaum laki-laki tanpa harus mengesampingkan kesetaraan jender dan tanpa harus melenyapkan kodratnya sebagai perempuan. Perempuan tetaplah pemilik perasaan, laki-laki tetaplah pemilik logika," Gara menjelaskan.

"Hmm. Begitu, ya!" timpal Risma. Ia berkerling manja, "Terus, apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki?"

"Itulah. Maqadar wanita adalah sebagai pelindung bagi organ vital layaknya tulang rusuk. Tulang rusuk harus melindungi jantung dan paru-paru sebagai organ vital bagi manusia. Bentuk tulang rusuk haruslah bengkok, karena dengan bengkok itulah ia bisa memfungsikan keberadaannya. Kalau tulang rusuk diluruskan, maka keberadaannya tidak bermanfaat lagi sebab tulang rusuk itu pastilah patah dan tidak bisa melaksanakan fungsinya," Gara memandangi calon istrinya yang selalu tersenyum manja setiap Gara berbicara, "Karenanya, akang ingin membangun sebuah pesantren wanita, agar para wanita bisa melaksanakan fungsi jati dirinya tanpa harus kehilangan esensi dan eksistensinya. Namun sekarang, para wanita seakan dididik untuk memusuhi laki-laki. 

Padahal, wanita adalah mitra, layaknya tulang rusuk dan tulang punggung. Mereka tak boleh bertukar peran, kecuali mungkin ... kecelakaan. Jadi kalau ada yang menukar peran antara fungsi laki-laki dan perempuan, itu pasti sebuah kecelakaan. Kalau penyakit ada obatnya, tapi kalau kecelakaan ... takdirlah yang menentukannya!" Gara menatap ke arah Risma, seakan minta dukungan.

Plok ... plok ... plok. Risma tepuk tangan sendirian, "Insya Allah, Risma akan mendukung semua rencana-rencana akang. Risma akan membantu setiap langkah-langkah akang. Bagi Risma, akang adalah laki-laki yang luar biasa dengan mimpi-mimpi indah yang luar biasa. Risma ingin menjadi bagian dari mimpi-mimpi indah itu!" janji Risma.

"Yakin?" tanya Gara.

"Yakin!" jawab Risma mantap.

"Sumpah?"

"Sumpah!" balas Risma. Setengah bercanda, keduanya bersalaman.

"Alhamdulillah!" ujar Gara kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun